Walau telah menjadi festival kebudayaan berskala nasional, Seren Taun pernah mengalami episode gelap yakni ketika zaman represif Soeharto berkuasa. Selama tujuhbelas tahun pergelaran ini dilarang diselenggarakan”
Perlahan sang fajar menggeliat dari balik bahu Gunung Ciremai yang kekar. Sisa kabut masih mengambang ketika sekelompok pria dan wanita bergegas menelusuri jalan setapak menuju sebuah tempat di ketinggian sana. Membawa keranjang anyaman dari bambu berisi rupa-rupa bunga dan sayuran untuk persembahan, mereka berhenti di sebuah tanah lapang berbatu di bibir jurang Situriang. Berpuluh orang sudah ramai berkumpul di tempat itu menunggu prosesi dimulai. Selang setengah jam kemudian, ketika matahari sudah setinggi tombak, serombongan lain datang, yaitu para pemangku adat serta tokoh masyarakat yang dituakan. Setibanya di sana, mereka mulai melantunkan rangkaian pupuh serta doa sembari melemparkan bunga dan sayuran persembahan—simbol dosa dan nasib buruk tahun lalu—ke dalam dasar jurang. Sebuah rampak tarian dinamis yang mempersonifikasikan kegairahan meraih nasib yang lebih baik di tahun mendatang menyempurnakan rangkaian ritual ruwatan. Di penghujung hari itu, mereka akan kembali ke rumah masing-masing membawa semangat yang telah dinyalakan serta kegembiraan menyambut perayaan tahunan yang segera datang.
Ritual ruwatan “membuang hama” menandai dimulainya acara syukuran masyarakat Cigugur yang lebih dikenal dengan nama Seren Taun. Diselenggarakan setiap tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir dari sistem kalender sunda, Seren Taun berarti serah terima dari tahun lalu menuju tahun mendatang. Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat agraris sunda, Seren Taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang diperoleh tahun ini, seraya berharap tahun depan akan memperoleh hasil yang lebih baik. Seluruh kegiatan Seren Taun dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Festival budaya yang penuh warna ini sendiri merupakan representasi dari komunitas Cigugur—sebuah kecamatan terpencil di Jawa Barat—yang mempunyai struktur masyarakat dan kebudayaan unik. Setiap tahunnya sekitar tiga ribu orang dari lima desa akan membanjiri Cigugur untuk merayakannya. Tak hanya di Cigugur sesungguhnya ritual Seren Taun juga diselenggarakan di beberapa tempat di Jawa Barat seperti di Desa Ciptagelar Sukabumi, Desa Pasir Eurih Bogor, Desa Kanekes Banten dan Kampung Naga Tasikmalaya. Namun yang paling dikenal dan dinantikan karena kemeriahan acaranya adalah Seren Taun di Cigugur. Selama beberapa tahun terakhir, festival ini telah menarik para wisatawan, pengamat serta komunitas kebudayaan dari seluruh Indonesia untuk datang dan berpartisipasi. Seperti misalnya komunitas Dayak Indramayu dan Baduy Banten yang selalu datang dalam rombongan besar setiap tahun lengkap dengan membawa berbagai persembahan. Selain dihadiri komunitas kebudayaan, beberapa sekolah menengah internasional di Jakarta pun memanfaatkan acara itu sebagai ajang study tour para siswanya.
Meski telah menjadi festival kebudayaan berskala nasional, namun Seren Taun pernah mengalami periode gelap yakni ketika zaman represif Soeharto berkuasa. Selama tujuhbelas tahun pergelaran ini dilarang diselenggarakan karena dianggap mengandung unsur ajaran lama masyarakat sunda yaitu Sunda Wiwitan. Pada awal abad ke-19, seorang pangeran dari Cigugur dikenal dengan nama Madrais menyebarkan sebuah ajaran baru yang didasari oleh kepercayaan primitif masyarakat agraris Jawa Barat. Lahir sebagai seorang muslim, Madrais merangkum berbagai agama dan kepercayaan masyarakat ke dalam filosofi baru miliknya. Salah satu contohnya adalah mengakui eksistensi Nabi Muhammad tapi menafikan Alquran, mengakui batari kesuburan Dewi Sri namun mengingkari sistem kepercayaan politeisme. Dalam prakteknya, Sunda Wiwitan mengkombinasikan berbagai ajaran agama yang dikenal di dunia dengan kebudayaan asli masyarakat Sunda. Tercatat lebih dari dua ribu pengikut Sunda Wiwitan tinggal Cigugur. Sosok Djatikusumah, dipercaya sebagai cucu Pangaeran Madrais, tak bisa dilepaskan dari komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur. Ia berpengaruh besar dalam menghidupkan kembali acara Seren Taun—setelah tujuhbelas tahun dilarang—dengan membangun aula dan taman di atas tanah seluas tujuh ribu meter persegi sebagai arena festival. Tak hanya nilai spiritualisme yang ia coba tanamkan lewat festival ini namun juga sisi pragmatisme, ia ingin memperkenalkan komunitas Sunda Wiwitan kepada masyarakat nasional dan internasional.
“Saya ingin menunjukkan betapa beragamnya budaya kami, betapa toleransinya kami, betapa ini bisa menjadi sebuah model bagi masyarakat Indonesia dan dunia,” jelasnya.
Sudah sejak lama komunitas Sunda Wiwitan menjadi kelompok marjinal yang tersisihkan di negara yang konon mengagungkan demokrasi dan ke-bhineka tunggal ika-an. Secara administrasi kependudukan, tidak mungkin bagi seorang penganut Sunda Wiwitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat nikah atau pelayanan publik—yang juga berlaku untuk aliran kepercayaan lainnya. Meski sejak tahun 1999, pemerintah mulai mengakui berbagai aliran kepercayaan dan menghapus diskriminasi administratif, namun perjuangan belumlah berakhir karena kenyataan di lapangan berkata lain. Berbagai kendala dan kesulitan masih mereka temui dalam memperoleh layanan publik dan perizinan. Berbagai upaya lobi telah dilakukan oleh komunitas Sunda Wiwitan bersama aliran kepercayaan lainnya untuk mendukung lahirnya sebuah undang-undang yang menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan berkebudayaan. Atas dasar itu maka tema sentral yang diusung Seren Taun setiap tahunnya adalah demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Pasca ritual ruwatan, setiap pojok dan tempat dibersihkan dari segala energi negatif dan nasib sial tahun lalu, maka festival pun siap digelar. Dalam tiga hari ke depan Cigugur pun akan hingar bingar oleh musik, tari dan upacara ritual. Damar Sewu atau menyalakan seribu obor yang dimulai dari halaman pendopo Paseban Tri Panca Tunggal menjadi helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat Seren Taun Cigugur. Dilanjutkan dengan acara Kaulinan Barudak yaitu atraksi berbagai permainan tradisional anak-anak yang hampir punah. Pada malam berikutnya sebuah pertunjukan tari unik beraroma mistis menyemarakkan acara. Wangi dupa menebar berbarengan dengan lantunan doa Sunda Wiwitan membuka pertunjukan. Diiringi suara gesekan alat musik tarawangsa yang menyayat-nyayat para penari mulai melenggak-lenggok dalam arah berputar searah jarum jam. Salah seorang di antaranya membawa kalungan bunga yang pada gilirannya nanti akan dikalungkan di leher seorang penonton. Seperti dihipnotis, penonton itu kemudian akan melompat masuk ke dalam arena dan mengikuti gerak tari layaknya penari yang telah mahir. Acara lainnya yang tak kalah menarik adalah misa sore Katholik. Unik, selain karena misa dilaksanakan dengan bahasa sunda, para jemaat yang datang pun semuanya berpakaian tradisional sunda. Dalam semangat bersyukur, berbagai jenis buah dan palawija hasil bumi dipajang di panggung altar dan ruangan misa berbaur dengan simbol-simbol Trinitas.
Hari terakhir adalah parade pelangi. Penuh warna. Mengenakan berbagai macam pakaian adat warna-warni, ratusan orang secara berkelompok beriringan di jalan, membawa berbagai macam barang persembahan dalam keranjang; bunga, buah, kue, warna-warni bendera hingga patung burung raksasa. Parade terbagi dalam dua kelompok besar yang datang dari arah berlawanan. Keduanya akan bertemu di satu titik di taman dan aula yang menjadi episentrum acara. Hingar bingar musik dan tari ditingkahi akrobat angklung menyemarakkan parade. Setelah seluruh rombongan memasuki taman, disambung beberapa buah kata sambutan dari para pemangku adat, tiba-tiba suara puluhan alu (alat penumbuk padi) bertalu-talu memenuhi seluruh penjuru. Itu adalah prosesi menumbuk padi yang menjadi penanda puncak acara festival—dilakukan secara bergilir tanpa henti oleh seluruh peserta yang hadir di sana. Beras hasil tumbukan kemudian akan dibagikan kepada masyarakat setempat serta seluruh kelompok yang telah berpartisipasi dalam acara Seren Taun.
Matahari mulai melangkah ke arah barat ketika riuh rendah alunan bunyi alu perlahan senyap. Satu demi satu para peserta dan penduduk meninggalkan taman dengan membawa setangkup harapan akan nasib dan peruntungan yang lebih baik di tahun depan. Mata acara yang tersisa tinggal pagelaran wayang golek di malam hari. Hening dan lengang memenuhi aula ketika para tamu mulai berpamitan disertai ucapan terima kasih kepada tuan rumah yang telah menjamu mereka secara tulus bersahaja. Barisan bus yang membawa ratusan peserta satu per satu mulai meninggalkan Padepokan Paseban Tri Panca Tunggal, namun kehangatan persahabatan dan toleransi yang ditunjukkan masyarakat Cigugur akan tetap tinggal dan berdegup di sana.
Perlahan sang fajar menggeliat dari balik bahu Gunung Ciremai yang kekar. Sisa kabut masih mengambang ketika sekelompok pria dan wanita bergegas menelusuri jalan setapak menuju sebuah tempat di ketinggian sana. Membawa keranjang anyaman dari bambu berisi rupa-rupa bunga dan sayuran untuk persembahan, mereka berhenti di sebuah tanah lapang berbatu di bibir jurang Situriang. Berpuluh orang sudah ramai berkumpul di tempat itu menunggu prosesi dimulai. Selang setengah jam kemudian, ketika matahari sudah setinggi tombak, serombongan lain datang, yaitu para pemangku adat serta tokoh masyarakat yang dituakan. Setibanya di sana, mereka mulai melantunkan rangkaian pupuh serta doa sembari melemparkan bunga dan sayuran persembahan—simbol dosa dan nasib buruk tahun lalu—ke dalam dasar jurang. Sebuah rampak tarian dinamis yang mempersonifikasikan kegairahan meraih nasib yang lebih baik di tahun mendatang menyempurnakan rangkaian ritual ruwatan. Di penghujung hari itu, mereka akan kembali ke rumah masing-masing membawa semangat yang telah dinyalakan serta kegembiraan menyambut perayaan tahunan yang segera datang.
Ritual ruwatan “membuang hama” menandai dimulainya acara syukuran masyarakat Cigugur yang lebih dikenal dengan nama Seren Taun. Diselenggarakan setiap tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir dari sistem kalender sunda, Seren Taun berarti serah terima dari tahun lalu menuju tahun mendatang. Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat agraris sunda, Seren Taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang diperoleh tahun ini, seraya berharap tahun depan akan memperoleh hasil yang lebih baik. Seluruh kegiatan Seren Taun dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Festival budaya yang penuh warna ini sendiri merupakan representasi dari komunitas Cigugur—sebuah kecamatan terpencil di Jawa Barat—yang mempunyai struktur masyarakat dan kebudayaan unik. Setiap tahunnya sekitar tiga ribu orang dari lima desa akan membanjiri Cigugur untuk merayakannya. Tak hanya di Cigugur sesungguhnya ritual Seren Taun juga diselenggarakan di beberapa tempat di Jawa Barat seperti di Desa Ciptagelar Sukabumi, Desa Pasir Eurih Bogor, Desa Kanekes Banten dan Kampung Naga Tasikmalaya. Namun yang paling dikenal dan dinantikan karena kemeriahan acaranya adalah Seren Taun di Cigugur. Selama beberapa tahun terakhir, festival ini telah menarik para wisatawan, pengamat serta komunitas kebudayaan dari seluruh Indonesia untuk datang dan berpartisipasi. Seperti misalnya komunitas Dayak Indramayu dan Baduy Banten yang selalu datang dalam rombongan besar setiap tahun lengkap dengan membawa berbagai persembahan. Selain dihadiri komunitas kebudayaan, beberapa sekolah menengah internasional di Jakarta pun memanfaatkan acara itu sebagai ajang study tour para siswanya.
Meski telah menjadi festival kebudayaan berskala nasional, namun Seren Taun pernah mengalami periode gelap yakni ketika zaman represif Soeharto berkuasa. Selama tujuhbelas tahun pergelaran ini dilarang diselenggarakan karena dianggap mengandung unsur ajaran lama masyarakat sunda yaitu Sunda Wiwitan. Pada awal abad ke-19, seorang pangeran dari Cigugur dikenal dengan nama Madrais menyebarkan sebuah ajaran baru yang didasari oleh kepercayaan primitif masyarakat agraris Jawa Barat. Lahir sebagai seorang muslim, Madrais merangkum berbagai agama dan kepercayaan masyarakat ke dalam filosofi baru miliknya. Salah satu contohnya adalah mengakui eksistensi Nabi Muhammad tapi menafikan Alquran, mengakui batari kesuburan Dewi Sri namun mengingkari sistem kepercayaan politeisme. Dalam prakteknya, Sunda Wiwitan mengkombinasikan berbagai ajaran agama yang dikenal di dunia dengan kebudayaan asli masyarakat Sunda. Tercatat lebih dari dua ribu pengikut Sunda Wiwitan tinggal Cigugur. Sosok Djatikusumah, dipercaya sebagai cucu Pangaeran Madrais, tak bisa dilepaskan dari komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur. Ia berpengaruh besar dalam menghidupkan kembali acara Seren Taun—setelah tujuhbelas tahun dilarang—dengan membangun aula dan taman di atas tanah seluas tujuh ribu meter persegi sebagai arena festival. Tak hanya nilai spiritualisme yang ia coba tanamkan lewat festival ini namun juga sisi pragmatisme, ia ingin memperkenalkan komunitas Sunda Wiwitan kepada masyarakat nasional dan internasional.
“Saya ingin menunjukkan betapa beragamnya budaya kami, betapa toleransinya kami, betapa ini bisa menjadi sebuah model bagi masyarakat Indonesia dan dunia,” jelasnya.
Sudah sejak lama komunitas Sunda Wiwitan menjadi kelompok marjinal yang tersisihkan di negara yang konon mengagungkan demokrasi dan ke-bhineka tunggal ika-an. Secara administrasi kependudukan, tidak mungkin bagi seorang penganut Sunda Wiwitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat nikah atau pelayanan publik—yang juga berlaku untuk aliran kepercayaan lainnya. Meski sejak tahun 1999, pemerintah mulai mengakui berbagai aliran kepercayaan dan menghapus diskriminasi administratif, namun perjuangan belumlah berakhir karena kenyataan di lapangan berkata lain. Berbagai kendala dan kesulitan masih mereka temui dalam memperoleh layanan publik dan perizinan. Berbagai upaya lobi telah dilakukan oleh komunitas Sunda Wiwitan bersama aliran kepercayaan lainnya untuk mendukung lahirnya sebuah undang-undang yang menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan berkebudayaan. Atas dasar itu maka tema sentral yang diusung Seren Taun setiap tahunnya adalah demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Pasca ritual ruwatan, setiap pojok dan tempat dibersihkan dari segala energi negatif dan nasib sial tahun lalu, maka festival pun siap digelar. Dalam tiga hari ke depan Cigugur pun akan hingar bingar oleh musik, tari dan upacara ritual. Damar Sewu atau menyalakan seribu obor yang dimulai dari halaman pendopo Paseban Tri Panca Tunggal menjadi helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat Seren Taun Cigugur. Dilanjutkan dengan acara Kaulinan Barudak yaitu atraksi berbagai permainan tradisional anak-anak yang hampir punah. Pada malam berikutnya sebuah pertunjukan tari unik beraroma mistis menyemarakkan acara. Wangi dupa menebar berbarengan dengan lantunan doa Sunda Wiwitan membuka pertunjukan. Diiringi suara gesekan alat musik tarawangsa yang menyayat-nyayat para penari mulai melenggak-lenggok dalam arah berputar searah jarum jam. Salah seorang di antaranya membawa kalungan bunga yang pada gilirannya nanti akan dikalungkan di leher seorang penonton. Seperti dihipnotis, penonton itu kemudian akan melompat masuk ke dalam arena dan mengikuti gerak tari layaknya penari yang telah mahir. Acara lainnya yang tak kalah menarik adalah misa sore Katholik. Unik, selain karena misa dilaksanakan dengan bahasa sunda, para jemaat yang datang pun semuanya berpakaian tradisional sunda. Dalam semangat bersyukur, berbagai jenis buah dan palawija hasil bumi dipajang di panggung altar dan ruangan misa berbaur dengan simbol-simbol Trinitas.
Hari terakhir adalah parade pelangi. Penuh warna. Mengenakan berbagai macam pakaian adat warna-warni, ratusan orang secara berkelompok beriringan di jalan, membawa berbagai macam barang persembahan dalam keranjang; bunga, buah, kue, warna-warni bendera hingga patung burung raksasa. Parade terbagi dalam dua kelompok besar yang datang dari arah berlawanan. Keduanya akan bertemu di satu titik di taman dan aula yang menjadi episentrum acara. Hingar bingar musik dan tari ditingkahi akrobat angklung menyemarakkan parade. Setelah seluruh rombongan memasuki taman, disambung beberapa buah kata sambutan dari para pemangku adat, tiba-tiba suara puluhan alu (alat penumbuk padi) bertalu-talu memenuhi seluruh penjuru. Itu adalah prosesi menumbuk padi yang menjadi penanda puncak acara festival—dilakukan secara bergilir tanpa henti oleh seluruh peserta yang hadir di sana. Beras hasil tumbukan kemudian akan dibagikan kepada masyarakat setempat serta seluruh kelompok yang telah berpartisipasi dalam acara Seren Taun.
Matahari mulai melangkah ke arah barat ketika riuh rendah alunan bunyi alu perlahan senyap. Satu demi satu para peserta dan penduduk meninggalkan taman dengan membawa setangkup harapan akan nasib dan peruntungan yang lebih baik di tahun depan. Mata acara yang tersisa tinggal pagelaran wayang golek di malam hari. Hening dan lengang memenuhi aula ketika para tamu mulai berpamitan disertai ucapan terima kasih kepada tuan rumah yang telah menjamu mereka secara tulus bersahaja. Barisan bus yang membawa ratusan peserta satu per satu mulai meninggalkan Padepokan Paseban Tri Panca Tunggal, namun kehangatan persahabatan dan toleransi yang ditunjukkan masyarakat Cigugur akan tetap tinggal dan berdegup di sana.
0 comments:
Posting Komentar