Dharmadyaksa Ring Kasogatan Majapahit
pengarang Kakawin Desawarnnanna atau Nagarakretagama
Pupuh IV
1. Karmendriyeka maka manggalanin swacitta. Karmendriyan pinaka marga mamicren suksma. Ndan san huwus wruh i panuksmanikan ya manka.
Karmendriya (lima indriya gerak, yaitu peraba tangan, peraba kaki, lidah, rasa kemaluan dan rasa dubur) adalah bagai pemimpin digaris depan. Karmendriya adalah jalan untuk mengenal Suksma (Badan Halus). Maka orang yang telah mengenal Karmendriya-nya dia pun akan mengenal Suksma-nya.
2. Wanten wretatwa wekasin paramatiguhya. Byapin pradhana pada litnika tanpa hinan. Tan dwa wibhajya bahubheda mawreddhi-wreddhi. Nyan pancawinsya saha syatwariwinsya tatwa.
Ada ajaran Kesejatian yang menjadi puncak segala rahasia, Pradhana (cikal bakal materi semesta) lahir, sangat kecilnya tiada hingga, dengan segera pecah menjadi bermacam-macam dan berlipat-lipat, menjadi dua puluh lima dan dua pua puluh empat buah intisari (material).
3. Yeka nimittanikanan sahanen triloka. Sthuladi tatwa kateken dwidasyanga tattwa. Mwan bhuta panca kalawan lima matra tattwa. Ahhin rwa hetunika yan paripurna nitya.
Itulah yang menjadi sumber adanya ciptaan di tiga alam ini, mulai yang berbentuk materi maupun Dua belas buah benda non materi yang lain (yaitu Pancandriya lima buah, Pancakarmendriya lima buah, ditambah Manah/Pikiran dan Ahamkara/Perasaan. Total Dua belas). Bersumber dari Lima Unsur Dasar (Panca Mahabhuta ~ Akasha : Ruang, Wayu : Udara, Teja : Api, Apah : Air dan Prtiwi : Tanah) dan Lima Unsur Yang Masih Halus (Matratatwa = Panca Tan Matra ~ Sabda Tan Matra sebagai cikal bakal Akasha, Sparsa Tan Matra sebagai cikal bakal Wayu, Rupa Tan Matra sebagai cikal bakal Teja, Rasa Tan Matra sebagai cikal bakal Apah dan Gandha Tan Matra sebagai cikal bakal Prtiwi). Dari kedua unsur dasar yang berasal dari Pradhana inilah sumber segala benda material dan non material menjadi sempurna.
4. Rin pancabhuta guna len lima matra siddhi. Maride wikalpa hana rin hati lot humandel. Lilamanun turida raga lulutnikan twas. Harsen katon sakarend kaharas tekapnya.
Di dalam ‘Pancabhuta (Panca Mahabhuta)’ terdapat ‘Gunna (watak dasar ~ yaitu Sattwa : Keseimbangan, Rajas : Keaktifan dan Tamas : Kelembaman)’ dan ‘Lima Matra’ = (Panca Tan Matra) yang sempurna. (Mereka) mengikat dan menjerat hati menjadi lupa dan sangat sukar dihilangkan, membuat kecenderungan senang akan asmara cinta dan kenikmatan duniawi, segala yang bagus dilihat dan yang indah didengar tercakup olehnya.
5. Ngka yan pamreddhi wekasan tikan indriyartha. Karmendriyadinikahen wisayanya purna. Sarwesta rin rasa sugandhika len swarupa. (Surupa) mwan sarwa wastu katenin hati mogha tresna.
Pada waktu itu akhirnya ‘Indryarthaa (Pancaindriya ~ yaitu Penglihatan, Penciuman, Pendengaran, Pengucapan dan Perasa seluruh badan)’ terpengaruh, ‘Karmendriya (yaitu Perasa Tangan, Perasa Kaki, Perasa Lidah, Rasa Kemaluan dan Rasa Dubur)’-lah yang terutama menjadi pemenuh keinginan, segala keinginan terhadap rasa, bau yang wangi dan wujud yang indah dari segala benda melekat di hati dengan sangat kuatnya.
6. Hinanya nirmala lawan malinatwa kirna. Mungwin swabhawanikanan dadi sarwajanma. Jumren jagat mamenubi lwanin andabhumi. Apan sira prabhu wibhuh nirakara ring rat.
Batas kesucian dan ke-tidak-sucian menjadi kabur bagi tingkah laku segala makhluk dan manusia, Pradhana ini mengembang didunia, memenuhi segenap penjuru ruangan, dialah raja yang sangat berkuasa di dunia maya ini.
7. Manka swajatinika kalih anopalabdhi. Kapwatisukstna sumilib ri manah tan imba. Durgrahya grehyaka wisyeda mahaprameya. Ekaswabhawa sira karwa wibhinnapaksa.
Demikianlah dua-duanya (Panca Maha bhuta dan Panca Tan Matra) tak dapat dilihat.
Kedua-duanya sangat lembut menyelip di hati tiada bandingan, tidak dapat diraba dan sangat gaib, tidak dapat dipikirkan ukurannya. Keduanya sebenarnya satu, tidak dapat dipisah-pisahkan.
8. Himper wulan lawan ikan gacacihna drestan. Nya tekihen wenana len kahananya mungu. Yawat lananemuki satmaka wighna saksat. Tawat tumut sumuluh in sakalanda lumrah.
Meraka itu tampak seperti bulan dengan gambar kelincinya (Didalam bulan terdapat gambar mirip kelinci menurut orang Majapahit dahulu). Dapatkah mereka itu dipisah-pisahkan? Kalau bulan terhalangi, demikian pula (kelinci) ikut tak terlihat juga. Kalau bulan menerangi alam semesta, demikian pula (kelinci) ikut bercahaya.
9. Ndah mankana n hala hajen gumelar hanen rat. Duran wiyoga saka ring patemunya karwa. Murigwin trikaya kawanun tekapin swacitta. Solah sasabda samanah maka sadhananya.
Begitu juga keberadaan kejahatan dan kebaikan di dunia. Kedua-nya amatlah sukar dipisahkan (dari ikatannya). Mereka terbentuk dari ‘Trikaya’ (Trikaya adalah Kayika : Perbuatan, Wacika : Ucapan dan Manasika : Pikiran), yang berasal dari manusia sendiri.
Segala Perbuatan, Ucapan dan Pemikiran hanyalah merupakan ungkapan dari Trikaya itu.
10. Yeki n tri hetukanikan umusir yamanda. Yapwan sininhitakening hala karmikande. Yekin tri hetunin amanguhaken triwarga. Yan sinhitin hayu n ulah ginawe pwa nitya.
Inilah tiga sebab (Trikaya) yang menjerumuskan manusia ke alam Yama (Neraka) bila cenderung ke arah yang jahat. Hukum karma yang akan membalaskannya.
(Tetapi) ketiga sebab (Trikaya) itu dapat pula membuat terpenuhinya ‘Triwarga’ (Triwarga yaitu Dharma : Kebenaran, Kama : Pemenuhan keinginan, dan Artha : Kesejahteraan duniawi) kalau segala perbutan yang senantiasa dilakukan cenderung ke arah kebaikan.
11. Anhin tri-kaya paramartha wicuddha marga. Ambalnikan pada wimoksa niratma misyra. Nahan matannya dina ratri ya tolaheka. Rapwan tumemwaken awaknin acintyatattwa.
‘Trikaya’ pula satu-satunya jalan yang utama dan suci, yang dapat membawa (manusia) ke arah ‘Moksha’ (Pembebasan) dan menyatu dengan Niratma (Yang Tanpa Atma atau Nirwana). Oleh karena itu kerjakanlah hal ini siang dan malam, agar dapat bertemu dengan Dia, Yang Tak Dapat Dicapai Dengan Pikiran (Acintya).
Pupuh V
1. Nhih durlabha dahaten ikan trikaya pagehanya wimala satata. Sanken hala ta rusitikan pinet sthiti haneriya manulahaken. Pohnin paramarasa rahasya nugraha lanamenuhi maniluman. Tan matra kawenan yadin prihen lewu wilaksana siran inusir.
Tetapi sangat sukarlah menjaga ‘Trikaya’ agar selalu suci, karena sifat jahat yang sangat sukar dipisahkan dan selalu ada dan bekerja. Tanpa diketahui dan tiada henti-hentinya (sifat jahat itu) memberi (manusia) anugrah yang berupa rasa puas dan penasaran. (sifat jahat itu) tak dapat dikalahkan dengan gampang, walaupun diusahakan benar-benar, karena tidak mempunyai wujud fisik.
2. Pujarcana sahana widhikriyacjrayakenanta pinaka syarana. Mwan dhyana saha japa samadhi yoga panupaya sakala regepen. Tan byakta tika karananih tumemwa wekasin parama kasugatin. Yan tan wruh i patitisi sandhinin samaya nisphala sahananika.
Sebagai syarat (mengalahkan kejahatan) pergunakanlah doa, sembahyang dan segala sesuatu hal menurut ketentuan-ketentuannya (upacara suci sesuai ajaran Shiwa Buddha). Juga pemusatan pikiran (meditasi), Japa, Tapa dan lain-lain harus diusahakan dengan sungguh-sungguh. Tetapi semuanya itu belum tentu menjadi sebab diketemukannya ‘Puncak Kesempurnaan Yang Utama’, bila (manusia) tak mampu menguak kesejatian dirinya, maka segala sesuatu tiada berguna.
3. Apan sahana-hananikan prayoga pinakesti sira juga tedun. Ndah mogha mawaka rikan angego smreti tekasuna wara, kahidep. Tan wruh yadi sira hana rin swabhawa tinelen milu manelenaken. Nir sadhana sira maka sadhanen hayu sadanilib in anen’anen.
Karena tujuan segala ‘yoga’ itu ialah (agar) Dia turun (dari kahyangan), (kata mereka) dengan tiba-tiba Dia akan datang untuk memberi anugrah dan orang yang sedang bersemadi itu, tanpa mengetahuinya, bersatu badan dengan yang menjadi pusat tujuan semadi itu (Tuhan), dan Dia ikut bersemadi. Sesungguhnya Dia itu tidak memerlukan syarat-syarat (Nirsadhana agar supaya Dia bisa turun dari kahyangan), tetapi sesunggguhnya Dia-lah yang menjadi syarat menuju ke kebahagiaan dan Dia tersembunyi di dalam semedi itu sendiri.
4. Lwir bahni wekasin atisuksma tan sipi haneh kayu-kayu sahana. Ndah yan tutuhana wadunen pajun kapana yann umijila n anala. Nhin yan wruhanikanan anuswaken lalu sawega lekasanikahen. Byaktotpadanikan apuy dumagdhakena wreksa pinenuhan ika.
Bagaikan api yang tersembunyi di dalam segala kayu tidak terbandingkan, walaupun dibelah dengan kapak ataupun palu, mustahil api akan keluar. Tetapi bila (orang) tahu menggosokkan dua potong kayu dengan cepat dan kuat, tentu api akan keluar dan membakar kayu itu sendiri sampai habis.
Pupuh VI
1. Iwa mankaneki gati san hyan umibeki samuhanin dadi. Ya mawak pawak ya ginawe gumaway ikan acintya niskala. Sasinadhyanin tapa masadhya rin angulahaken giwarcana. Hana tan tumut tuwi tumut ta ya raket i sapolahin sarat.
Seperti itulah halnya Dia, Dewa (segala Dewa) yang ada di dalam seluruh makhluk dan yang memenuhi segala makhluk. Dia Yang Meliputi dan sekaligus Diliputi. Dia-lah yang diciptakan ini semua, dan Dia juga yang menciptakan, Yang Tak Dapat Dicapai dengan pikiran dan segenap indra. Yang menjadi tujuan semua pertapa yang menyembah-Nya. Dia hadir dan dekat dengan segala makhluk, ikut di dalam perbuatan-perbuatannya makhluk, tetapi juga tidak berbuat.
2. Rin apan kawastwan i siran grahana tubu widehalaksana. Ya matannya durgama kapangihanika tekapin mamet hayu. Humenen nda tan wenan atarka ri karegepanin samankana. Katunan tutur hidepikan lebar abalika wreddhyanin lupa.
Bagaimanakahkah (manusia) dapat menggambarkan-Nya dan meraba-Nya, karena Dia sungguh-sungguh bersifat ‘Tak bermateri’? Itulah sebabnya Dia sangat sukar ditemukan oleh orang yang berniat mencapai Kebahagiaan. Hanya pada waktu manusia mampu men-‘diam’-kan dirinya (dari segala pikirannya liarnya) dan disaat manusia ‘tak merasa menemukan-nya’, maka akan hilang lenyap rasa dan pikiran kembali kepada ‘Ke-alpa-an Yang Sempurna’, (disitulah baru dapat bertemu dengan Dia).
Pupuh VII
1. Asih ulahanikan wwan tan byakta nya kinatayan. Padanira hana ri nika lwir maya taya tinuduh. Ya karananira san wruh nir tan sadhya telenana. Smretinira juga langen nimnajnyana syuci sada.
Segala aktifitas manusia tidak akan menjadi jika tanpa Dia. Kehadiran-Nya hanya dapat diumpamakan seperti Maya (illusi), tak dapat ditunjukkan. Oleh karena itu manusia yang telah tahu, hilang keinginannya yang menggebu-gebu memusatkan pikirannya (untuk mencapai-Nya). Cukup hanya dengan Japa yang terus menerus saja serta dengan batin yang hening (itulah jalan bertemu dengan-Nya).
2. Ri henenikanan ambek tibralit mahenin aho. Lenit aticaya syunya jnyananasyraya wekasan. Swayen umibeki tan ring rat mwan deha tuduhana. Ri panawakira san hyan tatwadhyatmika katemu.
Manakala batin telah hening, menjadi sangat halus, sangat suci dan cemerlang, maka hilanglah segala personalitasnya dan menjadi kosong belaka. Akhirnya Kesadaran Sejati timbul, serta merta meliputi seluruh dunia. Pada waktu Sang Hyang Tatwa (Kenyataan/Kesadaran Tertinggi) mennyatu dengan seseorang, maka bertemulah dia dengan Roh yang Tertinggi (Adyatmika = Paramatma).
3. Ndan i huwusira manka san sampun kretasamaya. Tri-mala malilan in cittande syuddha tanu sada. Lara pati putekin twas ndin sandehan ika kabeh. Geseni manahirapan rudratma sakala wibhuh.
Dan setelah demikian itu, Trimala (Tiga kekotoran) di dalam hati dari ‘manusia yang sudah bertemu’ tersebut menjadi bersih dan membuat tubuhnya suci selalu.
Sakit, mati, dukacita, tak dapat menakutkan dirinya lagi. (Semuanya) telah terbakar di dalam batinnya, karena ia telah menjadi Dewa Rudra (Tuhan) Yang Maha Kuasa diseluruh dunia.
Pupuh VIII
1. Mankana rakwa san telas anemwaken pada wigesa guhyasamaya. Tan manawastha tan hidep amicra suksma ri bhatara satmika lana. Linga manahniran sthiti manekadega madeg in syiwalaya sada. Gaktiniraprameya hibeking jagat juga maweh sukapratihata.
Demikianlah ciri-ciri manusia yang telah menggapai Kesempurnaan Utama. Senantiasa sttabil dan tenang karena telah bersatu badan dan jiwa dengan Bhatara (Tuhan). Hatinya teguh bagaikan lingga yang berdiri kokoh dengan tetap di kerajaan Dewa Siwa. Kesaktiannya tak ada batasnya , meliputi seluruh dunia serta membawa kebahagiaan yang kekal.
2. Na lwiri san tepet manemu yoga sandhinin acintya sasmreti sada. Tan swasyarira kewala wiguddha nirmala tekaparatmaka kabeh. Swartha parartha sadhyanira tan wurun mudani harsanin parahita. Yeka panihnanin sakalamurti san hyan apagoh umandel i sira.
Demikianlah manusia yang sepenuhnya telah mencapai persatuan atau pertemuan dengan Dewa Acintya (Dewa Yang Tak Terpikirkan/Tuhan) melalui Japa yang teratur. Tidak hanya dirinya sendiri yang suci, bahkan orang-orang lain pun akan ikut menjadi suci karena bantuannya. Dia berpikir, bahwa kepentingan orang lain adalah kepentingannya juga. Sudah barang tentu akan membawa kebahagiaan bagi manusia lain seperti halnya hujan. Itulah tanda, bahwa Tuhan telah ‘mengejawantah’ dan ‘menyatu’ secara kekal dengannya.
3. Len hana nista madhya lawan uttaman pada kininkinin hayunika. Mwan karananya mentasa saken aweci musira n sukadhikapada. Yan mulatin parahemu suduhkitalara dahat hidepnira tumon. Ri wruhi tanpa bhedanira mulanin bhuwana jati tunggal ikahen.
Dalam pandangannya tak ada lagi manusia nista, manusia madya (pertengahan antara nista dan utama) dan manusia uttama, semua dia kasihi. Bahkan sampai jalan kelepasan mereka dari neraka, juga diperhatikannya. Manakala melihat orang lain mendapat dukacita, hatinya sangatlah kasihan padanya. Karena ia tahu, bahwa pada dasarnya semua manusia itu tak ada beda (satu kesatuan), semua itu sama.
Pupuh IX
1. Tan manka janaloka buddhi winanunya tan amuhara treptinin hidep. Ndan bwat dwesa gatinya rin paraguna, swaguna juga lewih wuwusnika. Gonnih dosa hinotakenya ri syarira kinekesika tan kanisycayan. Anhin yan hana dosa-matranikanan parajana winulik winarnana.
Tapi tidak seperti itu bagi manusia biasa. Apa yang dipikirkan dan diperbuat, hanyalah demi memuaskan diri sendiri. Ia sangat tidak senang terhadap kemampuan orang lain, dan berkata, bahwa hanya kemampuannyalah yang lebih. Segala kesalahannya yang besar disembunyikan dan disimpannya, sehingga jangan sampai kelihatan. Tetapi bila ada kesalahan orang lain, walaupun sangat kecil, dicari-carinya dan dibuka-buka.
2. Lyan tekan hati tustacitta ri sedehnika n umulati duhkanin waneh. Irsyen wan tumemu n sukanalah ulah karananira manemwa duhkita. Nindyeri sadhu mahardhike manah anindya winalin agawe kaduskretan. Gonnin krodha madeg yadin calana, henti sumukitanikan hinastawa.
Hatinya sangat senang bila melihat orang lain dalam kesusahan. Ia iri hati terhadap orang yang mendapat kesenangan dan bahkan berusaha untuk menjerumuskannya. Orang-orang yang sangat baik dan yang sangat berbudi difitnahnya. Ia sangat marah bila dicela, senang sekali bila disanjung.
3. Tan tunggal mara sampaying nara, wimurka, tumaya-taya rin huwus mahan. Nirsandeha cumodya solahira san jenek anulahaken kasatwikan. Yeku bhranta wimudha-janma tang amet hyang aputeran aneka laksana. Lecyanyan turunin wruh in gati nahan pangucapira manalpika Iwero.
Dengan berbagai cara ia menghina orang, dengan kedengkiannya ia merendahkan orang yang berjasa besar. Tiada sungkan lagi ia mengecam segala perbuatan orang yang melaksanakan perbuatan-perbuatan baik. Semua manusia yang berusaha dengan berbagai jalan dan pergi ke mana-mana untuk mencari Tuhan dengan alasan belum mengerti kebenaran-Nya adalah orang yang tolol dan bingung. Demikian katanya menghina yang lain dan merasa dirinya lebih benar.
4. Ndah mankambekikan syatagelem apet rin analahi n ulah nya nityasa. Lobhe dhih umaku wisyesa tinemunya ri turunin acihna rin praja. Ndan sabdanya juga lepas lwiraniki n kalilinan atikadbhutapatuk. Anhin tan kawenan miber sthiti hanen kuwunika ri wipaksanin tanu.
Demikianlah pikiran orang yang jahat suka mencari-cari kesalahan orang lain.
Dengan tamak dia mengaku dirinya hebat, padahal belum ada bukti yang bisa diperlihatkannya. Kata-katanya sajalah yang hebat, seperti burung enggang dengan patuknya yang sangat besar, ia sendiri tak dapat terbang, ia diam saja di dalam sarangnya, karena kemampuannya tidak sepadan (dengan kata-katanya).
5. Nistanyan pwa ya mankana n gati taman surud anekani sestinin hati. Tan seneh yadin asyana h para tekapnikan awedi kasoran in naya. Wetnin hyunya pujin stutin ya linika bhuwana lepasa denku tan wurun. Simbantenn iki yan makarya ya jugan winawanika ri tambragomuka.
Beginilah akhir bagi manusia yang tidak henti-hentinya memperturutkan segala kehendak hatinya. Ia tak perduli ditertawakan orang lain, karena takut dikatakan kalah bijaksana.
Karena ingin dipuji dan disanjung, ia berkata, Saya yang akan menyelamatkan dunia. Bukannya berhasil, malahan ia terbawa masuk ke neraka.
Pupuh X
1. Tan mankambek munindraticaya nipuna rin sarwa tatwopadesya. Tan sahken lobha yar sorakeni sahananih loka kapwapranamya. Sanka ry asihnira n hetunika pada musap joh lananghyan masewa. Warsajnyanopacantanirami manahikan rat dumeh harsacitta.
Tidaklah demikian hati seorang pendeta besar, yang tinggi ilmunya dalam segala ilmu Kesejatian. Bukan karena loba hatinya, kalau ia menempatkan dirinya lebih tinggi dari orang-orang lain yang menghormatinya. Karena kasihnya maka mereka menghormatinya. Kebijaksanaannya dan kesabarannya bagaikan hujan yang menyirami hati semua orang dan membawa kebahagiaan bagi mereka.
2. Tekwan tan sanka rin pintanika ri datengin sarwa ratnopakara. Wetnyatyanten mahasiddhinira kumawasyen rat taya n langhaniya.
Lagipula bukan karena meminta, sehingga segala permata dan lainnya datang kepadanya. Tetapi karena kesempurnaan (ilmunya) yang mengusai dunia, sehingga tak ada yang membantahnya.
3. Apan prajna suluh san yatiwara masawan bahni candrarka dipta. Rin wahyadhyatmika n anga rinadinanira n syatru yanken peteng sok. Dhwasteka nan tamahnin hati sahananikan papa len klesya syirna. Lila-lilan panicchen bhuwana tekapikan jnyana syaktyaniwarya.
Karena ilmunya yang tinggi sang pendeta menjadi suluh laksana api yang bercahaya, bagai matahari dan bulan. Dengan kebesaran jiwa yang keluar dari dirinya, dikalahkannya musuh yang bagai kegelap gulitan. Hilanglah segala keangkaraan yang berdosa dan musnahlah kecemaran mereka. Dengan sangat baik dibuatnya dunia menjadi bahagia berkat kemampuan ilmunya yang luar biasa.
Pupuh XI
1. Samanka tinkahnira san huwus mahan. Mahojjwalen jnyana lumon prabhaswara. Prabhaswaren rat supenuh nda tan katon. Katon tikan wastu susuksma denira.
Demikianlah tingkah laku orang yang telah mencapai kebesaran (jiwa). Ilmunya bagaikan api berkobar-kobar, bercahaya terang benderang. Sangat cemerlang di dunia, tetapi tetap tidak nampak nyata dalam mata lahir, hanya dapat dirasakan sebagai‘ sesuatu yang sangat halus’.
2. Nirantararthatwa mapinda tan luput. Luput ring angga mwan in anda yan pinet. Pinet maner in hati muksa tan hilan. Hilahnikamicra mawor nda tan pawor.
Terus menerus ‘Sesuatu Yang Sejati’ tersebut mengalir (kepadanya). Tetapi bila dicari didalam batin, walaupun tak ketemu Dia tak hilang. Dia tidak dapat diketemukan, karena walaupun 'menyatu' tetap juga 'tidak menyatu'.
3. Paworniken atma makeka rin tutur. Tutur sadakala sunispreheng sarat. Sarat hilah mwan ri hidep maluy malit. Malit saken litnin acintyaniskala.
Penyatuan Hyang Atma ada di dalam batin. Batin itu seolah terpisah dari dunia, di dalam batin sangat kecil. Kecil karena kehalusan yang tak dapat dicapai dengan pikiran dan pancaindra.
4. Kalah tikan sadripu syirna denira. Niragraha citta wisyuddha nirmala. Malanaput tanpa napel kawes humur. Humur dumohi wisayanya nityaca.
Telah mampu Sadripu (Enam kegelapan batin) dihancurkannya, hatinya suci murni. Kotoran yang meliputi tak dapat melekat dan enyah jauh-jauh serta lenyap untuk selama-lamanya.
5. Salah-kena n lokika mogha tan tinut. Tinut rin ambeknira tan grahomeneng. Meneng mido lalu wicintya tan lebur. Lebur nirakara niraksaratmaka.
Ia tak terikat kepada kebaikan dan keburukan, (tapi terus) batinnya senantiasa aktif memperhatikan segala perubahan dalam kediaman yang jernih. Diam sediam-diamnya, tetapi tidak lenyap. (Segala perbedaan) lebur, hilang bentuk, hilang rupa.
6. Makantya tekana ginuhya rin hati. Atita rin kirya kabeh ya nisphala. Phalanya tan matra kasihhiten manah. Manah sumimpen ri huwusnya nirnaya.
Segala sesuatu larut tersimpan di dalam batinnya. Segala tingkah lakunya telah bebas dari karmaphala. Segala buah karma sekesil apapun lebur di dalam batin, dan batinnya telah stabil tanpa perlu dipaksakan lagi.
Pupuh XII
1. Ya samankana rakwa lekasira san uttama diwyayati. Ginelarnira san guru pananumaten kami mudha dahat. Wiphalan kadi dipa sumeleh atidipta tibeh jaladni. Temahanya padem kakelem i petehih hati lot wipatha.
Demikianlah tingkah laku orang yang utama yang telah mencapai badan Dewata. Diuraikan oleh hamba yang sangat dungu dengan izin guru hamba. Tapi tak ada gunanya, karena seperti api yang bercahaya-cahaya jatuh di lautan. Akhirnya padam tengelam di kekelaman hati yang selalu menuju persimpangan jalan.
Pupuh XIII
1. Iwirnii wadhaka syaktinin wisaya syatru jaladhi sama kirna tar surud. Rwabhyandurbalani swacitta mawetu n karaketan i temahnya rin sarat. Na hetunkwa n umura karwa lepihan teher akemula kresna jirnaka. Wetnin tan sipi duhka mandagagunen bapa ri panatagin purakreti.
Kekuatan Wisaya (obyek kenikmatan duniawi) sangatlah menganggu laksana musuh dan laksana lautan yang tengah pasang. Air pasang itu menjerumuskan hatiku ke dalam kesulitan, membuat hatiku terpaut kepada keduniawian. Itulah sebabnya hamba lari membawa kitab ini lalu berselubung kain hitam yang telah compang-camping, karena tak terhingga kesedihan hamba disebabkan kurang kepandaian dan ketabahan hati untuk melaksanakan perintah bapa hamba di dalam istana.
2. Nahan hinanikan palamban atidurlikita wigati tar wenang linen, Ndan sin syabda riniptaken teka n ujar sarinapini winorku ring rasa. Bhrantajnyananikin pitanuluyi putra sawuwusika tulya bhasmaran. Tustenwan yadin asyana n para sadenya syumasyada linampuning hulun.
Inilah akhir Lambang (Perumpamaan) yang tertulis dengan sangat buruknya dan tak ada gunanya untuk dipercakapkan. Sembarang kata telah tertulis karena semua ungkapan-ungkapan yang tercatat telah tercampur perasaan, yang timbul dari kesedihan. Bapa kemudian memberi penerangan dengan kasihnya. Hamba akan tetap bergembira walau ditertawakan orang, biar pun dicela hamaba akan menerima
3. Tekwan tan wihikan gatinku ri rusit-rusitin akawi punya kirtiman. Nhih sinwinutusin yayah medarena katiwasanira nitya kasymala. Hetunkwanis anuksma mogha maparab wedi katenera cihnanin hulun. Eran ngwan sthitihen pradega juga tan maluya wekasanin nirarthaka.
Lagi pula hamba memang tidak tahu akan segala seluk-beluk membuat syair seperti para ahli (Pujangga). Tapi hamba diperintah dengan keras oleh bapa untuk menguraikan kegagalan-kegagalan orang yang selalu berdosa. Oleh karena itu hamba pergi ketempat yang sunyi dan mempergunakan nama samaran, takut akan ketahuan nama hamba yang benar. Hamba malu dan akan tetap tinggal di desa dan tak akan kembali sampai akhir hidupku.
Iti nirarthaprakreta samapta telas rincanan dening puputut tan wrin deya.
Ung Ang Saraswatyai Namah.
Siddhir astu. Sampurna pwa yeng kancana. Durgha Dewi tan len ika sthananya ring Padmambara.
Selesai sudah nirarthaprakreta…………………………,
Ung Ang Terpujilah Dewi Saraswati
Siddhir astu, semoga sempurna bagai mutiara, Dewi Durgha tiada lain tahtanya di Padmambara
(Durgha : 1, Len : 2, Sthana: 8, Padma : 8 ~ ditulis oleh Mpu Prapancha, yang bernama asli Dang Acharya Nadendra pada tahun 1288 Saka atau 1366 Masehi. Selesai sesudah menulis Kakawin Nagarakretagama)
Kakawin ini ditemukan satu paket dengan Kakawin Nagarakretagama yang terkenal itu dengan Sugataparwa Warnnana pada tahun 1894 di Puri CAKRANEGARA, LOMBOK oleh J.L.A. Brandes. Ketiganya ~Nagarakretagama, Sugataparwa Warnnana dan Nirartha Prakretha adalah karya Dang Acharya Nadendra, pejabat Darmmadhyaksa Ring Kasogatan (Pembesar Agama Buddha) di Majapahit disaat jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa dimana Majapahit tengah mencapai puncak kegemilangannya. Dang Acharya Nadendra mengambil nama samaran Mpu Prapancha. Dan nama ini yang dikenal sampai sekarang.
http://bn-in.facebook.com/topic.php?uid=20369925865&topic=15769
0 comments:
Posting Komentar