Sesembahan


Konsep tentang Tuhan/Gusti mencakup konsep tentang siapa yang disembah (sesembahan) dan tentang siapa yang menyembah dan caranya (panembah).
Sebelum datangnya Hindu & Budha banyak yang mengira Jawa menganut faham animisme & dinamisme bahkan ada yang menyebut sebagai polytheisme. Karena memang lain dari konsep yang ada kalau sekarang konsep Jawa ini lebih bisa diartikan ke arah “new age” atau malah agnostik yaitu dengan ber”tuhan” namun tidak mempercayai atau mengadopsi cerita nabi/malaikat. Karena memang mengedepankan “laku” pribadi dan menolak adanya konsep “malaikat”. Seperti yang ditelusuri oleh Prof, Purbacaraka dan juga dalam kitab tamtu panggelaran, dimana konsep awal Tuhan Jawa adalah tunggal/esa yaitu Sang Hyang Tunggal/ Sang Hyang Wenang yang merupakan konsep transendent dan Immanent dan Esa.
Setelah Hindu Budha masuk konsep tadi tersingkir dengan adanya Sang Hyang Mahadewa (Bathrara Guru) dilanjutkan dengan jaman Islam dengan masuknya Sang Hyang Adhama dan Sang Hyang Nurcahya dimana Sang Hyang Wenang “mengalah” dengan menempati posisi di bawah Sang Hyang Adhama.
Meskipun dinalar rumt dan mbulet namun dalam keberadaban Jawa yang mengutamakan “laku” hal tersebut nggak ada masalahnya, karena pada kenyataanya yang “nyanthel” atau yang melekat dalam sanubari Jawa adalah sebutan “Pangeran” atau “Gusti” yang lebih pas dirasa di kalbu Jawa bila menyebutkan konsep Tuhan. Bila menyebut Gusti rasanya “mak nyes” neng ati...seperti mas Bondan yang menyebut “mak nyus” dikala mencicipi kuliner yang nikmat.
Inilah konsep kuliner sesembahan Jawa ..”mak nyes” , yangmemang untuk dirasakan bukan untuk dianalogikan atau direkadaya (dicari-cari) namun diresapi.
Adapun mbah R. Ng. Ranggawarsito dalam bukunya Paramayoga pernah mengutarakan sesebutan sesembahan Jawa antara lain : Sang Hyang Suksma Kawekas, Sang Hyang Suksma Wisesa, Sang Hyang Amurbeng Rat, Sang Hyang Sidhem Permanem, Sang Hyang Maha Luhur, Sang Hyang Wisesaning Tunggal, Sang Hyang Wenanging Jagad, Sang Hyang Maha Tinggi, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Maha Sidhi, Sang Hyang Warmana, Sang Hyang Atmaweda dan lain-lainnya.




Panembah

Meskipun Kejawen bukan agama namun memberikan tata-cara atau tuntunan bagaimana “mamenbah” itu sendiri, namun tidak mengajarkan “how “ manembahnya. Lebih ke arah why-nya.
Why manembah ? Adalah memberikan tuntunan laku supaya bener lan pener untuk tujuan hidup yang berguna. Berguna bagi siapa ? Ya temtunya awalnya pada diri sendiri setelah itu the universe itu sendiri dalam ikut membangun peradaban dunia “melu memayu hayuning bawana” membuat cantik yang sudah tercipta cantik. Ada yang mengatakan memayu hayuning bawana adalah sesanti/filosofi yang mokal/tidak mungkin dicapai (sulit). Karena mengurusi diri sendiri dan keluarga , bebrayan saja kadang susah dan tidak sanggup kok mau mengurusi dunia. Inilah yang dulu saya sebut “kadohan panjangkamu ngger !”, seperti yang tertulis di Wedhatama. Yang disebut memayu hayuning bawana adalah wujud dari asung tuladha (budi) baik menghidupi atau menjalankan laku pribadi dengan pedoman-pedoman ide dasar jawa dulu. Contohnya : Untuk berbuat demi masyarakat sekitar tidak perlu ikut-ikutan ikut partai peserta pemilu (aku gak ngajak lho ..ini cuma perumpamaan). Namun untuk menjadi pemimpin kita bisa kok membuat (misal mampu) usaha swadaya dan swakarsa yang mengakomodasi masyarakat sekitar, sehingga bisa membantu dalam kehidupannya sehari-hari menyantuni masyarakat yang kurang mampu dan membangkitkan mereka. Rasanya lebih baik dari pada hura-hura politik apalagi dengan embel-embel agama segala. Hasilnya adalah “mbel gedhes” !


Kembali ke topic , awalnya adalah menyembah/percaya marang diri pribadi dalam menjalankan hidup dengan berdasar falsafah ke 6 dulu dengan puncaknya adalah sembah keharibaan pribadi dengan “nitisake pati” (memprioritaskan/menuju) sembah mati kembali ke asal muasal. Adapun penjelasan ringkas dari “titising pati”itu adalah bisa mengembalikan semua bahan pinjaman penyusun hidup kita yangtelah diberikan Gusti dengan bener lan pener (dengan benar dan tepat waktu serta tempat). Yang awalnya berupa materi alam semesta kembali ke alam semesta dan yang berupa materi cahaya serta teja kembali ke sumber cahya dan teja, sedangkan urip (suksma) kembali ke Gusti. Inilah konsep baku jawa yang disebut Sangkan Paraning Dumadi (nanti tak posting kapan-kapan) , namun secara singkat bisa dijelaskan bahwa sangkan paraning dumadi itu adalah 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu :

Aku berasal dari mana (lahir)
Aku mau kemana/ngapain (hidup)
Akhirnya aku ngapain dan bagimana caranya (mati)

Maka dari itu dalam peradaban jawa dikedepankan tata cara “olah rasa” sehingga bukan “hasilnya” yang dituju namun “melakukannya”. Contohnya adalah beberapa ilustrasi berikut :
Di Jawa ada yang namanya “beksan” yaitu suatu bentuk tari-tarian, coba diperhatikan tingkah laku penarinya. Untuk nyemplak selendang sang penari kadang harus muter dulu seperti tata cara olah raga melempar martil, namun tidak dengan kekeuatan tapi kualitas semplakan yang di cari.
Demikian juga untuk tembang/lagu Jawa, ada yang aneh-aneh namun kalau diperhatikan akan mengesankan dengan mengedepankan “memayu hayuning bawana” tadi. Seperti lagu/tembang “laler mengeng” (lalat berbunyi)...lha wong lalat bunyi kok dibahas ! Juga tentang lagu “tebu rubuh” (tebu jatuh” serta suluk dalang. Semua itu adalah memperhatikan konsep natural life yang harmoni.
Menjalankan sembah sejati tidak hanya urusan lahir, namun sebaiknya dilakukan dan diresapi seperti memahami lagu/tembang laler mengeng diatas. Apa sih indahnya bunyi lalat, apa sih indahnya bunyi air hujan jatuh ?. Itulah keindahan irama jiwa.

Ngelmu Karang

Ilmu sejati adalah ilmu /pengetahuan yang telah diuraikan diatas untuk mencicipi sangkan paraning dumadi, dengan olah rasa/kebatinan.spiritual. Namun ada ngelmu/pengetahuan yang tidak ada sangkut pautnya dengan memayu hayuning bawana atau sangkan paraning dumadi. Namun hanya mengedepankan “bagaimana hidup” dan “menikmati” keduniaan yaitu seperti ilmu-ilmu yang disebut ilmu karang (kekarangan = persekutuan). Yang hanya pengin hidup enak dengan kenikmatan dunia seperti “kumrubuking iwak, gumrincing ringgit lan kumlerape pupu kuning” enaknya makanan, banyaknya harta benda dan nikmatnya paha putih syahwat.
Sehingga banyak ilmu kebatinan yang dipakai untuk mencari kepuasan dunia tersebut seperti pesugihan, aji-aji, jimat, pusaka dan lain-lainnya. Di Wedhatama hal tersebut disentil oleh pengarangnya dengan menyebut kekarangan (bersekutu) dengan bangsa goib adalah tidak benar dan adakalanya bisa mencelakanan / luput saking tujuwan urip.

“Kekerane ngelmu karang, kekarengan saking bangsaning gaig, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jagad, amung aneng jabaning daging kulub, yen kapengkok ppancabaya , ubayane mbalenjani”

Ngelmu karang itu bersekutu dengan gaib, yang seperti itu ibarat boreh (pupur/kosmetik) yangtidak merasuk ke jiwa raga. Tempatnya hanya diluar daging. Bila suatu saat ingin digunakan kadang tidak mumpuni.

To be continued ...

0 comments:

Posting Komentar