Wahyutomo : Memberdayakan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa



Oleh: Wahyutomo (Paranpara DPD HKP Jateng)
Wahyutomo
Wahyutomo
Rahayu.
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang  Maha  Esa merupakan bagian yang besar dari pada seluruh penduduk Indonesia. Pemikiran ini tidak terbatasi pada lingkungan insular (kepulauan) ataupun regional, melainkan seluruh Nusantara. Suatu kenyataan hidup yang ada pada kita dan sekitar kita ialah bahwa kendati berjumlah besar, masyarakat penghayat masih merupakan golongan yang dipinggirkan. Kenyataan ini menggugah pertanyaan dalam benak saya (dan kita) para penghayat ialah: Mengapa sebagai pewaris tanah air Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke, dari Banda Aceh sampai ke Jayapura, tidak bisa berdiri tegak sebagai tuan rumah di tanah air sendiri, dalam kenisbian dengan para panganut agama yang nota bene merupakan budaya pendatang. Ini tidak dimaksudkan untuk menolak kedatangan agama-agama dari luar Nusantara, melainkan untuk menggugah para penghayat untuk tidak terlelap tidur dan membiarkan tanah air ini dijelajahi oleh orang-orang yang menganut agama-agama pendatang. Jadi saya berharap bahwa kita para penghayat, kalau mengaku pewaris budaya Nusantara, untuk bangkit dan berkarya secara nyata.
Memang dalam pembicaraan terbuka maupun tertutup, kepercayaan  terhadap Tuhan Yang Maha Esa disebut budaya spiritual, atau dalam istilah popular disebut kebatinan, kerohanian dan kejiwaan. Tetapi dalam politik kenegaraan, sejak masa Orde Baru, bahkan sebelum itu, kelompok penganut ilmu kebatinan, kerohanian dan kejiwaan diberi sebutan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum tahun 1978 ada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK) yang kemudian sejak Musyawarah Nasional III di Tawangmangu diubah menjadi Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK). Pengurus pusatnya dipimpin oleh Kadang Sepuh Zahid Husein.
Sudah menjadi HPK, sebagai organisasi yang menghimpun penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa baik paguyuban maupun  kelompok maupun penghayat perorangan. HPK diharapkan menjadi wadah nasional tunggal bagi para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi tetap saja HPK merupakan organisasi yang tidak mandiri. Di masa Orde Baru kegiatan HPK yang rutin bulanan, triwulanan maupun tahunan selalu menggantungkan kepada bantuan orang lain, bukan memanfaatkan dana kas sendiri, terutama dari Bapak Presiden, melalui Bina Graha. Hal ini bagi sementara penghayat merupakan nina-bobok, sehingga hampir-hampir selalu menggantungkan kegiatan organisasi kepada dukungan Bina Graha. Hal ini sungguh tidak mengenakkan bagi sementara penghayat sehingga timbul diskusi yang mengarah kepada pemberdayaan penghayat dan organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa kemandirian dalam bidang finansial organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan selalu kembang kempis dalam kancah kemasyarakatan. Untuk mengatasi hal itulah makalah ini saya tulis dan ajukan kepada teman-teman penghayat.
HPK menghimpun penghayat dalam paguyuban-paguyuban maupun perorangan. Tetapi selama saya berkecimpung di dalam HPK, sejak Munas III Tawangmangu organisasi HPK ini (praktis) tidak pernah mempunyai KAS. Padahal kalau mau, bisa menghimpun dana sendiri untuk kepentingan sendiri. Dari Munas III di Tawangmangu itu saya bertugas sebagai Wakil Sekretaris Jendral II, di bawah Bapak Drs Permadi SH dan Bapak Teguh, yang pada waktu itu berkantor di Jalan Abdul Muis 108 Jakarta Pusat. Tetapi untuk mengadakan kegiatan HPK selalu mengajukan proposal kepada Bapak Presiden, yang isinya mohon bantuan untuk Rakerda maupun Rakernas. Pertanyaan saya, mengapa tida menghimpun dana sendiri untuk mendukung kegiatan HPK yang harus berdiri sejajar dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain.
Sebagai anggota HPK saya merasa risih dan masygul, kenapa HPK selalu meminta bantuan orang, baik orang dalam maupun orang luar. Saya mengajak para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk berpikir dan bertindak, untuk mulai menghimpun dana sendiri agar organisasi kita, baik pada tingkat paguyuban maupun sebagai kesatuan dalam HPK merupakan organisasi yang mandiri dan swakelola. Caranya dengan menghimpun iuran anggota secara sukarela. Jumlah tidak mengikat, tetapi kerelaan ber-iuran itulah yang penting. Ini untuk tingkat paguyuban. Masing-masing paguyuban perlu menghimpun dana, yang mau tak mau akan digunakan untuk kegiatan rutinnya.
Dengan terhimpunnya dana di tingkat paguyuban, maka HPK dapat menarik iuran dari anggota, umpamanya sebesar  30% dari dana yang terhimpun di tingkat paguyuban. Dengan semboyan “sehari seutas benang, setahun sehelai kain,” kita (HPK) mempunyai dana yang bisa dicadangkan untuk mengadakan Rakerda, Rakernas maupun Munas dan Munaslub. Ini baru ajakan agar kita semua penghayat dapat “rumongsa andarbeni lan wajib angrungkebi.” Dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, HPK akan menjadi organisasi kemasyarakatan yang mandiri (self-helping organization).
Rasa risih saya ini saya ajukan kepada teman-teman penghayat, karena sejak dari Musda di Bandongan dan di Wulan Tumanggal sampai kapanpun selalu saya mendorong teman-teman untuk melakukan kegiatan nyata, kerja nyata, yang dapat kita rasakan sendiri dan selanjutnya memajukan kebudayaan nasional. Kadang-kadang timbul pertanyaan dalam benak sya: Apakah kegiatan atau karya penghayat yang dapat dilihat dan dinilai oleh masyarakat di luar penghayat? Apakah kerja nyata yang dapat dinilai oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat? Kita kaum penghayat jangan hanya berkutat dengan olah kebatinan, atau kerja spiritual saja, tetapi perlu ada perbuatan yang bisa dilihat, dirasakan dan dinilai oleh masyarakat sekitar.
Mari kita bangkit untuk berdiri di atas kaki sendiri, agar dalam segala kegiatan, baik di tingkat paguyuban, HPK Kecamatan, HPK Kabupaten/Kota maupun HPK Pusat kita tidak mengandalkan bantuan orang lain. Mari kita menatap ke depan, kita melihat kepentingan kita yang semakin besar dan kompleks di dalam Negara Republik Indonesia ini. Mari, jangan lelap tidur, bangkitlah dan tunjukkan bahwa para penghayat dapat memberikan sumbangan yang nyata bagi kebaikan masyarakat, bangsa dan negara. Seandainya ajakan saya ini dapat diterima dan dilaksanakan di masing-masing paguyuban, saya sangat berterima kasih dan bersukur, tetapi kalau dianggap pikiran yang ngaya-wara, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
 http://elsaonline.com/?p=1899

0 comments:

Posting Komentar