Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) di Kabupaten Kebumen merupakan sebuah organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penganut Kepercayaan yang tergabung dalam Paguyuban ini tidak hanya warga masyarakat Kebumen, melainkan juga ada yang berasal dari daerah Banjarnengara, Banyumas, Cilacap, Purworejo, bahkan dari luar jawa yaitu Lampung. Sekretariat PBB Pusat berlokasi di Jl. Sumatra No.9 Rt.02- Rw 09 Kelurahan Wonokriyo – Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen, sebagai Ketua Umum adalah Bp. Adji Tjaroko.
Pada hari Sabtu Kliwon malam Minggu Legi (26/04), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Tengah mengadakan acara perekaman tata ritual warga penghayat di Paguyuban Budaya Bangsa ini. diikuti kurang lebih 200 anggota paguyuban dan dihadiri pejabat setempat acara perekaman ini meliputi tata cara meditasi/sembahyang dan pernikahan adat/penghayat.
Acara dibuka dengan upacara pembukaan di gedung pertemuan PBB Kebumen. Acara ini dihadiri Kepala Seksi Nilai Budaya Disbudpar Jateng Ibu Eny Haryanti, S.Pd. M.pd, Kepala Disbudpar Kabupaten Kebumen Drs H Hery Setyanto.
Ritual Meditasi dilaksanakan di tempat ibadah/sujudan yang dinamakan sebagai Sanggar Meditasi Wonomarto yang berlokasi di area rumah Bp. Adji Tjaroko.
Sejarah Singkat Sanggar Meditasi Wonomarto
Sejarah keberadaan Sanggar Meditasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari tokoh historis yang merupakan kakek dari Bapak Adji Tjaroko yang bernama Ki Bagus Hadi Kusumo. Sejak tahun 1917 beliau telah menyebarluaskan ajaran dan kawruh Jawa yang dinamakan Kawruh Naluri (KWN. Istilah ini sempat menerima labeling negatif dan dipersoalkan secara hukum oleh pihak-pihak tertentu di era Orde Baru pada tahun 1970-an sehingga menimbulkan traumatik komunitas pengguna istilah ini). Komunitas yang dipimpin Ki Bagus Hadi Kusumo bukan bagian aliran agama baik Kristen, Islam, Hindu serta Budha.
Ajaran ini merupakan bagian dari konsep Kejawen yang lahir dan dipercaya serta disebarluaskan melalui konsep hubungan “Guru Murid” sebagaimana lazimnya kawruh-kawruh Jawa yang berkembang di zamannya. Ki Bagus Hadi Kusumo tidak hanya menyebarluaskan kepercayaannya sehingga memiliki ribuan pengikut, namun beliau juga terlibat dalam menentang arogansi pemerintahan Belanda di wilayah Gombong pada zamannya. Menurut pemaparan Bpk Adji Tjaroko, pada tahun 1920-an Belanda menuntut pajak per kepala penduduk pribumi. Namun Ki Bagus Hadi Kusumo menentang dan melawan dengan menolak pembayaran pajak bahkan dengan berani mengatakan, “Ini bumi kami. Mestinya kamilah yang menarik pajak pada kalian yang pendatang!”. Dalam usahanya menentang kebijakkan pemerintahan kolonial, beliau tidak pernah membawa pengikut atau mengerahkan kekuatan fisik namun melakukannya secara individual. Dikarenakan Ki Bagus Hadi Kusumo kerap melakukan berbagai tindakan yang menimbulkan kemarahan Belanda, maka beliau sering berurusan dengan polisi Belanda dan di penjara berulang kali.
Ajaran ini merupakan bagian dari konsep Kejawen yang lahir dan dipercaya serta disebarluaskan melalui konsep hubungan “Guru Murid” sebagaimana lazimnya kawruh-kawruh Jawa yang berkembang di zamannya. Ki Bagus Hadi Kusumo tidak hanya menyebarluaskan kepercayaannya sehingga memiliki ribuan pengikut, namun beliau juga terlibat dalam menentang arogansi pemerintahan Belanda di wilayah Gombong pada zamannya. Menurut pemaparan Bpk Adji Tjaroko, pada tahun 1920-an Belanda menuntut pajak per kepala penduduk pribumi. Namun Ki Bagus Hadi Kusumo menentang dan melawan dengan menolak pembayaran pajak bahkan dengan berani mengatakan, “Ini bumi kami. Mestinya kamilah yang menarik pajak pada kalian yang pendatang!”. Dalam usahanya menentang kebijakkan pemerintahan kolonial, beliau tidak pernah membawa pengikut atau mengerahkan kekuatan fisik namun melakukannya secara individual. Dikarenakan Ki Bagus Hadi Kusumo kerap melakukan berbagai tindakan yang menimbulkan kemarahan Belanda, maka beliau sering berurusan dengan polisi Belanda dan di penjara berulang kali.
Setelah Ki Bagus Hadi Kusuwo wafat, maka Kawruh Naluri diteruskan oleh putranya yang bernama Nurhadi (ayah dari Bapak Adji Tjaroko). Melalui usaha Bapak Nurhadi dan pengikutnya, maka terbentuklah bangunan Sanggar Meditasi pada tahun 1959. Bentuk bangunan menyerupai candi dikarenakan ada sejumlah relief di sekeliling bangunan luar tersebut. Dibangun dengan batu gunung dan dibuat bertingkat menyerupai sejumlah candi di Jawa. Ruang dalam dibiarkan kosong sebagai ruang meditasi atau samadhi para pengikut ajaran ini. Bapak Nurhadi adalah konseptor Sanggar Meditasi sementara pelaksanaan pembangunan di kerjakan oleh Seniman Indonesia Muda (logo dan nama pelaksana disematkan di bagian bawah tangga masuk Sanggar Meditasi).
Dalam perkembangannya, komunitas penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME ini mendaftarkan kegiatannya dan di badan hukumkan dengan nama Yayasan Setyaki (Setia Marang Kaki: Setia Pada Leluhur)). Pengaruh Kawruh Naluri yang diturunkan Ki Bagus Hadi Kusumo dan yang diteruskan oleh Bapak Nurhadi mengalami pasang surut. Khususnya pada sekitar tahun 1965 di saat kondisi negara dan politik sedang mengalami turbulensi dan chaos dikarenakan peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan reaksi tentara di bawah kepemimpinan Suharto yang kelak menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Sukarno. “Seluruh anggota paguyuban dipaksa masuk agama tertentu baik dengan cara halus dan keras. Kebanyakan menyerah dan berpindah agama sehingga anggota menjadi menurun”, jelas Bp. Adji Tjaroko. Tahun 1980 Bp. Nurhadi meninggal. Sepeninggal beliau, pengikutnya terbagi menjadi dua. Ada yang tetap setia di organisasi melalui Yayasan Setyaki namun sebagian lainnya memilih untuk menganut kepercayaan di luar organisasi sehingga mereka boleh dikatakan sebagai anggota non formal penganut kepercayaan.
Dalam perkembangannya, komunitas penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME ini mendaftarkan kegiatannya dan di badan hukumkan dengan nama Yayasan Setyaki (Setia Marang Kaki: Setia Pada Leluhur)). Pengaruh Kawruh Naluri yang diturunkan Ki Bagus Hadi Kusumo dan yang diteruskan oleh Bapak Nurhadi mengalami pasang surut. Khususnya pada sekitar tahun 1965 di saat kondisi negara dan politik sedang mengalami turbulensi dan chaos dikarenakan peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan reaksi tentara di bawah kepemimpinan Suharto yang kelak menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Sukarno. “Seluruh anggota paguyuban dipaksa masuk agama tertentu baik dengan cara halus dan keras. Kebanyakan menyerah dan berpindah agama sehingga anggota menjadi menurun”, jelas Bp. Adji Tjaroko. Tahun 1980 Bp. Nurhadi meninggal. Sepeninggal beliau, pengikutnya terbagi menjadi dua. Ada yang tetap setia di organisasi melalui Yayasan Setyaki namun sebagian lainnya memilih untuk menganut kepercayaan di luar organisasi sehingga mereka boleh dikatakan sebagai anggota non formal penganut kepercayaan.
Pada tahun 1986 Bapak Adji Tjaroko mengundurkan diri dari PNS dan menekuni keyakinan yang dianut kakek dan ayahnya serta mulai belajar melalui para sepuh di Yayasan Setyaki. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sepeningal Bapak Nurhadi, komunitas penganut Kawruh Naluri ini terbagi menjadi dua yaitu anggota formal dan anggota non formal. Anggota non formal banyak berinteraksi dan bertukar pikiran dengan Bapak Adji dan dikoordinir oleh Bapak Adji dalam memperjuangkan berbagai aktifitas dan kepentingannya. Berdasarkan UU no 23 Tahun 2006 dan PP no 37 Tahun 2007 (setiap paguyuban bisa menunjuk petugas perkawinan dan menerima SK dari Dep Kebudayaan/Kementerian Kebudayaan), maka pada tahun 2008 dibentuklah Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) dengan Bapak Adji Tjaroko sebagai Ketua Umum.
0 comments:
Posting Komentar