IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI 2011 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan seba- gaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI 2011 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan seba- gaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). v IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional ABSTRAK ABSTRAK Dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95 % kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai 263 % tersebut didata dari Pengadilan Agama yang selama ini mengurus pencatatan perkawinan di Indonesia. Berdasarkan hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam sebuah perkawinan. Pentingnya legalitas perkawinan ini untuk diteliti terkait dengan Implementasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selama ini berlaku di Indonesia, dalam kaitan perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Hal ini juga terkait tentang rencana Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014. Permasalahan dalam penelitian ini, adalah: 1) bagaimana legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak; 2) IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional copyright© BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI Jalan H.R. Rasuna Said Kavling C-19 Kuningan, Jakarta Selatan Pelaksana Penelitian: Pelaksana Penelitian: Koordinator : Drs. Arman Nazar, M.Si Sekretariat : Enjang Sudarya, S.H. Peneliti : 1. Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si. 2. Agustinus, S.H. 3. Purwanto, S.H. 4. Rully Rachman, S.H., M.H. 5. Okky Chahyo Nugroho, S.H., M.Si. 6. Oksimana Darmawan, S.E., S.H. Pengolah Data : 1. Leny Triswirly, S.H. 2. Arief Rianto Kurniawan, S.H., M.Si. Cetakan Pertama – Oktober 2011 Cetakan Pertama – Oktober 2011 Penata Letak: Panjibudi Penata Letak: Panjibudi Desain Sampul: Panjibudi Desain Sampul: Panjibudi Foto Sampul: www.serbaneka.com Foto Sampul: www.serbaneka.com ISBN: 978-602-9423-08-2 ISBN: 978-602-9423-08-2 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta. isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta. Pracetak oleh: Pracetak oleh: www.redcarpetstudio.net Dicetak oleh: Percetakan Pohon Cahaya v IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional ABSTRAK ABSTRAK Dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95 % kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai 263 % tersebut didata dari Pengadilan Agama yang selama ini mengurus pencatatan perkawinan di Indonesia. Berdasarkan hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam sebuah perkawinan. Pentingnya legalitas perkawinan ini untuk diteliti terkait dengan Implementasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selama ini berlaku di Indonesia, dalam kaitan perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Hal ini juga terkait tentang rencana Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014. Permasalahan dalam penelitian ini, adalah: 1) bagaimana legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak; 2) IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional copyright© BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI Jalan H.R. Rasuna Said Kavling C-19 Kuningan, Jakarta Selatan Pelaksana Penelitian: Pelaksana Penelitian: Koordinator : Drs. Arman Nazar, M.Si Sekretariat : Enjang Sudarya, S.H. Peneliti : 1. Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si. 2. Agustinus, S.H. 3. Purwanto, S.H. 4. Rully Rachman, S.H., M.H. 5. Okky Chahyo Nugroho, S.H., M.Si. 6. Oksimana Darmawan, S.E., S.H. Pengolah Data : 1. Leny Triswirly, S.H. 2. Arief Rianto Kurniawan, S.H., M.Si. Cetakan Pertama – Oktober 2011 Cetakan Pertama – Oktober 2011 Penata Letak: Panjibudi Penata Letak: Panjibudi Desain Sampul: Panjibudi Desain Sampul: Panjibudi Foto Sampul: www.serbaneka.com Foto Sampul: www.serbaneka.com ISBN: 978-602-9423-08-2 ISBN: 978-602-9423-08-2 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta. isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta. Pracetak oleh: Pracetak oleh: www.redcarpetstudio.net Dicetak oleh: Percetakan Pohon Cahaya vi Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia vii IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional sehingga dalam prakteknya tidak dimungkinkan untuk menikah bagi pasangan yang berbeda agama. Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui perkawinan merupakan hak pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akta perkawinannya. Namun sayangnya, realitas yang ada tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Salah satu rekomendasi dalam penelitian ini adalah agar Pemerintah perlu segera merespons keinginan masyarakat melalui berbagai kelompok civil society untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, agar materi-materinya dapat disempurnakan. Kata Kunci: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, legalitas perkawinan, hak-hak perempuan dan anak. bagaimana hukum nasional dan kovenan internasional mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga; dan 3) bagaimana efekti fi tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Tujuan dari penelitian ini, adalah: 1) mengetahui implementasi pengaturan tentang legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak; 2) melakukan inventarisir hukum nasional dan kovenan internasional yang mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga; 3) menganalisis efektifi - tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan per- lindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berkenaan dengan masalah pelanggaran hak-hak perempuan dan anak akibat perkawinan dalam perspektif hak asasi manusia, de- ngan lokasi penelitian: Provinsi Nusa Tenggara Barat; Kalimantan Barat; Papua; dan Jawa Tengah. Metode Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, sumber data terdiri dari data primer berupa observasi langsung dan data sekunder berupa literatur baik dari buku; naskah ilmiah; media massa; laporan penelitian; arsip laporan serta dokumen- dokumen yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa legalitas perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan banyak menimbulkan kendala di Indonesia. Kendala pertama adalah terkait hukum agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan yang kedua adalah terkait pencatatan perkawinan. Perkawinan di Indonesia mewajibkan sahnya perkawinan jika menurut satu agama saja, vi Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia vii IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional sehingga dalam prakteknya tidak dimungkinkan untuk menikah bagi pasangan yang berbeda agama. Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui perkawinan merupakan hak pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akta perkawinannya. Namun sayangnya, realitas yang ada tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Salah satu rekomendasi dalam penelitian ini adalah agar Pemerintah perlu segera merespons keinginan masyarakat melalui berbagai kelompok civil society untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, agar materi-materinya dapat disempurnakan. Kata Kunci: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, legalitas perkawinan, hak-hak perempuan dan anak. bagaimana hukum nasional dan kovenan internasional mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga; dan 3) bagaimana efekti fi tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Tujuan dari penelitian ini, adalah: 1) mengetahui implementasi pengaturan tentang legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak; 2) melakukan inventarisir hukum nasional dan kovenan internasional yang mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga; 3) menganalisis efektifi - tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan per- lindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berkenaan dengan masalah pelanggaran hak-hak perempuan dan anak akibat perkawinan dalam perspektif hak asasi manusia, de- ngan lokasi penelitian: Provinsi Nusa Tenggara Barat; Kalimantan Barat; Papua; dan Jawa Tengah. Metode Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, sumber data terdiri dari data primer berupa observasi langsung dan data sekunder berupa literatur baik dari buku; naskah ilmiah; media massa; laporan penelitian; arsip laporan serta dokumen- dokumen yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa legalitas perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan banyak menimbulkan kendala di Indonesia. Kendala pertama adalah terkait hukum agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan yang kedua adalah terkait pencatatan perkawinan. Perkawinan di Indonesia mewajibkan sahnya perkawinan jika menurut satu agama saja, ix IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional ABSTRACT ABSTRACT In Notes Annual National Commission for Women 2009, which states that 95% of cases of domestic violence occurred. The National Commission for women in their report mentioned that the increase in cases of violence that reached a record 263% of the Religion which has been taking care of registration of marriages in Indonesia. Based on the results of the report also mentions that the problem of domestic violence is closely related to the validity of marriages and lack of understanding of women about their rights in marriage. The importance of the legality of marriage is to be investigated related to the implementation of Law no. 1 of 1974 concerning marriage which has prevailed in Indonesia, in relation to the protection of the rights of women and children from human rights violations. It is also associated with the plan revision of Law No. 1 of 1974 on Marriage (Marriage Act) which has been entered in the National Legislation Program 2010-2014. The problem in this study, are: 1) how the legality of marriages in Indonesia in terms of aspects of the Marriage Law the rights of women and children; 2) how national laws and international treaties governing the rights of women and children, household members, ix IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional ABSTRACT ABSTRACT In Notes Annual National Commission for Women 2009, which states that 95% of cases of domestic violence occurred. The National Commission for women in their report mentioned that the increase in cases of violence that reached a record 263% of the Religion which has been taking care of registration of marriages in Indonesia. Based on the results of the report also mentions that the problem of domestic violence is closely related to the validity of marriages and lack of understanding of women about their rights in marriage. The importance of the legality of marriage is to be investigated related to the implementation of Law no. 1 of 1974 concerning marriage which has prevailed in Indonesia, in relation to the protection of the rights of women and children from human rights violations. It is also associated with the plan revision of Law No. 1 of 1974 on Marriage (Marriage Act) which has been entered in the National Legislation Program 2010-2014. The problem in this study, are: 1) how the legality of marriages in Indonesia in terms of aspects of the Marriage Law the rights of women and children; 2) how national laws and international treaties governing the rights of women and children, household members, x Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xi IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional record and publish his marriage certifi cate. But unfortunately, the fact that there is no place for interfaith marriages. One of the recommendations in this study is that the Government should immediately respond to the desire of civil society groups to revise the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law, so that materials can be improved. Keywords: Law No. 1 of 1974 on Marriage (Marriage Act), the legality of marriage, the rights of women and children. and 3) how the eff ectiveness of government in providing the legality of marriage and the protection of women and children from human rights violations. The purpose of this study, are: 1) know the implementation arrangements regarding the legality of marriage in the Marriage Law in Indonesia in terms of aspects of the rights of women and children; 2) conduct inventory of national laws and international treaties governing the rights of women and children as members of the house ladder; 3) analyze the eff ectiveness of government in providing the legality of marriage and the protection of women and children from human rights violations. The scope of this study are the things associated with such violations of the rights of women and children because of marriage in human rights perspective, with the location of the study: West Nusa Tenggara Province; Kalimantan, West Papua and Central Java. This type of qualitative research methods, data sources consist of primary data in the form of direct observation and secondary data from the literature either from books, scientifi c texts, the mass media; report; reports and documents relevant archives. The results showed that the legality of the marriage under the Marriage Act which generated a lot of obstacles in Indonesia. The fi rst constraint is related to the religious law that legitimize the marriage and the second is related to the registration of marriages. Marriage in Indonesia requires the validity of the marriage when according to one religion only, so in practice it is impossible to marriage for couples of diff erent religions. In a human rights perspective, the family formed by marriage is the right of the prospective husband and wife and the couple who’ve grown. State’s obligation is to protect, x Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xi IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional record and publish his marriage certifi cate. But unfortunately, the fact that there is no place for interfaith marriages. One of the recommendations in this study is that the Government should immediately respond to the desire of civil society groups to revise the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law, so that materials can be improved. Keywords: Law No. 1 of 1974 on Marriage (Marriage Act), the legality of marriage, the rights of women and children. and 3) how the eff ectiveness of government in providing the legality of marriage and the protection of women and children from human rights violations. The purpose of this study, are: 1) know the implementation arrangements regarding the legality of marriage in the Marriage Law in Indonesia in terms of aspects of the rights of women and children; 2) conduct inventory of national laws and international treaties governing the rights of women and children as members of the house ladder; 3) analyze the eff ectiveness of government in providing the legality of marriage and the protection of women and children from human rights violations. The scope of this study are the things associated with such violations of the rights of women and children because of marriage in human rights perspective, with the location of the study: West Nusa Tenggara Province; Kalimantan, West Papua and Central Java. This type of qualitative research methods, data sources consist of primary data in the form of direct observation and secondary data from the literature either from books, scientifi c texts, the mass media; report; reports and documents relevant archives. The results showed that the legality of the marriage under the Marriage Act which generated a lot of obstacles in Indonesia. The fi rst constraint is related to the religious law that legitimize the marriage and the second is related to the registration of marriages. Marriage in Indonesia requires the validity of the marriage when according to one religion only, so in practice it is impossible to marriage for couples of diff erent religions. In a human rights perspective, the family formed by marriage is the right of the prospective husband and wife and the couple who’ve grown. State’s obligation is to protect, xiii IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: PHM-19.LT.01.04 Tahun 2011, tertanggal 4 Februari 2011 dan perubahan lampiran Nomor: PHM-LT.01.04-279 tanggal 5 Mei 2011, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM me- lakukan penelitian yang berjudul Implementasi Undang-Undang Perkawinan Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional. Penelitian ini dilatarbelakangi meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan meningkatnya mengurus perceraian di Indonesia. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam perkawinan. Legalitas perkawinan juga berpengaruh terhadap hak asuh anak, perwalian dan tanggung jawab na ah anak yang sering diabaikan. Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih empiris tentang Implementasi Undang-Undang Per- kawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang terjadi di masyarakat terhadap xiii IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: PHM-19.LT.01.04 Tahun 2011, tertanggal 4 Februari 2011 dan perubahan lampiran Nomor: PHM-LT.01.04-279 tanggal 5 Mei 2011, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM me- lakukan penelitian yang berjudul Implementasi Undang-Undang Perkawinan Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional. Penelitian ini dilatarbelakangi meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan meningkatnya mengurus perceraian di Indonesia. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam perkawinan. Legalitas perkawinan juga berpengaruh terhadap hak asuh anak, perwalian dan tanggung jawab na ah anak yang sering diabaikan. Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih empiris tentang Implementasi Undang-Undang Per- kawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang terjadi di masyarakat terhadap xiv Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xv IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional SAMBUTAN SAMBUTAN Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya sehingga Penelitian tentang Implementasi Undang- Undang Perkawinan Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak Dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dapat selesai tepat waktu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penting untuk dilakukan sebuah penelitian yang sudah berlaku selama 37 tahun di Indonesia, terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Hal ini penting juga untuk dikaji terkait rencana revisi Undang-Undang Perkawinan yang telah masuk Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014. Ini menunjukan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang diberlakukan selama ini masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat, baik secara yuridis dan sosiologis. Penelitian ini juga mengkaji sejauhmana peraturan perundang-undangan tersebut telah menjamin perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan dan anak sesuai hukum nasional yang ada dan kovenan internasional yang telah diratifi kasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam merumuskan kebijakan terkait rencana revisi terhadap Undang- perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Kami menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Namun laporan penelitian ini tidak akan terwujud tanpa kerja keras dari tim. Untuk itu, kepada tim dan pihak-pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu kami sampaikan penghargaan dan terima kasih atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat selesai tepat pada waktunya. Pada akhirnya kami berharap bahwa laporan penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak, khususnya instansi terkait yang merencanakan adanya Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jakarta, Oktober 2011 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-Hak Kelompok Khusus Drs. Arman Nazar, M.Si. NIP. 19521005 197803 1 001 p zar Ke K K K K pala P Pe Pe Pe P ne ne ne n n li li liti ti tian an n n d d d d d dan an an n n n n P en Hak-Hak Ke Ke Ke Ke Ke Ke e e e elo lo lo lo lo lo lo lo o lo o omp m m m m m m m m m D D Drs rs r rs r r r r . . . . . . . . Ar Ar Ar A A A A ma ma ma ma m man n n n Naz NIP IP P 19521005 197 p Na a az z z xiv Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xv IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional SAMBUTAN SAMBUTAN Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya sehingga Penelitian tentang Implementasi Undang- Undang Perkawinan Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak Dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dapat selesai tepat waktu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penting untuk dilakukan sebuah penelitian yang sudah berlaku selama 37 tahun di Indonesia, terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Hal ini penting juga untuk dikaji terkait rencana revisi Undang-Undang Perkawinan yang telah masuk Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014. Ini menunjukan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang diberlakukan selama ini masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat, baik secara yuridis dan sosiologis. Penelitian ini juga mengkaji sejauhmana peraturan perundang-undangan tersebut telah menjamin perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan dan anak sesuai hukum nasional yang ada dan kovenan internasional yang telah diratifi kasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam merumuskan kebijakan terkait rencana revisi terhadap Undang- perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Kami menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Namun laporan penelitian ini tidak akan terwujud tanpa kerja keras dari tim. Untuk itu, kepada tim dan pihak-pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu kami sampaikan penghargaan dan terima kasih atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat selesai tepat pada waktunya. Pada akhirnya kami berharap bahwa laporan penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak, khususnya instansi terkait yang merencanakan adanya Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jakarta, Oktober 2011 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-Hak Kelompok Khusus Drs. Arman Nazar, M.Si. NIP. 19521005 197803 1 001 p zar Ke K K K K pala P Pe Pe Pe P ne ne ne n n li li liti ti tian an n n d d d d d dan an an n n n n P en Hak-Hak Ke Ke Ke Ke Ke Ke e e e elo lo lo lo lo lo lo lo o lo o omp m m m m m m m m m D D Drs rs r rs r r r r . . . . . . . . Ar Ar Ar A A A A ma ma ma ma m man n n n Naz NIP IP P 19521005 197 p Na a az z z xvi Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xvii IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional DAFTAR ISI DAFTAR ISI ABSTRAK ........................................................................................v ABSTRACT ................................................................................... ix KATA PENGANTAR .................................................................. xiii SAMBUTAN .................................................................................xv DAFTAR ISI ............................................................................... xvii DAFTAR TABEL ...........................................................................xx PELAKSANA PENELITIAN ....................................................... xxi BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................. 1 B. Permasalahan ................................................................ 13 C. Tujuan ............................................................................ 13 D. Hasil yang Diharapkan .................................................. 14 E. Ruang Lingkup .............................................................. 14 F. Lokasi Penelitian ........................................................... 14 G. Metode Penelitian ......................................................... 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................17 A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan ....................18 1. Pengertian Perkawinan.............................................18 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar lebih berprespektif terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan anak. Akhirnya di ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbang saran dan masukannya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Jakarta, Oktober 2011 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Prof. Dr. Ramly Hutabarat, S.H, M.Hum NIP. 19530315 198503 1 001 Penelitian dan Pen n nge ge ge ge g mb m m m an ngan HAM, Huta t t t barat, S.H, M.Hum NIP. 19530315 198503 1 001 Jakarta, K K K Kepa Pe P Pe P P P P nelitian an an an an an n n d d an an an n n n n n P P P Pe Pr Pr Pr Pr Pr Pr Pr Prof of of of of of of of of of of f f f f. . . Dr Dr Dr Dr Dr Dr Dr Dr r Dr Dr Dr. . . . . . . . . . . Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Raml ml ml ml ml ml ml ml ml ml m y H NI NI N N NI NI N P P 195303 xvi Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xvii IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional DAFTAR ISI DAFTAR ISI ABSTRAK ........................................................................................v ABSTRACT ................................................................................... ix KATA PENGANTAR .................................................................. xiii SAMBUTAN .................................................................................xv DAFTAR ISI ............................................................................... xvii DAFTAR TABEL ...........................................................................xx PELAKSANA PENELITIAN ....................................................... xxi BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................. 1 B. Permasalahan ................................................................ 13 C. Tujuan ............................................................................ 13 D. Hasil yang Diharapkan .................................................. 14 E. Ruang Lingkup .............................................................. 14 F. Lokasi Penelitian ........................................................... 14 G. Metode Penelitian ......................................................... 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................17 A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan ....................18 1. Pengertian Perkawinan.............................................18 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar lebih berprespektif terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan anak. Akhirnya di ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbang saran dan masukannya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Jakarta, Oktober 2011 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Prof. Dr. Ramly Hutabarat, S.H, M.Hum NIP. 19530315 198503 1 001 Penelitian dan Pen n nge ge ge ge g mb m m m an ngan HAM, Huta t t t barat, S.H, M.Hum NIP. 19530315 198503 1 001 Jakarta, K K K Kepa Pe P Pe P P P P nelitian an an an an an n n d d an an an n n n n n P P P Pe Pr Pr Pr Pr Pr Pr Pr Prof of of of of of of of of of of f f f f. . . Dr Dr Dr Dr Dr Dr Dr Dr r Dr Dr Dr. . . . . . . . . . . Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Ra Raml ml ml ml ml ml ml ml ml ml m y H NI NI N N NI NI N P P 195303 xviii Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xix IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................... 115 A. Kesimpulan ................................................................... 115 B. Rekomendasi ................................................................116 DAFTAR PUSTAKA .....................................................................119 LAMPIRAN 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ........................... 123 LAMPIRAN 2 Kompilasi Hukum Islam .................................... 175 2. Asas Perkawinan ....................................................... 21 3. Tujuan Perkawinan .................................................. 24 B. Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan Kewajiban Suami-Isteri .................................................25 C. Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia ...................................................... 30 D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional .................................................................32 E. Peran Negara dalam Memfasilitasi Perkawinan Warga Negaranya ..........................................................37 F. Teori Pendukung .......................................................... 39 1. Teori Feminisme ...................................................... 39 2. Teori Kesetaraan Gender ..........................................52 3. Teori Keadilan .......................................................... 56 BAB III HASIL PENELITIAN .................................................. 59 A. Pengantar ...................................................................... 59 B. Permasalahan Legalitas Perkawinan ........................... 60 C. Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Menurut Adat dan Kepercayaan ...................................61 1. Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan ............. 95 2. Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan ............................................................... 98 D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .................. 99 E. Upaya Pemerintah dalam Implementasi Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .... 113 xviii Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xix IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................... 115 A. Kesimpulan ................................................................... 115 B. Rekomendasi ................................................................116 DAFTAR PUSTAKA .....................................................................119 LAMPIRAN 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ........................... 123 LAMPIRAN 2 Kompilasi Hukum Islam .................................... 175 2. Asas Perkawinan ....................................................... 21 3. Tujuan Perkawinan .................................................. 24 B. Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan Kewajiban Suami-Isteri .................................................25 C. Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia ...................................................... 30 D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional .................................................................32 E. Peran Negara dalam Memfasilitasi Perkawinan Warga Negaranya ..........................................................37 F. Teori Pendukung .......................................................... 39 1. Teori Feminisme ...................................................... 39 2. Teori Kesetaraan Gender ..........................................52 3. Teori Keadilan .......................................................... 56 BAB III HASIL PENELITIAN .................................................. 59 A. Pengantar ...................................................................... 59 B. Permasalahan Legalitas Perkawinan ........................... 60 C. Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Menurut Adat dan Kepercayaan ...................................61 1. Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan ............. 95 2. Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan ............................................................... 98 D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .................. 99 E. Upaya Pemerintah dalam Implementasi Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .... 113 xx Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xxi IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional PELAKSANA PENELITIAN PELAKSANA PENELITIAN 1. Koordinator : Drs. Arman Nazar, M.Si. 2. Sekretariat : Enjang Sudarya, S.H. 3. Peneliti : Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si. Agustinus, S.H. Purwanto, S.H. Rully Rachman, S.H., M.H. Okky Chahyo Nugroho, S.H., M.Si. Oksimana Darmawan, S.E., S.H. 4. Pengolah Data : Leny Triswirly, S.H. Arief Rianto Kurniawan, S.H., M.Si. DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi Undang-Undang Perkawinan ....................................................5 Tabel 2 DATA ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA SE-JAWA TENGAH TAHUN 2010 ........................................... 66 Tabel 3 Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .............................................................................. 103 xx Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia xxi IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional PELAKSANA PENELITIAN PELAKSANA PENELITIAN 1. Koordinator : Drs. Arman Nazar, M.Si. 2. Sekretariat : Enjang Sudarya, S.H. 3. Peneliti : Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si. Agustinus, S.H. Purwanto, S.H. Rully Rachman, S.H., M.H. Okky Chahyo Nugroho, S.H., M.Si. Oksimana Darmawan, S.E., S.H. 4. Pengolah Data : Leny Triswirly, S.H. Arief Rianto Kurniawan, S.H., M.Si. DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi Undang-Undang Perkawinan ....................................................5 Tabel 2 DATA ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA SE-JAWA TENGAH TAHUN 2010 ........................................... 66 Tabel 3 Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .............................................................................. 103 1 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang A. Latar Belakang Perempuan dan anak adalah kelompok yang rentan mengalami pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan karena banyaknya bukti empiris yang menyebutkan bahwa kelompok rentan ini telah mengalami berbagai diskriminasi, marginalisasi, bahkan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut berlaku umum dan tidak memiliki relevansi dengan jenis pendidikan, pekerjaan dan penghasilan, kedudukan sosial, agama dan keyakinan, usia, suku bangsa, etnis dan ras yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Artinya pada semua jenis strata sosial, kekerasan terhadap perempuan dapat dan terus akan terjadi sepanjang ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Hasil Susenas 2006 yang dilakukan oleh BPS bekerjasama de- ngan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan menyebut- kan bahwa prevalensi nasional perempuan yang menjadi korban adalah 3,07 % dan anak 3,02 %. Hal ini berarti bahwa dari 10.000 perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 307 diantaranya pernah 1 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang A. Latar Belakang Perempuan dan anak adalah kelompok yang rentan mengalami pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan karena banyaknya bukti empiris yang menyebutkan bahwa kelompok rentan ini telah mengalami berbagai diskriminasi, marginalisasi, bahkan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut berlaku umum dan tidak memiliki relevansi dengan jenis pendidikan, pekerjaan dan penghasilan, kedudukan sosial, agama dan keyakinan, usia, suku bangsa, etnis dan ras yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Artinya pada semua jenis strata sosial, kekerasan terhadap perempuan dapat dan terus akan terjadi sepanjang ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Hasil Susenas 2006 yang dilakukan oleh BPS bekerjasama de- ngan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan menyebut- kan bahwa prevalensi nasional perempuan yang menjadi korban adalah 3,07 % dan anak 3,02 %. Hal ini berarti bahwa dari 10.000 perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 307 diantaranya pernah 2 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 3 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional legalitas hukum, namun juga perlindungan bagi anggota rumah tangga sebagai akibat perkawinan, terutama perempuan dan anak- anak. Kondisi yang ada hingga saat ini masih jauh dari harapan. Mencermati hal tersebut, ada dua pandangan mengenai masalah legalitas perkawinan, yaitu: pihak pertama berpandangan bahwa, Undang-Undang Perkawinan perlu direvisi atau dihapus pasal-pasal yang mensubordinasi dan kurang memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak; sedangkan pihak kedua berpandangan bahwa, pasal-pasal dalam Undang-Undang Perkawinan tetap berlaku tetapi ada aturan lain sebagai pelengkap Undang-Undang Perkawinan. Berikut pandangan pihak pertama, mengenai beberapa pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yang mensubordinasi perempuan sebagai istri, antara lain dalam Pasal 3, 4 dan 31, sehingga rentan mengalami diskriminasi, penelantaran dan menjadi korban poligami. Tidak hanya bagi perempuan, Undang- Undang Perkawinan juga terbukti tidak responsif terhadap upaya perlindungan anak. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 43 yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, sehingga menghilangkan kewajiban ayah biologis untuk bertanggung jawab terhadap na ah dan kewajiban tumbuh kembang anak lainnya. Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama beberapa organisasi dan LSM perempuan telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan tersebut. Secara khusus, LBH Apik Jakarta pernah melakukan kajian terkait hal tersebut. Beberapa pasal yang pernah diteliti dan diusulkan oleh LBH Apik Jakarta untuk direvisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut. Beberapa pasal dalam mengalami kekerasan dan dari 10.000 anak di seluruh Indonesia 302 anak diantaranya pernah mengalami kekerasan. Angka prevalensi tertinggi dari seluruh daerah adalah Provinsi Papua dengan angka 13,6 %. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga, dalam sebuah kehidupan perkawinan1. Kondisi ini juga didukung oleh Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95 % kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai 263 % tersebut didata dari Pengadilan Agama yang selama ini mengurus pencatatan perkawinan di Indonesia 2. Berdasarkan hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak- hak mereka dalam sebuah perkawinan. Masalah legalitas per- kawinan ini juga berpengaruh terhadap hak asuh anak, perwalian dan tanggung jawab na ah anak yang seringkali diabaikan. Hal ini juga memberikan kontribusi tidak efektifnya perlindungan anak dari bahaya kekerasan dan penelantaran. Hal tersebut amat disayangkan karena keutuhan dan kehar- monisan sebuah keluarga, membutuhkan Peraturan Perundang- undangan tentang perkawinan yang tidak hanya memberikan 1 Lihat, latar belakang dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. 2 Catatan Tahunan Komnas Perempuan, Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang , 2009. 2 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 3 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional legalitas hukum, namun juga perlindungan bagi anggota rumah tangga sebagai akibat perkawinan, terutama perempuan dan anak- anak. Kondisi yang ada hingga saat ini masih jauh dari harapan. Mencermati hal tersebut, ada dua pandangan mengenai masalah legalitas perkawinan, yaitu: pihak pertama berpandangan bahwa, Undang-Undang Perkawinan perlu direvisi atau dihapus pasal-pasal yang mensubordinasi dan kurang memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak; sedangkan pihak kedua berpandangan bahwa, pasal-pasal dalam Undang-Undang Perkawinan tetap berlaku tetapi ada aturan lain sebagai pelengkap Undang-Undang Perkawinan. Berikut pandangan pihak pertama, mengenai beberapa pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yang mensubordinasi perempuan sebagai istri, antara lain dalam Pasal 3, 4 dan 31, sehingga rentan mengalami diskriminasi, penelantaran dan menjadi korban poligami. Tidak hanya bagi perempuan, Undang- Undang Perkawinan juga terbukti tidak responsif terhadap upaya perlindungan anak. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 43 yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, sehingga menghilangkan kewajiban ayah biologis untuk bertanggung jawab terhadap na ah dan kewajiban tumbuh kembang anak lainnya. Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama beberapa organisasi dan LSM perempuan telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan tersebut. Secara khusus, LBH Apik Jakarta pernah melakukan kajian terkait hal tersebut. Beberapa pasal yang pernah diteliti dan diusulkan oleh LBH Apik Jakarta untuk direvisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut. Beberapa pasal dalam mengalami kekerasan dan dari 10.000 anak di seluruh Indonesia 302 anak diantaranya pernah mengalami kekerasan. Angka prevalensi tertinggi dari seluruh daerah adalah Provinsi Papua dengan angka 13,6 %. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga, dalam sebuah kehidupan perkawinan1. Kondisi ini juga didukung oleh Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95 % kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai 263 % tersebut didata dari Pengadilan Agama yang selama ini mengurus pencatatan perkawinan di Indonesia 2. Berdasarkan hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dan kurangnya pemahaman perempuan tentang hak- hak mereka dalam sebuah perkawinan. Masalah legalitas per- kawinan ini juga berpengaruh terhadap hak asuh anak, perwalian dan tanggung jawab na ah anak yang seringkali diabaikan. Hal ini juga memberikan kontribusi tidak efektifnya perlindungan anak dari bahaya kekerasan dan penelantaran. Hal tersebut amat disayangkan karena keutuhan dan kehar- monisan sebuah keluarga, membutuhkan Peraturan Perundang- undangan tentang perkawinan yang tidak hanya memberikan 1 Lihat, latar belakang dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. 2 Catatan Tahunan Komnas Perempuan, Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang , 2009. 4 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 5 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi Undang-Undang Perkawinan NO. PASAL DALAM UUP USULAN PERUBAHAN ARGUMENTASI 1. Pasal 2 Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 2 Tidak ada perubahan (2).Tiap-tiap perkawinan harus dicatat di unit-unit tertentu sesuai dengan agama yang bersangkutan, di bawah Departemen Agama. Merujuk pada ayat 1, bahwa setiap perkawinan dihubungkan dengan agama masing-masing, maka tepat apabila pengurusan pencatatan perkawinan di lakukan oleh unit- unit agama masing-masing di bawah naungan Departemen Agama. Selama ini hanya kalangan pemeluk agama tertentu saja yang pencatatannya ada di bawah naungan Departemen Agama. Adalah hak bagi setiap pemeluk agama untuk mendapatkan perlakukan yang sama tanpa diskriminasi berkaitan dengan perkawinan, termasuk dalam urusan pencatatan. Legitimasi hukum: Prinsip non diskriminasi dalam UUD 1945, undang-undang HAM serta undang- undang lain yang relevan. Undang-Undang Perkawinan tersebut mensubordinasi perempuan sebagai istri, antara lain dalam Pasal 3, 4 dan 31, sehingga rentan mengalami diskriminasi, penelantaran dan menjadi korban poligami. Tidak hanya bagi perempuan, Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) juga terbukti tidak responsive terhadap upaya perlindungan anak. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 43 yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, sehingga menghilangkan kewajiban ayah biologis untuk bertanggung jawab terhadap na ah dan kewajiban tumbuh kembang anak lainnya3. Komnas Perempuan, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan bersama beberapa organisasi dan LSM perempuan telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan tersebut. Secara khusus, LBH Apik Jakarta pernah melakukan kajian terkait hal tersebut. Di bawah ini, dijelaskan beberapa pasal yang pernah diteliti dan diusulkan oleh LBH Apik Jakarta untuk direvisi dalam Undang- Undang Perkawinan (lihat Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi Undang-Undang Perkawinan). 3 Hasil Penelitian yang dilakukan oleh LBH Apik 2009. 4 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 5 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi Undang-Undang Perkawinan NO. PASAL DALAM UUP USULAN PERUBAHAN ARGUMENTASI 1. Pasal 2 Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 2 Tidak ada perubahan (2).Tiap-tiap perkawinan harus dicatat di unit-unit tertentu sesuai dengan agama yang bersangkutan, di bawah Departemen Agama. Merujuk pada ayat 1, bahwa setiap perkawinan dihubungkan dengan agama masing-masing, maka tepat apabila pengurusan pencatatan perkawinan di lakukan oleh unit- unit agama masing-masing di bawah naungan Departemen Agama. Selama ini hanya kalangan pemeluk agama tertentu saja yang pencatatannya ada di bawah naungan Departemen Agama. Adalah hak bagi setiap pemeluk agama untuk mendapatkan perlakukan yang sama tanpa diskriminasi berkaitan dengan perkawinan, termasuk dalam urusan pencatatan. Legitimasi hukum: Prinsip non diskriminasi dalam UUD 1945, undang-undang HAM serta undang- undang lain yang relevan. Undang-Undang Perkawinan tersebut mensubordinasi perempuan sebagai istri, antara lain dalam Pasal 3, 4 dan 31, sehingga rentan mengalami diskriminasi, penelantaran dan menjadi korban poligami. Tidak hanya bagi perempuan, Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) juga terbukti tidak responsive terhadap upaya perlindungan anak. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 43 yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, sehingga menghilangkan kewajiban ayah biologis untuk bertanggung jawab terhadap na ah dan kewajiban tumbuh kembang anak lainnya3. Komnas Perempuan, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan bersama beberapa organisasi dan LSM perempuan telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan tersebut. Secara khusus, LBH Apik Jakarta pernah melakukan kajian terkait hal tersebut. Di bawah ini, dijelaskan beberapa pasal yang pernah diteliti dan diusulkan oleh LBH Apik Jakarta untuk direvisi dalam Undang- Undang Perkawinan (lihat Tabel 1 Usulan LBH Apik Jakarta tentang Revisi Undang-Undang Perkawinan). 3 Hasil Penelitian yang dilakukan oleh LBH Apik 2009. 6 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 7 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 5 Tentang syarat-syarat pengajuan permohonan suami yang akan melakukan poligami kepada Pengadilan. Adanya fakta bahwa sejumlah perempuan menerima poligami tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut. Penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk ‘internalized oppression’, yang mana sepanjang hidupnya perempuan telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif. Syarat-syarat dalam poligami mencerminkan: Perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah satu jenis kelamin, dan diiringi dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut selalu siap sedia atau tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fi sik/biologisnya. Ketentuan ini telah menempatkan perempuan sebagai ”sex provider” dan secara keseluruhan mencerminkan ideologi ‘phallosentris’, yakni sistem nilai – melalui ketentuan ini dilegitimasi- yang berpusat pada kepentingan/ kebutuhan sang phallus (penis). 2. Pasal 3 (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fi hak- fi hak yang bersangkutan Pasal 4 Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang- Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dihapus Beberapa alasan mendasar perlu penghapusan poligami: Poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, hal mana di dasarkan pada keunggulan/superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya. Pengakuan yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual mereka atas yang lainnya. Ketentuan ini sangat bertentangan dengan prinsip –prinsip persamaan, anti diskriminasi serta anti kekerasan yang dianut dalam berbagai instrumen hukum yang ada. (UUD 1945, Undang-Undang HAM, Undang-Undang No.1/84, GBHN 1999, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan) Realitasnya banyak kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fi sik, psikis, seksual dan ekonomi. Poligami sendiri merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilegitimasi oleh hukum dan sistim kepercayaan yang ada di masyarakat. 6 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 7 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 5 Tentang syarat-syarat pengajuan permohonan suami yang akan melakukan poligami kepada Pengadilan. Adanya fakta bahwa sejumlah perempuan menerima poligami tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut. Penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk ‘internalized oppression’, yang mana sepanjang hidupnya perempuan telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif. Syarat-syarat dalam poligami mencerminkan: Perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah satu jenis kelamin, dan diiringi dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut selalu siap sedia atau tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fi sik/biologisnya. Ketentuan ini telah menempatkan perempuan sebagai ”sex provider” dan secara keseluruhan mencerminkan ideologi ‘phallosentris’, yakni sistem nilai – melalui ketentuan ini dilegitimasi- yang berpusat pada kepentingan/ kebutuhan sang phallus (penis). 2. Pasal 3 (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fi hak- fi hak yang bersangkutan Pasal 4 Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang- Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dihapus Beberapa alasan mendasar perlu penghapusan poligami: Poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, hal mana di dasarkan pada keunggulan/superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya. Pengakuan yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual mereka atas yang lainnya. Ketentuan ini sangat bertentangan dengan prinsip –prinsip persamaan, anti diskriminasi serta anti kekerasan yang dianut dalam berbagai instrumen hukum yang ada. (UUD 1945, Undang-Undang HAM, Undang-Undang No.1/84, GBHN 1999, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan) Realitasnya banyak kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fi sik, psikis, seksual dan ekonomi. Poligami sendiri merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilegitimasi oleh hukum dan sistim kepercayaan yang ada di masyarakat. 8 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 9 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 3. Pasal 11 Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Tenggang jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. Pasal 11 Bagi seorang pria dan wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Tenggang jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) adalah selama 3 bulan. Adanya masa tunggu bagi seorang wanita setelah putus perkawinan biasanya dikaitkan dengan kemungkinan untuk melakukan rujuk. Adalah tindakan diskriminatif bila perempuan diikat oleh masa tunggu atau tidak bisa langsung menikah lagi, sementara di pihak lain laki-laki tidak diperlakukan sama. 4. Pasal 31 Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga Pasal 31 Tetap Tetap Suami isteri memiliki peran dan tanggung jawab yang sama kehidupan berumah tangga. Argumentasi menolak pembakuan peran stereotype permpuan-laki-laki. Pasal 31 ayat 3 tidak saja kembali mengukuhkan subordinasi perempuan, tetapi juga bertentangan dengan berbagai instrumen diatas, yang menegaskan prinsip persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Pasal ini jelas bertentangan dengan realitas yang ada dimana jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga cukup besar dan meningkat dari tahun ke tahun. Namun, keberadaan kepala rumah tangga perempuan ini menjadi tidak diakui. Selain itu, ia kenyataannya memberi dampak yang sangat merugikan bagi kelompok perempuan. 2. Pasal 7 Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pasal 7 Perkawinan hanya diijinkan jika kedua belah pihak berumur diatas 18 (delapan belas) tahun. Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan telah membedakan usia laki-laki, yaitu dua tahun lebih tua dari pada usia perempuan yang dipresyaratkan. Asumsi di balik pembedaan usia ini adalah karena laki-laki diharapkan menjadi pemimpin dan pencari na ah keluarga sehingga dituntut lebih dewasa dari calon istri, pihak yang akan dipimpin. Asumsi ini sejalan dengan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Pembedaan usia ini jelas memuat asumsi yang bias jender. (lihat argumentasi penghapusan pasal 31 ayat 3). Usulan diatas 18 tahun tanpa pembedaan usia atas dasar jenis kelamin merupakan implementasi dari berbagai undang-undang yang ada (lihat kerangka hukum yang menjadi acuan amandemen ini), khususnya Undang-Undang Perlindungan anak yang menetapkan usia anak-anak adalah di bawah 18 tahun. 8 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 9 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 3. Pasal 11 Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Tenggang jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. Pasal 11 Bagi seorang pria dan wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Tenggang jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) adalah selama 3 bulan. Adanya masa tunggu bagi seorang wanita setelah putus perkawinan biasanya dikaitkan dengan kemungkinan untuk melakukan rujuk. Adalah tindakan diskriminatif bila perempuan diikat oleh masa tunggu atau tidak bisa langsung menikah lagi, sementara di pihak lain laki-laki tidak diperlakukan sama. 4. Pasal 31 Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga Pasal 31 Tetap Tetap Suami isteri memiliki peran dan tanggung jawab yang sama kehidupan berumah tangga. Argumentasi menolak pembakuan peran stereotype permpuan-laki-laki. Pasal 31 ayat 3 tidak saja kembali mengukuhkan subordinasi perempuan, tetapi juga bertentangan dengan berbagai instrumen diatas, yang menegaskan prinsip persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Pasal ini jelas bertentangan dengan realitas yang ada dimana jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga cukup besar dan meningkat dari tahun ke tahun. Namun, keberadaan kepala rumah tangga perempuan ini menjadi tidak diakui. Selain itu, ia kenyataannya memberi dampak yang sangat merugikan bagi kelompok perempuan. 2. Pasal 7 Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pasal 7 Perkawinan hanya diijinkan jika kedua belah pihak berumur diatas 18 (delapan belas) tahun. Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan telah membedakan usia laki-laki, yaitu dua tahun lebih tua dari pada usia perempuan yang dipresyaratkan. Asumsi di balik pembedaan usia ini adalah karena laki-laki diharapkan menjadi pemimpin dan pencari na ah keluarga sehingga dituntut lebih dewasa dari calon istri, pihak yang akan dipimpin. Asumsi ini sejalan dengan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Pembedaan usia ini jelas memuat asumsi yang bias jender. (lihat argumentasi penghapusan pasal 31 ayat 3). Usulan diatas 18 tahun tanpa pembedaan usia atas dasar jenis kelamin merupakan implementasi dari berbagai undang-undang yang ada (lihat kerangka hukum yang menjadi acuan amandemen ini), khususnya Undang-Undang Perlindungan anak yang menetapkan usia anak-anak adalah di bawah 18 tahun. 10 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 11 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 7. Pasal 43 Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatur dalam PP Pasal 43 Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya. Tetap Anak yang dilahirkan melalui program bayi tabung dari suami isteri yang sah adalah anak sah. Bagi bayi tabung yang benihnya dititipkan pada wanita lain adalah anak syah dari suami isteri yang menitipkannya Setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas dari apakah ia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu. Adalah hak anak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari kedua orang tuanya. Dalam UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 7 (ayat 1) disebutkan: Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. CEDAW Pasal 16: Hak dan tanggung jawab yang sama dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Hak dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak; sumber: LBH Apik Jakarta Sedangkan pandangan pihak kedua, dari segi substansi, yaitu aturan lain sebagai pelengkap Undang-Undang Perkawinan 5. Pasal 34 Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Pasal 34 Suami isteri wajib saling melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Suami isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik- baiknya. Jika suami atau isetri melalaikan kewajibannya untuk saling melindungi dan saling berbagi peran dan kerja kerumah tanggaan, atau salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil, maka ia berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan. Pembakuan peran ini mendorong proses pemiskinan perempuan: membuat salah satu pihak (isteri) bergantung secara ekonomi terhadap pihak lainnya (suami). Dalam banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, para isteri yang menjadi korbannya tidak mudah keluar dari lingkaran kekerasan karena masalah ketergantungan ekonomi. Sementara banyak kasus na ah di pengadilan, meski diputuskan suami/ mantan suami tetap berkewajiban memberi na ah, tapi keputusan ini tidak berlaku efektif dan dikembalikan pada kemauan dari pihak suami/mantan suami. Pengaruh di dunia kerja, nilai pekerja perempuan lebih rendah karena dianggap sebagai bukan pencari na ah utama. Para isteri yang bekerja sering disamakan dengan lajang, sehingga tidak mendapat tunjangan keluarga seperti yang diperoleh oleh rekannya laki-laki. 10 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 11 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 7. Pasal 43 Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatur dalam PP Pasal 43 Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya. Tetap Anak yang dilahirkan melalui program bayi tabung dari suami isteri yang sah adalah anak sah. Bagi bayi tabung yang benihnya dititipkan pada wanita lain adalah anak syah dari suami isteri yang menitipkannya Setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas dari apakah ia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu. Adalah hak anak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari kedua orang tuanya. Dalam UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 7 (ayat 1) disebutkan: Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. CEDAW Pasal 16: Hak dan tanggung jawab yang sama dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Hak dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak; sumber: LBH Apik Jakarta Sedangkan pandangan pihak kedua, dari segi substansi, yaitu aturan lain sebagai pelengkap Undang-Undang Perkawinan 5. Pasal 34 Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Pasal 34 Suami isteri wajib saling melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Suami isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik- baiknya. Jika suami atau isetri melalaikan kewajibannya untuk saling melindungi dan saling berbagi peran dan kerja kerumah tanggaan, atau salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil, maka ia berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan. Pembakuan peran ini mendorong proses pemiskinan perempuan: membuat salah satu pihak (isteri) bergantung secara ekonomi terhadap pihak lainnya (suami). Dalam banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, para isteri yang menjadi korbannya tidak mudah keluar dari lingkaran kekerasan karena masalah ketergantungan ekonomi. Sementara banyak kasus na ah di pengadilan, meski diputuskan suami/ mantan suami tetap berkewajiban memberi na ah, tapi keputusan ini tidak berlaku efektif dan dikembalikan pada kemauan dari pihak suami/mantan suami. Pengaruh di dunia kerja, nilai pekerja perempuan lebih rendah karena dianggap sebagai bukan pencari na ah utama. Para isteri yang bekerja sering disamakan dengan lajang, sehingga tidak mendapat tunjangan keluarga seperti yang diperoleh oleh rekannya laki-laki. 12 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 13 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional B. Permasalahan B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak. 2. Bagaimana hukum nasional dan kovenan internasional mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga. 3. Bagaimana efekti fi tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. C. Tujuan C. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui implementasi pengaturan tentang legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditinjau dari aspek hak- hak perempuan dan anak. 2. Melakukan inventarisir hukum nasional dan kovenan internasional yang mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga. 3. Menganalisis efekti fi tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. berhubungan dengan kitab suci/aturan dalam agama dan kepercayaannya masing-masing. Diskriminasi perempuan yang terjadi akibat perkawinan tersebut tentu amat disayangkan karena Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifi kasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penghapusan Berbagai Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Selain itu, berbagai peraturan perundangan yang melindungi perempuan dan anak dari bahaya kekerasan juga telah dikeluarkan, misalnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penting untuk dilakukan sebuah penelitian tentang implementasi Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang selama ini berlaku di Indonesia, terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Pentingnya hal ini untuk dikaji juga terkait tentang rencana Revisi Undang-Undang Perkawinan yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang diberlakukan selama ini masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat, baik secara yuridis maupun sosiologis. Penelitian ini juga akan mengkaji sejauh mana peraturan perundang-undangan tersebut telah menjamin hak-hak perempuan dan anak sesuai hukum nasional yang ada dan kovenan internasional yang telah diratifi kasi. 12 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 13 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional B. Permasalahan B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditinjau dari aspek hak-hak perempuan dan anak. 2. Bagaimana hukum nasional dan kovenan internasional mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga. 3. Bagaimana efekti fi tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. C. Tujuan C. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui implementasi pengaturan tentang legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditinjau dari aspek hak- hak perempuan dan anak. 2. Melakukan inventarisir hukum nasional dan kovenan internasional yang mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga. 3. Menganalisis efekti fi tas pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan dan perlindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. berhubungan dengan kitab suci/aturan dalam agama dan kepercayaannya masing-masing. Diskriminasi perempuan yang terjadi akibat perkawinan tersebut tentu amat disayangkan karena Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifi kasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penghapusan Berbagai Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Selain itu, berbagai peraturan perundangan yang melindungi perempuan dan anak dari bahaya kekerasan juga telah dikeluarkan, misalnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penting untuk dilakukan sebuah penelitian tentang implementasi Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang selama ini berlaku di Indonesia, terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan anak dari pelanggaran HAM. Pentingnya hal ini untuk dikaji juga terkait tentang rencana Revisi Undang-Undang Perkawinan yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang diberlakukan selama ini masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat, baik secara yuridis maupun sosiologis. Penelitian ini juga akan mengkaji sejauh mana peraturan perundang-undangan tersebut telah menjamin hak-hak perempuan dan anak sesuai hukum nasional yang ada dan kovenan internasional yang telah diratifi kasi. 14 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 15 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional G. Metode Penelitian G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menurut Strauss dan Corbin 4 adalah penelitian yang temuan- temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Penelitian ini juga melakukan analisis kebijakan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan implementasinya terhadap upaya perlindungan hak-hak perempuan dan anak. 2. Teknik Pengumpulan Data 2. Teknik Pengumpulan Data Data-data dalam penelitian ini bersumber pada data primer dan data sekunder. Data primer menggunakan informan melalui wawancara5 yang mendalam dengan pelaku di lapangan (responden kunci) yang terdiri dari pejabat pemerintah, terutama yang terkait dengan legalitas perkawinan dan Komnas Perempuan dan LSM serta organisasi perempuan dan para pakar. Sedangkan data sekunder berupa literatur baik dari buku, naskah ilmiah, media massa, laporan penelitian, arsip laporan, serta dokumen-dokumen yang relevan. 4 Strauss A, Corbin J, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques, London, Sage, 1990, hlm. 3. 5 Yang dimaksud wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan narasumber atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide. Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. Nazir, Loc.cit hlm. 234. D. Hasil yang Diharapkan D. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Secara praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan terkait revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan agar lebih berperspektif terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan anak. 2. Secara teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM dalam perlindungan perempuan dan anak, khususnya terkait dengan sebuah perkawinan. E. Ruang Lingkup E. Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berkenaan dengan masalah pelanggaran hak-hak perempuan dan anak akibat perkawinan dalam perspektif hak Asasi Manusia. F. Lokasi Penelitian F. Lokasi Penelitian Untuk mengumpulkan data-data penelitian yang signi fi kan, wilayah yang diteliti adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua dan Jawa Tengah. 14 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 15 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional G. Metode Penelitian G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menurut Strauss dan Corbin 4 adalah penelitian yang temuan- temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Penelitian ini juga melakukan analisis kebijakan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan implementasinya terhadap upaya perlindungan hak-hak perempuan dan anak. 2. Teknik Pengumpulan Data 2. Teknik Pengumpulan Data Data-data dalam penelitian ini bersumber pada data primer dan data sekunder. Data primer menggunakan informan melalui wawancara5 yang mendalam dengan pelaku di lapangan (responden kunci) yang terdiri dari pejabat pemerintah, terutama yang terkait dengan legalitas perkawinan dan Komnas Perempuan dan LSM serta organisasi perempuan dan para pakar. Sedangkan data sekunder berupa literatur baik dari buku, naskah ilmiah, media massa, laporan penelitian, arsip laporan, serta dokumen-dokumen yang relevan. 4 Strauss A, Corbin J, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques, London, Sage, 1990, hlm. 3. 5 Yang dimaksud wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan narasumber atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide. Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. Nazir, Loc.cit hlm. 234. D. Hasil yang Diharapkan D. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Secara praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan terkait revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan agar lebih berperspektif terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan anak. 2. Secara teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM dalam perlindungan perempuan dan anak, khususnya terkait dengan sebuah perkawinan. E. Ruang Lingkup E. Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berkenaan dengan masalah pelanggaran hak-hak perempuan dan anak akibat perkawinan dalam perspektif hak Asasi Manusia. F. Lokasi Penelitian F. Lokasi Penelitian Untuk mengumpulkan data-data penelitian yang signi fi kan, wilayah yang diteliti adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua dan Jawa Tengah. 16 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 17 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Institusi perkawinan adalah institusi sosial yang merupakan hubungan hukum dua individu warga negara yang sama-sama memiliki hak yang dijamin dalam konstitusi negara. Hal ini memberikan implikasi bahwa negara harus berperan dalam rangka mencapai tujuan sosial sebuah perkawinan dan penegakan hak- hak asasi setiap warga tanpa kecuali. Perkawinan di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan setahun kemudian, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain undang-undang tersebut, perkawinan di Indonesia dalam hukum nasional juga diatur melalui Kompilasi Hukum Islam Buku Satu tentang Hukum Perkawinan. Sebuah perkawinan yang terjadi memberikan perubahan status keperdataan bagi seorang perempuan dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan adanya hak perempuan dan anak yang harus dijamin oleh semua pihak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah berusia 37 tahun ini berlaku sebelum Indonesia mengeluarkan 3. Teknik Analisis Data 3. Teknik Analisis Data Penelitian menggunakan studi kasus, yang biasanya meneliti tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifi k atau khas dari keseluruhan personalitas. 6 Subyek analisis bisa berupa individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang dan interaksi lingkungan unit-unit sosial yang menjadi subyek. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, atau status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas tadi akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Studi kasus lebih menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. 7 Studi kasus memiliki keunggulan sebagai suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar di kemudian hari. Studi kasus dapat memberikan hipotesa untuk penelitian selanjutnya. 6 F.N. Max fi eld, The Case Study , hal. 117-123, dalam dalam Moh. Nazir PhD, Metode Penelitian, 1985, hlm. 66. Baca juga J. Nisbet dan J. Watt, Studi Kasus, Sebuah Panduan Praktis, disadur oleh L. Wilardjo, 1994. 7 Hal ini berbeda dengan metode survei di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan unit sampel yang relatif besar. 16 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 17 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Institusi perkawinan adalah institusi sosial yang merupakan hubungan hukum dua individu warga negara yang sama-sama memiliki hak yang dijamin dalam konstitusi negara. Hal ini memberikan implikasi bahwa negara harus berperan dalam rangka mencapai tujuan sosial sebuah perkawinan dan penegakan hak- hak asasi setiap warga tanpa kecuali. Perkawinan di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan setahun kemudian, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain undang-undang tersebut, perkawinan di Indonesia dalam hukum nasional juga diatur melalui Kompilasi Hukum Islam Buku Satu tentang Hukum Perkawinan. Sebuah perkawinan yang terjadi memberikan perubahan status keperdataan bagi seorang perempuan dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan adanya hak perempuan dan anak yang harus dijamin oleh semua pihak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah berusia 37 tahun ini berlaku sebelum Indonesia mengeluarkan 3. Teknik Analisis Data 3. Teknik Analisis Data Penelitian menggunakan studi kasus, yang biasanya meneliti tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifi k atau khas dari keseluruhan personalitas. 6 Subyek analisis bisa berupa individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang dan interaksi lingkungan unit-unit sosial yang menjadi subyek. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, atau status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas tadi akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Studi kasus lebih menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. 7 Studi kasus memiliki keunggulan sebagai suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar di kemudian hari. Studi kasus dapat memberikan hipotesa untuk penelitian selanjutnya. 6 F.N. Max fi eld, The Case Study , hal. 117-123, dalam dalam Moh. Nazir PhD, Metode Penelitian, 1985, hlm. 66. Baca juga J. Nisbet dan J. Watt, Studi Kasus, Sebuah Panduan Praktis, disadur oleh L. Wilardjo, 1994. 7 Hal ini berbeda dengan metode survei di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan unit sampel yang relatif besar. 18 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 19 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional pencatatan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian Tata Cara Perkawinan Pasal 11 sebagai berikut. (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku Defi nisi perkawinan dalam hukum nasional juga diatur menurut Kompilasi Hukum Islam, yakni, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ada perbedaan pengertian antara Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam Perkawinan sudah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Bertemunya rukun dengan syarat inilah yang menentukan syahnya suatu perbuatan secara sempurna. Adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan adalah sebagai berikut: a. Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu mempelai pria dan wanita b. Adanya aqad ( sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau wakilnya ( ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (qabul). c. Adanya wali dari calon isteri berbagai peraturan perundang yang secara khusus memberikan perlindungan bagi hak-hak perempuan dan anak dan meratifi kasi berbagai kovenan internasional. Lebih lanjut mengenai hal-hal dalam perkawinan yang diatur dalam hukum nasional dan kovenan internasional akan dijelaskan sebagai berikut. A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Indonesia mengatur perkawinan dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dalam Pasal 1 mendefi nisi- kan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan dalam peratur- an perundang-undangan tersebut diikuti dengan aturan mengenai legalitas perkawinan dalam Pasal 2 sebagai berikut. (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Syarat legalitas perkawinan ini dipraktekkan di Indonesia dengan mengesahkan perkawinan sesuai dengan salah satu agama yang dianut oleh calon suami atau calon isteri. Agama yang dianutpun sesuai dengan ketentuan 6 (enam) agama resmi yang terdaftar di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Terkait mengenai legalitas perkawinan melalui 18 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 19 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional pencatatan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian Tata Cara Perkawinan Pasal 11 sebagai berikut. (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku Defi nisi perkawinan dalam hukum nasional juga diatur menurut Kompilasi Hukum Islam, yakni, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ada perbedaan pengertian antara Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam Perkawinan sudah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Bertemunya rukun dengan syarat inilah yang menentukan syahnya suatu perbuatan secara sempurna. Adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan adalah sebagai berikut: a. Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu mempelai pria dan wanita b. Adanya aqad ( sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau wakilnya ( ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (qabul). c. Adanya wali dari calon isteri berbagai peraturan perundang yang secara khusus memberikan perlindungan bagi hak-hak perempuan dan anak dan meratifi kasi berbagai kovenan internasional. Lebih lanjut mengenai hal-hal dalam perkawinan yang diatur dalam hukum nasional dan kovenan internasional akan dijelaskan sebagai berikut. A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan A. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Indonesia mengatur perkawinan dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dalam Pasal 1 mendefi nisi- kan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan dalam peratur- an perundang-undangan tersebut diikuti dengan aturan mengenai legalitas perkawinan dalam Pasal 2 sebagai berikut. (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Syarat legalitas perkawinan ini dipraktekkan di Indonesia dengan mengesahkan perkawinan sesuai dengan salah satu agama yang dianut oleh calon suami atau calon isteri. Agama yang dianutpun sesuai dengan ketentuan 6 (enam) agama resmi yang terdaftar di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Terkait mengenai legalitas perkawinan melalui 20 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 21 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 2. Asas Perkawinan 2. Asas Perkawinan Di dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan- ketentuan yang menjadi dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan. Berikut ini akan diuraikan prinsip-prinsip atau asas- asas mengenai perkawinan, yang diatur dalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu1: a. Asas perkawinan kekal Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Artinya, perkawinan hendaknya seumur hidup; b. Asas perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan agamanya Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan akan dianggap sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon mempelai. Prinsip ini dapat dijumpai dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; c. Asas perkawinan terdaftar Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu akan dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat 1 Rahmadi Usman , Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia, cetakan I Jakarta: Sinar Grafi ka, 2006, hlm. 267 d. Adanya dua orang saksi Apabila salah salah satu rukun itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan dianggap tidak pernah ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya yang tidak memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap sah. Memang model perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, namun tidaklah demikian apabila perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (2) itu berbunyi: ”Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jelaslah bahwa sahnya suatu perkawinan itu haruslah didaftarkan dan dicatatkan di kantor pencatat nikah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi dalam kenyataannya, kebanyakan dari masyarakat Indonesia belum sadar hukum tentang pelaksanaan perkawinan. Sehingga masih ada beberapa warga masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan sirri tanpa menyadari akibat yang ditimbulkan dari perkawinan yang mereka lakukan itu. Selain hal tersebut di atas menurut pengamatan sementara yang dilakukan oleh peneliti, beberapa dari masyarakat melakukan kawin sirri dikarenakan mereka ingin berpoligami. Karena dengan melakukan kawin sirri ini memberikan kemudahan kepada seorang laki-laki untuk melakukan poligami tanpa harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 20 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 21 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 2. Asas Perkawinan 2. Asas Perkawinan Di dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan- ketentuan yang menjadi dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan. Berikut ini akan diuraikan prinsip-prinsip atau asas- asas mengenai perkawinan, yang diatur dalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu1: a. Asas perkawinan kekal Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Artinya, perkawinan hendaknya seumur hidup; b. Asas perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan agamanya Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan akan dianggap sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon mempelai. Prinsip ini dapat dijumpai dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; c. Asas perkawinan terdaftar Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu akan dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat 1 Rahmadi Usman , Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia, cetakan I Jakarta: Sinar Grafi ka, 2006, hlm. 267 d. Adanya dua orang saksi Apabila salah salah satu rukun itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan dianggap tidak pernah ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya yang tidak memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap sah. Memang model perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, namun tidaklah demikian apabila perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (2) itu berbunyi: ”Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jelaslah bahwa sahnya suatu perkawinan itu haruslah didaftarkan dan dicatatkan di kantor pencatat nikah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi dalam kenyataannya, kebanyakan dari masyarakat Indonesia belum sadar hukum tentang pelaksanaan perkawinan. Sehingga masih ada beberapa warga masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan sirri tanpa menyadari akibat yang ditimbulkan dari perkawinan yang mereka lakukan itu. Selain hal tersebut di atas menurut pengamatan sementara yang dilakukan oleh peneliti, beberapa dari masyarakat melakukan kawin sirri dikarenakan mereka ingin berpoligami. Karena dengan melakukan kawin sirri ini memberikan kemudahan kepada seorang laki-laki untuk melakukan poligami tanpa harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 22 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 23 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional f. Asas tidak mengenal perkawinan poliandri Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melalui Pasal 3 ayat (1) tidak membolehkan adanya perkawinan poliandri dimana seorang wanita hanya memiliki seorang suami pada waktu yang bersamaan. Hikmah utama dalam perkawinan ini untuk menjaga kemurnian keturunan dan kepastian hukum seorang anak; g. Perkawinan didasarkan pada kesukarelaan atau kebebasan berkehendak Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai; h. Keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri Suami isteri dapat melakukan perbuatan hukum dalam kerangka hubungan hukum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan isteri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Prinsip ini lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan i. Asas mempersukar perceraian Perceraian hanya dapat dilakukan bila ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan setelah hakim atau juru perdamaian tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Prinsip ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Asas perkawinan monogami Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami dimana di dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam waktu yang bersamaan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami; e. Poligami sebagai pengecualian Dalam hal tertentu perkawinan poligami diperkenankan sebagai pengecualian perkawinan sepanjang hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkan. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hal ini hanya dapat dilakukan apabila dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 22 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 23 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional f. Asas tidak mengenal perkawinan poliandri Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melalui Pasal 3 ayat (1) tidak membolehkan adanya perkawinan poliandri dimana seorang wanita hanya memiliki seorang suami pada waktu yang bersamaan. Hikmah utama dalam perkawinan ini untuk menjaga kemurnian keturunan dan kepastian hukum seorang anak; g. Perkawinan didasarkan pada kesukarelaan atau kebebasan berkehendak Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai; h. Keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri Suami isteri dapat melakukan perbuatan hukum dalam kerangka hubungan hukum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan isteri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Prinsip ini lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan i. Asas mempersukar perceraian Perceraian hanya dapat dilakukan bila ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan setelah hakim atau juru perdamaian tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Prinsip ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Asas perkawinan monogami Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami dimana di dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam waktu yang bersamaan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami; e. Poligami sebagai pengecualian Dalam hal tertentu perkawinan poligami diperkenankan sebagai pengecualian perkawinan sepanjang hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkan. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hal ini hanya dapat dilakukan apabila dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 24 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 25 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional B. Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan B. Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan Kewajiban Suami-Isteri Kewajiban Suami-Isteri Syarat-syarat perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 1 sampai dengan 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat-syarat yang harus dilaksanakan sebelum para pihak melangsungkan perkawinan terbagi atas syarat materiil dan formil. Syarat materiil adalah mengenai diri pribadi calon suami isteri, sedangkan syarat formil adalah mengenai formalitas atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami isteri sebelum maupun pada saat dilangsungkannya perkawinan. Pada syarat materiil terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: syarat materiil umum yang berlaku bagi pernikahan pada umumnya dan syarat materiil khusus yang berlaku bagi pernikahan tertentu. Syarat materiil umum diatur pada Pasal 6, yaitu: (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis 3. Tujuan Perkawinan 3. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Apabila kita lihat lebih mendalam, tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sangat ideal. Karena Undang-Undang ini melihat suatu tujuan perkawinan tidak hanya dari lahirnya saja tetapi juga dari persatuan bathin di antara suami dan isteri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan tentunya sesuai kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Ikatan lahir dan bathin tersebut haruslah berjalan beriringan, artinya tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja, karena dengan adanya keserasian antara ikatan lahir dan bathin tersebut maka akan membentuk suatu pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. 24 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 25 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional B. Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan B. Syarat dan Sahnya Perkawinan serta Hak dan Kewajiban Suami-Isteri Kewajiban Suami-Isteri Syarat-syarat perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 1 sampai dengan 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat-syarat yang harus dilaksanakan sebelum para pihak melangsungkan perkawinan terbagi atas syarat materiil dan formil. Syarat materiil adalah mengenai diri pribadi calon suami isteri, sedangkan syarat formil adalah mengenai formalitas atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami isteri sebelum maupun pada saat dilangsungkannya perkawinan. Pada syarat materiil terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: syarat materiil umum yang berlaku bagi pernikahan pada umumnya dan syarat materiil khusus yang berlaku bagi pernikahan tertentu. Syarat materiil umum diatur pada Pasal 6, yaitu: (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis 3. Tujuan Perkawinan 3. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Apabila kita lihat lebih mendalam, tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sangat ideal. Karena Undang-Undang ini melihat suatu tujuan perkawinan tidak hanya dari lahirnya saja tetapi juga dari persatuan bathin di antara suami dan isteri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan tentunya sesuai kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Ikatan lahir dan bathin tersebut haruslah berjalan beriringan, artinya tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja, karena dengan adanya keserasian antara ikatan lahir dan bathin tersebut maka akan membentuk suatu pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. 26 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 27 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) Pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Selanjutnya syarat materiil khusus yang berisi izin untuk melangsungkan perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti tercantum di atas, sedangkan syarat materiil khusus mengenai larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang antara lain menyebutkan dilarang menikah bagi mereka yang mempunyai hubungan darah, hubungan sepersusuan dan lain- lain. Syarat-syarat formil dalam perkawinan juga terbagi 2 (dua) yaitu2: 1. Syarat formil yang dilakukan sebelum perkawinan dilang- sungkan adalah: 2 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hlm. 51. keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai dalam ayat 1 adalah adanya persetujuan bebas tanpa adanya paksaan lahir dan bathin dari pihak manapun untuk melaksanakan perkawinan. Karena pada hakikatnya perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi calon suami dan calon isteri serta beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi. Mengenai masalah umur ini masih merupakan syarat materiil yaitu Pasal 7 : 26 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 27 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) Pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Selanjutnya syarat materiil khusus yang berisi izin untuk melangsungkan perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti tercantum di atas, sedangkan syarat materiil khusus mengenai larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang antara lain menyebutkan dilarang menikah bagi mereka yang mempunyai hubungan darah, hubungan sepersusuan dan lain- lain. Syarat-syarat formil dalam perkawinan juga terbagi 2 (dua) yaitu2: 1. Syarat formil yang dilakukan sebelum perkawinan dilang- sungkan adalah: 2 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hlm. 51. keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai dalam ayat 1 adalah adanya persetujuan bebas tanpa adanya paksaan lahir dan bathin dari pihak manapun untuk melaksanakan perkawinan. Karena pada hakikatnya perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi calon suami dan calon isteri serta beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi. Mengenai masalah umur ini masih merupakan syarat materiil yaitu Pasal 7 : 28 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 29 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Hak dan kewajiban suami dan isteri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34, yaitu: 1. Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. 2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 4. Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. 5. Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama. 6. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat meng- hormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. 7. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 8. Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik- baiknya. 9. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing- masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Dalam peraturan tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri ini dirumuskan bahwa antara suami dan isteri disamping diberikan a. Perkawinan harus didahului oleh suatu pemberita- huan oleh kedua calon mempelai kepada pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama selain Islam); b. Pemberitahuan harus dilengkapi dengan surat-surat pembuktian yang diperlukan sesuai dengan syarat- syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang untuk pelaksanaan perkawinan; c. Pelaksanaan perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah lampau tenggang waktu 10 (sepuluh) hari terhitung dari tanggal pemberitahuan. 2. Syarat formil yang dilakukan pada saat dilangsungkannya perkawinan adalah: a. Perkawinan dilangsungkan oleh atau dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama selain Islam); b. Perkawinan harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi; Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila telah dipenuhi syarat-syarat di atas, baik syarat materiil maupun syarat formil, maka kedua mempelai telah resmi menjadi suami-isteri. Tetapi apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka dapat menimbulkan ketidakabsahan perkawinan yang bisa saja akan mengakibatkan batalnya suatu perkawinan. 28 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 29 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Hak dan kewajiban suami dan isteri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34, yaitu: 1. Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. 2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 4. Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. 5. Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama. 6. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat meng- hormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. 7. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 8. Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik- baiknya. 9. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing- masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Dalam peraturan tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri ini dirumuskan bahwa antara suami dan isteri disamping diberikan a. Perkawinan harus didahului oleh suatu pemberita- huan oleh kedua calon mempelai kepada pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama selain Islam); b. Pemberitahuan harus dilengkapi dengan surat-surat pembuktian yang diperlukan sesuai dengan syarat- syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang untuk pelaksanaan perkawinan; c. Pelaksanaan perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah lampau tenggang waktu 10 (sepuluh) hari terhitung dari tanggal pemberitahuan. 2. Syarat formil yang dilakukan pada saat dilangsungkannya perkawinan adalah: a. Perkawinan dilangsungkan oleh atau dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama selain Islam); b. Perkawinan harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi; Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila telah dipenuhi syarat-syarat di atas, baik syarat materiil maupun syarat formil, maka kedua mempelai telah resmi menjadi suami-isteri. Tetapi apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka dapat menimbulkan ketidakabsahan perkawinan yang bisa saja akan mengakibatkan batalnya suatu perkawinan. 30 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 31 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional ternyata aturan perkawinan di Indonesia berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendapat sorotan dari Komite CEDAW PBB. Kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan kemajuan program penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan pada 27 Juli 2007 tetap belum memberikan keyakinan penuh Komite CEDAW PBB. Committe on the Elimination of Discrimination Against Women itu tetap mengkritisi implementasi CEDAW selama lebih dari dua puluh tahun Indonesia meratifi kasinya. Komite CEDAW PBB waktu itu menyampaikan 46 poin tanggapan (concluding comments) yang pada intinya, Komite ini masih merasa prihatin dengan berbagai hal. Salah satu yang disorot tajam adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain regulasi perkawinan, disorot pula kesehatan perempuan, buruh migran, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan peraturan-peraturan daerah bernuansa diskriminatif. Undang- Undang Perkawinan sangat disoroti oleh Komite CEDAW, ujar A.D. Kusumaningtyas dari CEDAW Working Group Initiative (CWGI). Secara khusus Komite ini juga melihat bahwa Undang- Undang Perkawinan masih mengabadikan pandangan streotip yang mendudukkan laki-laki selalu sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Regulasi perkawinan di Indonesia juga dianggap masih memperbolehkan poligami. Selain itu, dikritik pula penetapan 16 tahun sebagai usia minimum perkawinan yang sah bagi perempuan. Ini berarti sudah dua kali Komite CEDAW menyoroti masalah perkawinan, yakni pada laporan 1998 dan 2007. Hal ini menimbulkan pertanyaan seberapa jauh komitmen dari pemerintah untuk menepatinya. hak dan kewajiban yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, juga diberi- kan suatu kewajiban yang sama untuk membina dan membangun rumah tangga yang diharapkan dapat menjadi dasar dari susunan masyarakat yang baik. Pembinaan rumah tangga tersebut haruslah didasari rasa saling mencintai, menyayangi, menghormati dan saling setia agar tercipta suatu keluarga yang harmonis. Dalam hal ini pun tidak kurang pentingnya ialah tempat kediaman atau tempat tinggal yang tetap yang ditentukan secara bersama. C. Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi C. Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia Manusia Hukum internasional juga mengatur mengenai perkawinan dimana dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16 disebutkan aturan mengenai perkawinan adalah sebagai berikut. 1. Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua mempunyai hal yang sama dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perorangan; 2. Perkawinan hanya dengan dilakukan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai; 3. Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara. Melihat isi Pasal 16 di atas, jelas disebutkan bahwa perkawinan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihargai dan dilindungi oleh masyarakat dan negara. Dalam prakteknya 30 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 31 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional ternyata aturan perkawinan di Indonesia berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendapat sorotan dari Komite CEDAW PBB. Kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan kemajuan program penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan pada 27 Juli 2007 tetap belum memberikan keyakinan penuh Komite CEDAW PBB. Committe on the Elimination of Discrimination Against Women itu tetap mengkritisi implementasi CEDAW selama lebih dari dua puluh tahun Indonesia meratifi kasinya. Komite CEDAW PBB waktu itu menyampaikan 46 poin tanggapan (concluding comments) yang pada intinya, Komite ini masih merasa prihatin dengan berbagai hal. Salah satu yang disorot tajam adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain regulasi perkawinan, disorot pula kesehatan perempuan, buruh migran, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan peraturan-peraturan daerah bernuansa diskriminatif. Undang- Undang Perkawinan sangat disoroti oleh Komite CEDAW, ujar A.D. Kusumaningtyas dari CEDAW Working Group Initiative (CWGI). Secara khusus Komite ini juga melihat bahwa Undang- Undang Perkawinan masih mengabadikan pandangan streotip yang mendudukkan laki-laki selalu sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Regulasi perkawinan di Indonesia juga dianggap masih memperbolehkan poligami. Selain itu, dikritik pula penetapan 16 tahun sebagai usia minimum perkawinan yang sah bagi perempuan. Ini berarti sudah dua kali Komite CEDAW menyoroti masalah perkawinan, yakni pada laporan 1998 dan 2007. Hal ini menimbulkan pertanyaan seberapa jauh komitmen dari pemerintah untuk menepatinya. hak dan kewajiban yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, juga diberi- kan suatu kewajiban yang sama untuk membina dan membangun rumah tangga yang diharapkan dapat menjadi dasar dari susunan masyarakat yang baik. Pembinaan rumah tangga tersebut haruslah didasari rasa saling mencintai, menyayangi, menghormati dan saling setia agar tercipta suatu keluarga yang harmonis. Dalam hal ini pun tidak kurang pentingnya ialah tempat kediaman atau tempat tinggal yang tetap yang ditentukan secara bersama. C. Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi C. Perkawinan Ditinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia Manusia Hukum internasional juga mengatur mengenai perkawinan dimana dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16 disebutkan aturan mengenai perkawinan adalah sebagai berikut. 1. Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua mempunyai hal yang sama dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perorangan; 2. Perkawinan hanya dengan dilakukan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai; 3. Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara. Melihat isi Pasal 16 di atas, jelas disebutkan bahwa perkawinan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihargai dan dilindungi oleh masyarakat dan negara. Dalam prakteknya 32 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 33 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; 5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI). Sedangkan hukum internasional yang memuat tentang perkawinan adalah: a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16 berbunyi: (1) Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perorangan; (2) Perkawinan hanya dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai; (3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara b. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 10 berbunyi:Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa: Sehubungan dengan hal tersebut di atas, akhirnya Komite CEDAW berpendapat bahwa revisi Undang-Undang Perkawinan merupakan stressing poin. Hal ini dituangkan dalam concluding comments, bahwa Komite CEDAW mengungkapkan kekhawatiran akibat minimnya kemajuan dalam proses reformasi hukum perkawinan dan keluarga. Akibatnya, tetap ada ketentuan- ketentuan diskriminatif yang menyangkal kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Apalagi amandemen terhadap Undang- Undang Perkawinan masih belum kunjung selesai. Terkait aturan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan dalam prakteknya sudah pernah dimohonkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah, diwakili Menteri Agama M. Maftuh Basyuni, menegaskan bahwa poligami bukanlah hak asasi ma nusia sebagaimana didalilkan M. Insa (pemohon judicial review). Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi malah menegaskan bahwa pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami. Kalaupun poligami diperbolehkan, harus dipenuhi syarat yang ketat. D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Kovenan Internasional Hukum nasional mengatur bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 32 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 33 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; 5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI). Sedangkan hukum internasional yang memuat tentang perkawinan adalah: a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16 berbunyi: (1) Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perorangan; (2) Perkawinan hanya dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai; (3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara b. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 10 berbunyi:Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa: Sehubungan dengan hal tersebut di atas, akhirnya Komite CEDAW berpendapat bahwa revisi Undang-Undang Perkawinan merupakan stressing poin. Hal ini dituangkan dalam concluding comments, bahwa Komite CEDAW mengungkapkan kekhawatiran akibat minimnya kemajuan dalam proses reformasi hukum perkawinan dan keluarga. Akibatnya, tetap ada ketentuan- ketentuan diskriminatif yang menyangkal kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Apalagi amandemen terhadap Undang- Undang Perkawinan masih belum kunjung selesai. Terkait aturan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan dalam prakteknya sudah pernah dimohonkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah, diwakili Menteri Agama M. Maftuh Basyuni, menegaskan bahwa poligami bukanlah hak asasi ma nusia sebagaimana didalilkan M. Insa (pemohon judicial review). Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi malah menegaskan bahwa pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami. Kalaupun poligami diperbolehkan, harus dipenuhi syarat yang ketat. D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan D. Perkawinan dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Kovenan Internasional Hukum nasional mengatur bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 34 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 35 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (2) Hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk menikah dan untuk membentuk keluarga harus diakui. (3) Ada pernikahan akan dimasukkan ke dalam tanpa persetujuan bebas dan penuh dari pasangan mereka. (4) Negara Pihak pada Kovenan ini harus mengambil langkah yang tepat untuk menjamin kesetaraan hak dan tanggung jawab pasangan untuk pernikahan, selama pernikahan dan pada pembubarannya. Dalam hal pembubaran, ketentuan harus dibuat untuk perlindungan yang diperlukan dari setiap anak. d. Konvensi Amerika Pasal 17 tentang Hak-hak Keluarga berbunyi: (1) Keluarga adalah unit kelompok alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara; (2) Aktifi tas laki-laki dan perempuan usia kawin untuk menikah dan membina keluarga harus diakui jika mereka memenuhi kondisi yang diperlukan oleh hukum domestik, sejauh kondisi tersebut tidak mempengaruhi prinsip non diskriminasi yang didirikan dalam konvensi ini; (3) Pernikahan harus berdasarkan persetujuan bebas dan penuh dari pasangan mempelai; (4) Negara Pihak harus mengambil langkah yang tepat untuk menjamin kesetaraan hak dan keseimbangan yang memadai tanggung jawab dari pasangan untuk menikah, selama pernikahan dan dalam hal perceraian. Dalam hal perceraian ketentuan harus dibuat untuk perlindungan (1) Perlindungan dan bantuan seluas mungkin harus diberi- kan kepada keluarga, yang merupakan unit kelompok alamiah dan mendasar dari masyarakat, terutama bagi pembentukannya dan sementara itu bertanggung jawab atas perawatan dan pendidikan anak-anak tergantung. Pernikahan harus dimasukkan ke dalam dengan persetu- ju an bebas dari pasangan. (2) Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan setelah melahirkan. Selama periode tersebut ibu yang bekerja harus diberikan cuti atau cuti dengan tunjangan jaminan sosial yang memadai. (3) Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan harus diambil atas nama semua anak dan orang muda tanpa diskriminasi apapun karena alasan keturunan atau kondisi lainnya. Anak-anak dan orang muda harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan sosial.Pemanfaatan mereka dalam pekerjaan yang merusak moral atau kesehatan atau yang membahayakan kehidupan atau mungkin menghambat perkembangan mereka secara normal harus dikenai sanksi hukum. Negara-negara juga harus menetapkan batas umur di bawah mana pekerjaan yang dibayar pekerja anak harus dilarang dan dikenai sanksi hukum. c. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 23 berbunyi: (1) Keluarga adalah unit kelompok alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan Negara. 34 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 35 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (2) Hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk menikah dan untuk membentuk keluarga harus diakui. (3) Ada pernikahan akan dimasukkan ke dalam tanpa persetujuan bebas dan penuh dari pasangan mereka. (4) Negara Pihak pada Kovenan ini harus mengambil langkah yang tepat untuk menjamin kesetaraan hak dan tanggung jawab pasangan untuk pernikahan, selama pernikahan dan pada pembubarannya. Dalam hal pembubaran, ketentuan harus dibuat untuk perlindungan yang diperlukan dari setiap anak. d. Konvensi Amerika Pasal 17 tentang Hak-hak Keluarga berbunyi: (1) Keluarga adalah unit kelompok alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara; (2) Aktifi tas laki-laki dan perempuan usia kawin untuk menikah dan membina keluarga harus diakui jika mereka memenuhi kondisi yang diperlukan oleh hukum domestik, sejauh kondisi tersebut tidak mempengaruhi prinsip non diskriminasi yang didirikan dalam konvensi ini; (3) Pernikahan harus berdasarkan persetujuan bebas dan penuh dari pasangan mempelai; (4) Negara Pihak harus mengambil langkah yang tepat untuk menjamin kesetaraan hak dan keseimbangan yang memadai tanggung jawab dari pasangan untuk menikah, selama pernikahan dan dalam hal perceraian. Dalam hal perceraian ketentuan harus dibuat untuk perlindungan (1) Perlindungan dan bantuan seluas mungkin harus diberi- kan kepada keluarga, yang merupakan unit kelompok alamiah dan mendasar dari masyarakat, terutama bagi pembentukannya dan sementara itu bertanggung jawab atas perawatan dan pendidikan anak-anak tergantung. Pernikahan harus dimasukkan ke dalam dengan persetu- ju an bebas dari pasangan. (2) Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan setelah melahirkan. Selama periode tersebut ibu yang bekerja harus diberikan cuti atau cuti dengan tunjangan jaminan sosial yang memadai. (3) Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan harus diambil atas nama semua anak dan orang muda tanpa diskriminasi apapun karena alasan keturunan atau kondisi lainnya. Anak-anak dan orang muda harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan sosial.Pemanfaatan mereka dalam pekerjaan yang merusak moral atau kesehatan atau yang membahayakan kehidupan atau mungkin menghambat perkembangan mereka secara normal harus dikenai sanksi hukum. Negara-negara juga harus menetapkan batas umur di bawah mana pekerjaan yang dibayar pekerja anak harus dilarang dan dikenai sanksi hukum. c. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 23 berbunyi: (1) Keluarga adalah unit kelompok alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan Negara. 36 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 37 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (f) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, dan adopsi anak, atau lembaga serupa di mana konsep-konsep ini ada dalam perundang- undangan nasional, dalam semua kasus kepentingan anak harus diutamakan; (g) Hak pribadi yang sama sebagai suami dan isteri, termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan;’ (h) Hak yang sama bagi kedua pasangan sehubungan dengan, akuisisi kepemilikan, manajemen, kenikmatan administrasi, dan disposisi dari properti, baik secara gratis atau untuk pertimbangan berharga. (2) Para pertunangan dan pernikahan seorang anak tidak akan memiliki efek hukum, dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk perundang-undangan, harus diambil untuk menetapkan usia minimum untuk menikah dan membuat pendaftaran pernikahan dalam registri resmi wajib. E. Peran Negara dalam Memfasilitasi E. Peran Negara dalam Memfasilitasi Perkawinan Warga Negaranya Perkawinan Warga Negaranya Nancy F Cott dalam bukunya Public Vows: A History of Marriage and the Nation mengungkapkan bahwa perkawinan selalu menjadi urusan publik. Buku yang merupakan hasil penelitian atas sejarah perkawinan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sepanjang sejarah kehidupan bernegara, lembaga perkawinan tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan publik, seperti politik dan hukum. Peran negara dalam urusan perkawinan tidak lepas dari tugas utama negara, yakni menciptakan kesejahteraan umum bagi warganya. yang diperlukan dari setiap anak-anak semata-mata berdasarkan kepentingan terbaik mereka sendiri; (5) Hukum harus mengakui hak yang sama bagi anak yang lahir di luar nikah dan mereka yang lahir di luar nikah. e. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Pasal 16 berbunyi: (1) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan hubungan pernikahan dan keluarga dan khususnya wajib menjamin, atas dasar persamaan antara pria dan wanita: (a) Hak yang sama untuk masuk ke dalam pernikahan; (b) Hak yang sama bebas untuk memilih pasangan dan untuk masuk ke dalam pernikahan hanya dengan persetujuan bebas dan penuh; (c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama perni kah- an dan pada pembubaran tersebut; (d) Hak-hak yang sama dan tanggung jawab sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus kepentingan anak harus diutamakan; (e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak anak- anak mereka dan untuk memiliki akses ke pendidikan, informasi dan sarana untuk memungkinkan mereka melaksanakan hak-hak ini; 36 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 37 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (f) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, dan adopsi anak, atau lembaga serupa di mana konsep-konsep ini ada dalam perundang- undangan nasional, dalam semua kasus kepentingan anak harus diutamakan; (g) Hak pribadi yang sama sebagai suami dan isteri, termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan;’ (h) Hak yang sama bagi kedua pasangan sehubungan dengan, akuisisi kepemilikan, manajemen, kenikmatan administrasi, dan disposisi dari properti, baik secara gratis atau untuk pertimbangan berharga. (2) Para pertunangan dan pernikahan seorang anak tidak akan memiliki efek hukum, dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk perundang-undangan, harus diambil untuk menetapkan usia minimum untuk menikah dan membuat pendaftaran pernikahan dalam registri resmi wajib. E. Peran Negara dalam Memfasilitasi E. Peran Negara dalam Memfasilitasi Perkawinan Warga Negaranya Perkawinan Warga Negaranya Nancy F Cott dalam bukunya Public Vows: A History of Marriage and the Nation mengungkapkan bahwa perkawinan selalu menjadi urusan publik. Buku yang merupakan hasil penelitian atas sejarah perkawinan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sepanjang sejarah kehidupan bernegara, lembaga perkawinan tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan publik, seperti politik dan hukum. Peran negara dalam urusan perkawinan tidak lepas dari tugas utama negara, yakni menciptakan kesejahteraan umum bagi warganya. yang diperlukan dari setiap anak-anak semata-mata berdasarkan kepentingan terbaik mereka sendiri; (5) Hukum harus mengakui hak yang sama bagi anak yang lahir di luar nikah dan mereka yang lahir di luar nikah. e. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Pasal 16 berbunyi: (1) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan hubungan pernikahan dan keluarga dan khususnya wajib menjamin, atas dasar persamaan antara pria dan wanita: (a) Hak yang sama untuk masuk ke dalam pernikahan; (b) Hak yang sama bebas untuk memilih pasangan dan untuk masuk ke dalam pernikahan hanya dengan persetujuan bebas dan penuh; (c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama perni kah- an dan pada pembubaran tersebut; (d) Hak-hak yang sama dan tanggung jawab sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus kepentingan anak harus diutamakan; (e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak anak- anak mereka dan untuk memiliki akses ke pendidikan, informasi dan sarana untuk memungkinkan mereka melaksanakan hak-hak ini; 38 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 39 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional F. Teori Pendukung F. Teori Pendukung Keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disatu sisi telah menjamin hak-hak perempuan sebagai subjek hukum yang setara dengan laki-laki. Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di dalam Pasal 3 ayat (1,2), Pasal 4 ayat (1,2) Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24, telah digunakan oleh kaum perempuan untuk melindungi hak-hak asasinya sebagai manusia dan sebagai warga negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Perpektif perempuan ini memberikan implikasi bagi pentingnya dalam penelitian ini menggunakan alat analisis dengan beberapa teori pendukung, yakni, pertama teori feminisme yang berperspektif hak asasi manusia, kedua teori tentang kesetaraan gender dan ketiga teori keadilan. Alasan penggunaan ketiga teori ini sebagai alat analisis adalah karena masalah perkawinan merupa- kan masalah perempuan yang sebagian besar selalu menjadi korban. Perkawinan yang tidak sah menurut Undang-Undang banyak dilakukan di berbagai daerah dan dampaknya adalah ketidakadilan bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan. Dengan pendekatan teori-teori diharapkan menjadi dasar dalam melakukan analisa masalah tentang perkawinan. 1. Teori Feminisme 1. Teori Feminisme Teori-teori feminisme sangat beragam dan telah berubah secara dramatis sejak awal kemunculannya. Di bawah ini adalah tinjauan sistematik mengenai teori-teori feminis utama, diambil Dalam upaya mencapai tujuan umum tersebut, negara membuat berbagai kebijakan yang tujuannya mengatur kehidupan sosial masyarakat. Demi mencapai tujuan sosial itu jugalah negara dapat saja membuat kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan privat warganya. Tentunya, keikutsertaan negara dalam mencampuri kehidupan pribadi warganya harus dibatasi. John Stuart Mill dalam karyanya yang berjudul On Liberty (1859) memberikan batasan yang sangat jelas bagi keterlibatan negara dalam urusan pribadi warganya. Dengan berlandaskan pada ”dictum utilitarian ”the greatest happiness of the greatest number of people”, negara dibolehkan menetapkan aturan bagi warganya. Menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk memberikan ruang dan menjamin kebebasan individu sekaligus memastikan bahwa kehendak bebas seseorang tidak sampai membahayakan kebebasan warga lainnya. Dalam pemahaman yang demikian, negara tidak boleh membuat kebijakan yang mencampuri urusan pribadi warganya yang tidak berimplikasi pada kebebasan orang lain. Negara boleh saja mencampuri urusan pribadi warganya dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan dalam keluarga, seperti aturan untuk mence- gah tindakaan penganiayaan suami atau isteri oleh pasangannya, atau aturan yang mewajibkan orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Negara seharusnya mengambil peran yang strategis yaitu membuat kebijakan yang tidak mempersulit dilaksanakan perkawinan, memberi ruang dan menjamin kebebasan individu dan memastikan kehendak bebas seseorang tidak membahayakan kebebasan warga masyarakat lainnya. 38 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 39 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional F. Teori Pendukung F. Teori Pendukung Keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disatu sisi telah menjamin hak-hak perempuan sebagai subjek hukum yang setara dengan laki-laki. Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di dalam Pasal 3 ayat (1,2), Pasal 4 ayat (1,2) Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24, telah digunakan oleh kaum perempuan untuk melindungi hak-hak asasinya sebagai manusia dan sebagai warga negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Perpektif perempuan ini memberikan implikasi bagi pentingnya dalam penelitian ini menggunakan alat analisis dengan beberapa teori pendukung, yakni, pertama teori feminisme yang berperspektif hak asasi manusia, kedua teori tentang kesetaraan gender dan ketiga teori keadilan. Alasan penggunaan ketiga teori ini sebagai alat analisis adalah karena masalah perkawinan merupa- kan masalah perempuan yang sebagian besar selalu menjadi korban. Perkawinan yang tidak sah menurut Undang-Undang banyak dilakukan di berbagai daerah dan dampaknya adalah ketidakadilan bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan. Dengan pendekatan teori-teori diharapkan menjadi dasar dalam melakukan analisa masalah tentang perkawinan. 1. Teori Feminisme 1. Teori Feminisme Teori-teori feminisme sangat beragam dan telah berubah secara dramatis sejak awal kemunculannya. Di bawah ini adalah tinjauan sistematik mengenai teori-teori feminis utama, diambil Dalam upaya mencapai tujuan umum tersebut, negara membuat berbagai kebijakan yang tujuannya mengatur kehidupan sosial masyarakat. Demi mencapai tujuan sosial itu jugalah negara dapat saja membuat kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan privat warganya. Tentunya, keikutsertaan negara dalam mencampuri kehidupan pribadi warganya harus dibatasi. John Stuart Mill dalam karyanya yang berjudul On Liberty (1859) memberikan batasan yang sangat jelas bagi keterlibatan negara dalam urusan pribadi warganya. Dengan berlandaskan pada ”dictum utilitarian ”the greatest happiness of the greatest number of people”, negara dibolehkan menetapkan aturan bagi warganya. Menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk memberikan ruang dan menjamin kebebasan individu sekaligus memastikan bahwa kehendak bebas seseorang tidak sampai membahayakan kebebasan warga lainnya. Dalam pemahaman yang demikian, negara tidak boleh membuat kebijakan yang mencampuri urusan pribadi warganya yang tidak berimplikasi pada kebebasan orang lain. Negara boleh saja mencampuri urusan pribadi warganya dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan dalam keluarga, seperti aturan untuk mence- gah tindakaan penganiayaan suami atau isteri oleh pasangannya, atau aturan yang mewajibkan orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Negara seharusnya mengambil peran yang strategis yaitu membuat kebijakan yang tidak mempersulit dilaksanakan perkawinan, memberi ruang dan menjamin kebebasan individu dan memastikan kehendak bebas seseorang tidak membahayakan kebebasan warga masyarakat lainnya. 40 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 41 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya, yaitu menambah kesempatan-kesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi- institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini muncul selama revolusi Prancis dan masa pencerahan Eropa Barat 5. Perubahan-perubahan sosial besar-besaran tersebut, menyediakan baik argumen-argumen politik maupun moral, untuk gagasan- gagasan mengenai ”kemajuan, kontrak, sifat dasar, dan alasan” yang memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional 6. Asumsinya, apabila, perempuan diberi akses yang sama untuk bersaing, mereka akan berhasil. Kaum feminis Marxis tradisional mencari asal penindasan terhadap perempuan dari permulaan pemilikan kekayaan pribadi. Penyebab penindasan perempuan dihubungkan dengan tipe organisasi sosial, khususnya tatanan perekonomian. Sistem kelas yang berdasarkan pemilikan pribadi, secara inheren bersifat menindas, dan kaum lelaki kulit putih mempunyai kedudukan istimewa di dalamnya. Unsur kunci yang membedakan feminisme Marxis dari teori-teori feminis terletak pada anggapan nya, bahwa kapitalisme atau penindasan kelas merupakan penindasan utama 7. Di dalam kapitalisme, kemampuan untuk memaksakan gagasan mengenai keluarga, masa kanak-kanak, feminitas, dan seksualitas, memperkuat serta mempertahankan kekuasaan laki-laki borjuis. 5 Mery Wollstonecraft menerbitkan A. Vindication of The Right of Women (1779). 6 Kandal, 1985:5 7 Sheila Rowwbothan Women’s Conciosness, Man’s World, 1973. dari kerangka konseptual yang digambarkan oleh Jagger dan Rothenberg3. Dalam tahun 1960-an, tujuan-tujuan politik feminis terfokus pada penentuan wanita agar sederajat dengan laki-laki. Setelah berabad-abad diabaikan, disingkirkan dan diremehkan oleh disiplin-disiplin patriarkis, wanita berusaha masuk menjadi obyek penelitian. Teori-teori tradisional kerap dimodi fi kasi oleh kaum feminis untuk menerangkan peminggiran peran perempuan, dengan memusatkan pada pencantuman persamaan wanita ke dalam kerangka teoritis masa lalu itu, kesamaan-kesamaan wanita dengan laki-laki ditekankan (Gross, 1986). Perubahan politik feminis terjadi, ketika kaum feminis menunjukkan teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi perempuan ”yaitu, hak wanita untuk politik, sosial, ekonomi, dan penentuan diri secara intelektual (Gross, 1986:193). Pendekatan-pendekatan studi perempuan yang dicakup oleh beberapa sosiolog meliputi tradisi Feminisme Liberal, Feminisme Marxis, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, 4 Feminisme Kultural dan Feminisme Pasca Struktural. Teori-teori tersebut mempunyai kesamaan dalam fokus mengenai penindasan terhadap perempuan di dalam masyarakat, namun teori-teori itu berbeda dalam defi nisi tentang penyebab-penyebab penindasan perempuan itu, serta cara-cara pemecahan yang ditawarkannya bagi perubahan sosial atau individual. Dalam tradisi feminisme- liberal, penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya 3 Feminist Framework (1984). 4 Kategorisasi teori-teori feminis ke dalam empat kerangka ini, dikembangkan oleh Jegger dan Rothenberg di dalam Feminist Frameworks (1984) 40 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 41 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya, yaitu menambah kesempatan-kesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi- institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini muncul selama revolusi Prancis dan masa pencerahan Eropa Barat 5. Perubahan-perubahan sosial besar-besaran tersebut, menyediakan baik argumen-argumen politik maupun moral, untuk gagasan- gagasan mengenai ”kemajuan, kontrak, sifat dasar, dan alasan” yang memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional 6. Asumsinya, apabila, perempuan diberi akses yang sama untuk bersaing, mereka akan berhasil. Kaum feminis Marxis tradisional mencari asal penindasan terhadap perempuan dari permulaan pemilikan kekayaan pribadi. Penyebab penindasan perempuan dihubungkan dengan tipe organisasi sosial, khususnya tatanan perekonomian. Sistem kelas yang berdasarkan pemilikan pribadi, secara inheren bersifat menindas, dan kaum lelaki kulit putih mempunyai kedudukan istimewa di dalamnya. Unsur kunci yang membedakan feminisme Marxis dari teori-teori feminis terletak pada anggapan nya, bahwa kapitalisme atau penindasan kelas merupakan penindasan utama 7. Di dalam kapitalisme, kemampuan untuk memaksakan gagasan mengenai keluarga, masa kanak-kanak, feminitas, dan seksualitas, memperkuat serta mempertahankan kekuasaan laki-laki borjuis. 5 Mery Wollstonecraft menerbitkan A. Vindication of The Right of Women (1779). 6 Kandal, 1985:5 7 Sheila Rowwbothan Women’s Conciosness, Man’s World, 1973. dari kerangka konseptual yang digambarkan oleh Jagger dan Rothenberg3. Dalam tahun 1960-an, tujuan-tujuan politik feminis terfokus pada penentuan wanita agar sederajat dengan laki-laki. Setelah berabad-abad diabaikan, disingkirkan dan diremehkan oleh disiplin-disiplin patriarkis, wanita berusaha masuk menjadi obyek penelitian. Teori-teori tradisional kerap dimodi fi kasi oleh kaum feminis untuk menerangkan peminggiran peran perempuan, dengan memusatkan pada pencantuman persamaan wanita ke dalam kerangka teoritis masa lalu itu, kesamaan-kesamaan wanita dengan laki-laki ditekankan (Gross, 1986). Perubahan politik feminis terjadi, ketika kaum feminis menunjukkan teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi perempuan ”yaitu, hak wanita untuk politik, sosial, ekonomi, dan penentuan diri secara intelektual (Gross, 1986:193). Pendekatan-pendekatan studi perempuan yang dicakup oleh beberapa sosiolog meliputi tradisi Feminisme Liberal, Feminisme Marxis, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, 4 Feminisme Kultural dan Feminisme Pasca Struktural. Teori-teori tersebut mempunyai kesamaan dalam fokus mengenai penindasan terhadap perempuan di dalam masyarakat, namun teori-teori itu berbeda dalam defi nisi tentang penyebab-penyebab penindasan perempuan itu, serta cara-cara pemecahan yang ditawarkannya bagi perubahan sosial atau individual. Dalam tradisi feminisme- liberal, penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya 3 Feminist Framework (1984). 4 Kategorisasi teori-teori feminis ke dalam empat kerangka ini, dikembangkan oleh Jegger dan Rothenberg di dalam Feminist Frameworks (1984) 42 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 43 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional pendidikan,dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan biasanya lebih sedikit dari pada laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad XVIII11 yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Aktor pegiat perlawanan terhadap diskriminasi perempuan tidak terbatas pada kaum perempuan saja, melainkan melibatkan secara aktif kaum laki-laki. Beberapa intelektual masyhur dunia dikenal sebagai aktivis perempuan. Sebut misalnya John Stuart Mill, Thornstein Veblen dan, Friedrich Engels. Ekonom besar dan utilitiaris Inggris John Stuart Mill selain menulis karya klasik Principles of Political Economy (1845) ternyata menulis juga sebuah buku yang membahas soal-soal perempuan berjudul The Subjection of Woman. Harriet Hardy, wanita yang kemudian ia nikahi setelah sekian lama menjadi teman diskusinya, dipandang berperan signifi kan dalam karya dan pemikiran Mill berikutnya. Demikian halnya dengan Thorstein Veblen, ekonom orisinal dan sosiolog besar di akhir abad 19. Karya besarnya The Theory of The Leisure Class 11 Liberalisme yang dimaksud adalah Liberalisme Klasik yang dicetuskan Adam Smith (1723-1790) di bidang ekonomi dan John Locke (1632-1704), di bidang politik dan paham agama. Paham ini beranggapan bahwa kebebasan individual adalah nilai tertinggi dalam kehidupan sosial. Setiap individu itu harus dibiarkan memburu nilai dan kepentingannya, sejauh ia tidak melanggar kebebasan orang lain, melakukan kekerasan dan paksaan. Pikiran Liberalisme Klasik inilah yang mengilhami gerakan feminisme Eropa. Baca: Liberalism: Its Meaning and History, J. Salwyn Schapiro, Princeton. N.J.: D. Van Nostrand Company, 1958. Dalam beberapa perspektif Feminisme Radikal digambarkan bahwa perempuan ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis, yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar. Penindasan berganda seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah, heteroseksisme, dan kelasisme, terjadi secara signifi kan dalam hubungannya dengan penindasan patriarkis. Agar wanita terbebas dari penindasan, perlu mengubah masyarkat yang berstruktur patriarkis8. Dalam feminisme sosialis, baik patriarki maupun kelas, dianggap merupakan penindasan utama. Suatu bentuk penindas- an tidaklah mencontoh penindasan lain sebelumnya. Feminisme sosialis meliputi pemusatan dan pengarahan kembali, oleh femenisme terhadap pendekatan historis Marxian untuk mema- hami struktur penindasan perempuan, terutama dalam kaitannya dengan struktur jenis kelamin, keluarga, dan hierarki pembagian kerja seksual9. Fokus feminisme kultural adalah pandangan, bahwa feminisme merupakan bentuk perilaku manusia yang paling diperlukan. Untuk menoleh pandangan ideal melalui maskulinitas, dan cap-cap yang diberikan pada feminitas oleh dunia patriarkis, kaum feminis kultural mendefi nisikan kembali feminis dalam suatu kerangka positif10. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan (subordinasi) oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat yang patriakal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, 8 Shulamith Firestone, The Dialection of Sex, 1976. 9 Eisentein, 1979. 10 Jessic Bernard, The Female World, 1981. 42 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 43 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional pendidikan,dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan biasanya lebih sedikit dari pada laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad XVIII11 yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Aktor pegiat perlawanan terhadap diskriminasi perempuan tidak terbatas pada kaum perempuan saja, melainkan melibatkan secara aktif kaum laki-laki. Beberapa intelektual masyhur dunia dikenal sebagai aktivis perempuan. Sebut misalnya John Stuart Mill, Thornstein Veblen dan, Friedrich Engels. Ekonom besar dan utilitiaris Inggris John Stuart Mill selain menulis karya klasik Principles of Political Economy (1845) ternyata menulis juga sebuah buku yang membahas soal-soal perempuan berjudul The Subjection of Woman. Harriet Hardy, wanita yang kemudian ia nikahi setelah sekian lama menjadi teman diskusinya, dipandang berperan signifi kan dalam karya dan pemikiran Mill berikutnya. Demikian halnya dengan Thorstein Veblen, ekonom orisinal dan sosiolog besar di akhir abad 19. Karya besarnya The Theory of The Leisure Class 11 Liberalisme yang dimaksud adalah Liberalisme Klasik yang dicetuskan Adam Smith (1723-1790) di bidang ekonomi dan John Locke (1632-1704), di bidang politik dan paham agama. Paham ini beranggapan bahwa kebebasan individual adalah nilai tertinggi dalam kehidupan sosial. Setiap individu itu harus dibiarkan memburu nilai dan kepentingannya, sejauh ia tidak melanggar kebebasan orang lain, melakukan kekerasan dan paksaan. Pikiran Liberalisme Klasik inilah yang mengilhami gerakan feminisme Eropa. Baca: Liberalism: Its Meaning and History, J. Salwyn Schapiro, Princeton. N.J.: D. Van Nostrand Company, 1958. Dalam beberapa perspektif Feminisme Radikal digambarkan bahwa perempuan ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis, yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar. Penindasan berganda seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah, heteroseksisme, dan kelasisme, terjadi secara signifi kan dalam hubungannya dengan penindasan patriarkis. Agar wanita terbebas dari penindasan, perlu mengubah masyarkat yang berstruktur patriarkis8. Dalam feminisme sosialis, baik patriarki maupun kelas, dianggap merupakan penindasan utama. Suatu bentuk penindas- an tidaklah mencontoh penindasan lain sebelumnya. Feminisme sosialis meliputi pemusatan dan pengarahan kembali, oleh femenisme terhadap pendekatan historis Marxian untuk mema- hami struktur penindasan perempuan, terutama dalam kaitannya dengan struktur jenis kelamin, keluarga, dan hierarki pembagian kerja seksual9. Fokus feminisme kultural adalah pandangan, bahwa feminisme merupakan bentuk perilaku manusia yang paling diperlukan. Untuk menoleh pandangan ideal melalui maskulinitas, dan cap-cap yang diberikan pada feminitas oleh dunia patriarkis, kaum feminis kultural mendefi nisikan kembali feminis dalam suatu kerangka positif10. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan (subordinasi) oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat yang patriakal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, 8 Shulamith Firestone, The Dialection of Sex, 1976. 9 Eisentein, 1979. 10 Jessic Bernard, The Female World, 1981. 44 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 45 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam proses penciptaan, ia adalah makhluk pertama dalam perbuatan dosa. Dialah yang menggoda Adam sehingga akhirnya terusir dari sorga. Ketiga, perempuan bukan saja dari laki-laki tetapi juga untuk laki-laki. Asumsi-asumsi ini berimplikasi pada pemahaman bahwa perempuan sekedar instrumental bagi kepentingan laki-laki dan tidaklah fundamental, dan karena itu tidak berhak mendefi nisikan status dan martabatnya. Gerakan feminisme di Eropa pada abad ke-18 gaungnya kurang keras, namun setelah terjadi revolusi sosial dan politik di Amerika Serikat, perhatian terhadap hak-hak perempuan mulai muncul. Pada 1792 Mary Wollstonecraft menulis buku Vindication of the Right of Woman 12, yang isinya merupakan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun antara 1830-1840 sejalan dengan pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Gelombang feminisme di Amerika Serikat mendapat mo- mentum yang besar pada era 1960-an yakni pada era reformasi dengan terbitnya buku The Feminine Mystique, yang ditulis oleh Betty Friedan pada 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih- lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman pada 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal 12 Buku ini diterbitkan oleh Boston: Peter Edes, 1972 (1899) sarat gugatan terhadap kepincangan masyarakat kapitalis yang berwatak semu. Ia menyoal kaum ningrat yang berkecimpung dalam bisnis raksasa serta pola hidup kaum perempuan kelas atas yang ”glamour” dan tidak berguna. Bagi pemikir yang sempat membuat banyak mahasiswi-nya tergila-gila itu, masyarakat kapitalis adalah masyarakat pemboros, kelas pemboros (the leisure class). Ciri-cirinya, menurut Veblen adalah tingkat konsumsi yang berlebihan. Oleh Veblen masyarakat seperti ini juga disebutnya memiliki ciri predatory instinct (naluri memangsa) yang tentu saja merugikan orang lain. Sementara Friederich Engels tampak jelas menjadi bagain dari pemikir feminis melalui karyanya The Origins of the Family, Private Property and State (1884). Di situlah ia mengupas bagaimana sistem kapitalisme telah mensubordinasi perempuan sebagai sekadar milik kaum lelaki. Dengan sejarah yang amat panjang dan beragam tokoh pemikirnya, gerakan perempuan terus tumbuh sesuai kondisi obyektif masyarakatnya. Gerakan perempuan akhirnya juga berdialektika dan menghasilkan banyak sekali varian gerakan. Dasar pemikiran yang memunculkan dan menyatukan gerakan feminisme adalah struktur masyarakat patriarkhi yang dianggap sebagai biang keladi persoalan. Ideologi patriarkhi ini menelusup dalam hampir seluruh aspek kehidupan ( all sphere of life) bahkan sampai dalam tafsir keagamaan. Dalam kaitan dengan dominasi patriarkhi dalam agama misalnya, seorang feminis Amerika, Prof. Rifaat Hassan melihat bahwa dalam masyarakat patriarkhi ada tersimpan tiga asumsi dasar ketika mencoba memahami kaum perempuan. Pertama, manusia pertama adalah laki-laki; dan perempuan diciptakan darinya, sehingga ia adalah ”makhluk sekunder” Kedua, walaupun perempuan adalah makhluk kedua 44 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 45 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam proses penciptaan, ia adalah makhluk pertama dalam perbuatan dosa. Dialah yang menggoda Adam sehingga akhirnya terusir dari sorga. Ketiga, perempuan bukan saja dari laki-laki tetapi juga untuk laki-laki. Asumsi-asumsi ini berimplikasi pada pemahaman bahwa perempuan sekedar instrumental bagi kepentingan laki-laki dan tidaklah fundamental, dan karena itu tidak berhak mendefi nisikan status dan martabatnya. Gerakan feminisme di Eropa pada abad ke-18 gaungnya kurang keras, namun setelah terjadi revolusi sosial dan politik di Amerika Serikat, perhatian terhadap hak-hak perempuan mulai muncul. Pada 1792 Mary Wollstonecraft menulis buku Vindication of the Right of Woman 12, yang isinya merupakan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun antara 1830-1840 sejalan dengan pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Gelombang feminisme di Amerika Serikat mendapat mo- mentum yang besar pada era 1960-an yakni pada era reformasi dengan terbitnya buku The Feminine Mystique, yang ditulis oleh Betty Friedan pada 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih- lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman pada 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal 12 Buku ini diterbitkan oleh Boston: Peter Edes, 1972 (1899) sarat gugatan terhadap kepincangan masyarakat kapitalis yang berwatak semu. Ia menyoal kaum ningrat yang berkecimpung dalam bisnis raksasa serta pola hidup kaum perempuan kelas atas yang ”glamour” dan tidak berguna. Bagi pemikir yang sempat membuat banyak mahasiswi-nya tergila-gila itu, masyarakat kapitalis adalah masyarakat pemboros, kelas pemboros (the leisure class). Ciri-cirinya, menurut Veblen adalah tingkat konsumsi yang berlebihan. Oleh Veblen masyarakat seperti ini juga disebutnya memiliki ciri predatory instinct (naluri memangsa) yang tentu saja merugikan orang lain. Sementara Friederich Engels tampak jelas menjadi bagain dari pemikir feminis melalui karyanya The Origins of the Family, Private Property and State (1884). Di situlah ia mengupas bagaimana sistem kapitalisme telah mensubordinasi perempuan sebagai sekadar milik kaum lelaki. Dengan sejarah yang amat panjang dan beragam tokoh pemikirnya, gerakan perempuan terus tumbuh sesuai kondisi obyektif masyarakatnya. Gerakan perempuan akhirnya juga berdialektika dan menghasilkan banyak sekali varian gerakan. Dasar pemikiran yang memunculkan dan menyatukan gerakan feminisme adalah struktur masyarakat patriarkhi yang dianggap sebagai biang keladi persoalan. Ideologi patriarkhi ini menelusup dalam hampir seluruh aspek kehidupan ( all sphere of life) bahkan sampai dalam tafsir keagamaan. Dalam kaitan dengan dominasi patriarkhi dalam agama misalnya, seorang feminis Amerika, Prof. Rifaat Hassan melihat bahwa dalam masyarakat patriarkhi ada tersimpan tiga asumsi dasar ketika mencoba memahami kaum perempuan. Pertama, manusia pertama adalah laki-laki; dan perempuan diciptakan darinya, sehingga ia adalah ”makhluk sekunder” Kedua, walaupun perempuan adalah makhluk kedua 46 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 47 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada pe- rempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka ”persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf 16, sebagai ”Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mem- punyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan pe- rempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub- ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Feminisme liberal memusatkan perhatiannya pada persamaan hak (equal rights). Asumsi dasar mereka adalah semua manusia memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama dalam berpikir dan bertindak rasional. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, tertuju pada kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya 16 Naomi Wolf, The Beauty Myth, HarperCollins Publisher Inc, 1991. Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.13 Sebelumnya di Prancis, terbit buku The Second Sex (1953) 14 karya Simone de Beauvoir, seorang ilmuwan politik yang memutar haluan menjadi aktivis gerakan pembebasan perempuan dan bergabung dengan Partai Sosialis Prancis. Buku ini sarat ideologi tentang apa yang kemudian disebut sebagai pemikiran feminisme eksistensialis. Buku setebal hampir 1.000 halaman karya Simone de Beauvoir itu seperti landmark studi feminisme yang berkembang pesat 40 tahun terakhir ini. The Second Sex juga mengilhami gerakan feminisme baik di Amerika Serikat maupun di berbagai belahan dunia lainnya. Adapun gerakan feminisme terdiri dari beberapa varian, di antaranya: a. Feminisme Liberal a. Feminisme Liberal Feminis Liberal merupakan pandangan untuk menem patkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik 15. 13 Jo Freeman, The Women’s Liberation Movement: Its Origin, Structures and Ideals, Pittsburgh: Know, Inc., c.1971. 14 Simone de Beauvoir, Second Sex, Vintage Books Edition, 1989. 15 Judith Hole and Ellen Levine, ”The First Feminist” dalam Women: A Feminist Perspective (ed), Jo Freeman, California, Mayfi eld Publishing Co. 1979, m.s. 544. 46 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 47 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada pe- rempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka ”persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf 16, sebagai ”Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mem- punyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan pe- rempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub- ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Feminisme liberal memusatkan perhatiannya pada persamaan hak (equal rights). Asumsi dasar mereka adalah semua manusia memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama dalam berpikir dan bertindak rasional. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, tertuju pada kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya 16 Naomi Wolf, The Beauty Myth, HarperCollins Publisher Inc, 1991. Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.13 Sebelumnya di Prancis, terbit buku The Second Sex (1953) 14 karya Simone de Beauvoir, seorang ilmuwan politik yang memutar haluan menjadi aktivis gerakan pembebasan perempuan dan bergabung dengan Partai Sosialis Prancis. Buku ini sarat ideologi tentang apa yang kemudian disebut sebagai pemikiran feminisme eksistensialis. Buku setebal hampir 1.000 halaman karya Simone de Beauvoir itu seperti landmark studi feminisme yang berkembang pesat 40 tahun terakhir ini. The Second Sex juga mengilhami gerakan feminisme baik di Amerika Serikat maupun di berbagai belahan dunia lainnya. Adapun gerakan feminisme terdiri dari beberapa varian, di antaranya: a. Feminisme Liberal a. Feminisme Liberal Feminis Liberal merupakan pandangan untuk menem patkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik 15. 13 Jo Freeman, The Women’s Liberation Movement: Its Origin, Structures and Ideals, Pittsburgh: Know, Inc., c.1971. 14 Simone de Beauvoir, Second Sex, Vintage Books Edition, 1989. 15 Judith Hole and Ellen Levine, ”The First Feminist” dalam Women: A Feminist Perspective (ed), Jo Freeman, California, Mayfi eld Publishing Co. 1979, m.s. 544. 48 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 49 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Women’s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Pada 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya Miss America Pegeant di Atlantic City yang mereka anggap sebagai pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan. Gema pembebasan kaum perempuan ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi . Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang ”radikal”. Berbeda dengan feminisme liberal dan Marxis, kaum feminis radikal tidak melihat problem penindasan perempuan semata pada keterbelakangan pendidikan ala feminis lieberal, serta bahkan, bukan oleh sistem eksploitasi kapitalisme. Feminis radikal mengkritik para feminis Marxis yang gagal menjelaskan bagaimana sistem patriarkhi berjalan independen dari keterkaitan dengan kapitalisme (menurut Engels, patriarki memang sudah ada sebelum kapitalisme) dan bagaimana kaum pria dari semua kelas dan ras dapat memperoleh keuntungan besar dari tata sosial yang didominasi mereka itu. Penyebab penindasan, terutama adalah patriarkhi, begitulah pendapat yang dipegang kaum feminis radikal. Persoalan inilah yang menyebabkan dominasi, dan tentu saja penindasan laki-laki terhadap perempuan. Dengan begitu kaum feminis radikal tidak bisa mengelak dari pengkritisan yang kesempatan dan hak bagi kaum perempuan. Pembagian kerja masyarakat modern yang terlanjur sebelumnya didominasi laki- laki, kini harus diubah karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak ada alasan seorang perempuan tidak bisa menjadi astronot, dokter dan profesi lainnya sesuai pembagian kerja masyarakat industri dalam sistem ekonomi dan sosial liberal. Perempuan yang sekedar berada di rumah, hanyalah hegemoni yang coba dipertahankan oleh sistem masyarakat patriarkhi. Penyele- sai an kaum feminis liberal terhadap problem perempuan adalah dengan meningkatkan semakin banyak perempuan dalam posisi- posisi penting kebijakan. Dominasi pria dalam bisnis dan media massa misalnya harus diimbangi oleh jumlah perempuan dalam institusi-institusi tersebut. Cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh pesaingan bebas adalah titik tolak permasalahannya. Feminis liberal memegang anggapan bahwa masalah keterbelakangan kaum perempuan itu terletak pada diri kaum perempuan sendiri. b. Feminisme Radikal b. Feminisme Radikal Trend ini muncul sejak pertengahan 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi ”perjuangan separatisme perempuan”. Feminisme radikal mula-mula muncul di Amerika Serikast pada 1967 ketika dibentuk Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok feminisme radikal dengan membentuk Women’s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan Women’s Lib. 48 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 49 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Women’s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Pada 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya Miss America Pegeant di Atlantic City yang mereka anggap sebagai pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan. Gema pembebasan kaum perempuan ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi . Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang ”radikal”. Berbeda dengan feminisme liberal dan Marxis, kaum feminis radikal tidak melihat problem penindasan perempuan semata pada keterbelakangan pendidikan ala feminis lieberal, serta bahkan, bukan oleh sistem eksploitasi kapitalisme. Feminis radikal mengkritik para feminis Marxis yang gagal menjelaskan bagaimana sistem patriarkhi berjalan independen dari keterkaitan dengan kapitalisme (menurut Engels, patriarki memang sudah ada sebelum kapitalisme) dan bagaimana kaum pria dari semua kelas dan ras dapat memperoleh keuntungan besar dari tata sosial yang didominasi mereka itu. Penyebab penindasan, terutama adalah patriarkhi, begitulah pendapat yang dipegang kaum feminis radikal. Persoalan inilah yang menyebabkan dominasi, dan tentu saja penindasan laki-laki terhadap perempuan. Dengan begitu kaum feminis radikal tidak bisa mengelak dari pengkritisan yang kesempatan dan hak bagi kaum perempuan. Pembagian kerja masyarakat modern yang terlanjur sebelumnya didominasi laki- laki, kini harus diubah karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak ada alasan seorang perempuan tidak bisa menjadi astronot, dokter dan profesi lainnya sesuai pembagian kerja masyarakat industri dalam sistem ekonomi dan sosial liberal. Perempuan yang sekedar berada di rumah, hanyalah hegemoni yang coba dipertahankan oleh sistem masyarakat patriarkhi. Penyele- sai an kaum feminis liberal terhadap problem perempuan adalah dengan meningkatkan semakin banyak perempuan dalam posisi- posisi penting kebijakan. Dominasi pria dalam bisnis dan media massa misalnya harus diimbangi oleh jumlah perempuan dalam institusi-institusi tersebut. Cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh pesaingan bebas adalah titik tolak permasalahannya. Feminis liberal memegang anggapan bahwa masalah keterbelakangan kaum perempuan itu terletak pada diri kaum perempuan sendiri. b. Feminisme Radikal b. Feminisme Radikal Trend ini muncul sejak pertengahan 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi ”perjuangan separatisme perempuan”. Feminisme radikal mula-mula muncul di Amerika Serikast pada 1967 ketika dibentuk Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok feminisme radikal dengan membentuk Women’s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan Women’s Lib. 50 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 51 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Pembagian kerja secara sexual dalam masyarakat kapitalis dianggap sebagai penyebab diskriminasi terhadap kaum perempuan. Mengacu pada karya Friederich Engels, The Origins of the Family, Private Property and State (1884), para penganut aliran ini melihat bahwa penindasan perempuan diawali oleh diperkenalkannya kepemilikan pribadi dalam masyarakat. Masyarakat kapitalis ditandai oleh pembedaan antara ”rumah” dan ”tempat bekerja” (pabrik). Ini paralel artinya dengan ”wilayah publik” dan ”wilayah pribadi”. Menurut Engels, dalam masyarakat pra industrial, meskipun masih bersifat patriarkal, ”woman’s work” (pekerjaan perempuan) yang menyiapkan kebutuhan hidup sehari-hari dianggap sama pentingnya dengan pekerjaan lelaki. Akan tetapi setelah kedatangan industralisasi dan kapitalisme, produksi telah ditransfer dari rumah ke pabrik. Pada saat itulah proses produksi menjadi seolah-olah dianggap dasar dari dunia yang bebas. Melalui proses perubahan segala sesuatu yang dianggap bermanfaat dan perubahan hakikat manusia ke dalam wilayah publik, serta valorization (pengutamaan) produksi diatas reproduksi, maka kaum perempuan dihargai sekedar seperti halnya benda milik pribadi kaum lelaki. Tidak seperti feminisme Liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat ”sukses” untuk sejumlah kecil perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah 19. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang 19 Engels, F., The Origin of The Family, Private Property and the State, Foreign Languages Press, Peking 1978. ekstrem. Mereka juga melihat jenis kelamin laki-laki sebagai bagian dari permasalahan. Penguasaan fi sik perempuan oleh laki- laki seperti dalam hubungan seksual adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Revolusi (perubahan atas situasi ini) terjadi hanya kalau setiap perempuan telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Dengan begitu, tak jarang, para penganut aliran ini memilih untuk tidak menikah sebagai konsekuensinya. Orientasi sexual semacam lesbian misalnya ikut menjadi counter aksi atas penindasan laki-laki. c. Feminisme Sosialis c. Feminisme Sosialis Sebuah faham yang berpendapat ”Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan17. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas isteri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.18 d. Feminisme Marxis d. Feminisme Marxis Mengikuti Marx dan Engels, feminisme Marxis menganggap penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Ciri khas aliran ini adalah persoalan perempuan 17 Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature, Brighton, Harverster 1983. 18 Rendakk, Jane, The Origins if Modern Feminism: Women in Britain, France and the United States (1780-1860), London 1990. 50 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 51 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Pembagian kerja secara sexual dalam masyarakat kapitalis dianggap sebagai penyebab diskriminasi terhadap kaum perempuan. Mengacu pada karya Friederich Engels, The Origins of the Family, Private Property and State (1884), para penganut aliran ini melihat bahwa penindasan perempuan diawali oleh diperkenalkannya kepemilikan pribadi dalam masyarakat. Masyarakat kapitalis ditandai oleh pembedaan antara ”rumah” dan ”tempat bekerja” (pabrik). Ini paralel artinya dengan ”wilayah publik” dan ”wilayah pribadi”. Menurut Engels, dalam masyarakat pra industrial, meskipun masih bersifat patriarkal, ”woman’s work” (pekerjaan perempuan) yang menyiapkan kebutuhan hidup sehari-hari dianggap sama pentingnya dengan pekerjaan lelaki. Akan tetapi setelah kedatangan industralisasi dan kapitalisme, produksi telah ditransfer dari rumah ke pabrik. Pada saat itulah proses produksi menjadi seolah-olah dianggap dasar dari dunia yang bebas. Melalui proses perubahan segala sesuatu yang dianggap bermanfaat dan perubahan hakikat manusia ke dalam wilayah publik, serta valorization (pengutamaan) produksi diatas reproduksi, maka kaum perempuan dihargai sekedar seperti halnya benda milik pribadi kaum lelaki. Tidak seperti feminisme Liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat ”sukses” untuk sejumlah kecil perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah 19. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang 19 Engels, F., The Origin of The Family, Private Property and the State, Foreign Languages Press, Peking 1978. ekstrem. Mereka juga melihat jenis kelamin laki-laki sebagai bagian dari permasalahan. Penguasaan fi sik perempuan oleh laki- laki seperti dalam hubungan seksual adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Revolusi (perubahan atas situasi ini) terjadi hanya kalau setiap perempuan telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Dengan begitu, tak jarang, para penganut aliran ini memilih untuk tidak menikah sebagai konsekuensinya. Orientasi sexual semacam lesbian misalnya ikut menjadi counter aksi atas penindasan laki-laki. c. Feminisme Sosialis c. Feminisme Sosialis Sebuah faham yang berpendapat ”Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan17. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas isteri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.18 d. Feminisme Marxis d. Feminisme Marxis Mengikuti Marx dan Engels, feminisme Marxis menganggap penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Ciri khas aliran ini adalah persoalan perempuan 17 Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature, Brighton, Harverster 1983. 18 Rendakk, Jane, The Origins if Modern Feminism: Women in Britain, France and the United States (1780-1860), London 1990. 52 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 53 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional memacu kaum perempuan untuk berjuang memperbaiki status, peranan dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Penolakan terhadap masuknya perempuan dalam bidang profesi dan pekerjaan, lebih disebabkan karena dia seorang perempuan, bukan karena kemampuannya yang kurang dari kaum laki-laki. Kondisi semacam ini terjadi karena adanya citra baku (stereotype) mengenai perempuan dan laki-laki, dimana masyarakat menempatkan perempuan lebih banyak kepada peran dalam sektor domestik (rumah tangga) dan laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif (bukan reproduktif) untuk menopang ekonomi rumah tangga. Karena pembakuan peran inilah maka laki-laki lebih diutamakan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan dibandingkan kaum perempuan. Dalam memandang perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender, Edward Wilson dari Harvard University (1975) mengemukakan dua kelompok besar konsep yaitu: konsep nurture (konstruksi sosial budaya) dan konsep nature (alamiah). a. Konsep/Aliran a. Konsep/Aliran Nurture Nurture Perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya yang menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial ini menempatkan laki-laki dan perempuan dalam perbedaan kelas, kelas borjuis untuk laki-laki dan kelas proletar untuk kaum perempuan. berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan dalam kapitalisme. Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup- kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah, keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal. Gerakan-gerakan feminisme dengan berbagai variannya terse- but mempengaruhi sikap hidup perempuan di dunia bahkan hingga ke Indonesia. Pengaruh ini sangat kuat sehingga banyak perempuan Indonesia menyadari bahwa meningkatkan kemampuan diri sangat penting untuk keluar dari ketidakadilan gender. 2. Teori Kesetaraan Gender 2. Teori Kesetaraan Gender Masalah kesetaraan dan keadilan gender tidak dapat dipisahkan dari proses perjuangan hak-hak asasi manusia PBB tahun 1948. Pada tahap awal hak-hak asasi manusia hanya menekankan pada pentingnya perlindungan terhadap hak-hak individu setiap warga negara dalam hidup berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Titik perhatian tahap pertama lebih kepada hak-hak politik, yang selanjutnya sesuai perkembangan zaman meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya seseorang. Ketidak adilan dirasakan sebagai diskriminasi yang menem- patkan perempuan dalam status di belakang kaum laki-laki telah 52 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 53 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional memacu kaum perempuan untuk berjuang memperbaiki status, peranan dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Penolakan terhadap masuknya perempuan dalam bidang profesi dan pekerjaan, lebih disebabkan karena dia seorang perempuan, bukan karena kemampuannya yang kurang dari kaum laki-laki. Kondisi semacam ini terjadi karena adanya citra baku (stereotype) mengenai perempuan dan laki-laki, dimana masyarakat menempatkan perempuan lebih banyak kepada peran dalam sektor domestik (rumah tangga) dan laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif (bukan reproduktif) untuk menopang ekonomi rumah tangga. Karena pembakuan peran inilah maka laki-laki lebih diutamakan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan dibandingkan kaum perempuan. Dalam memandang perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender, Edward Wilson dari Harvard University (1975) mengemukakan dua kelompok besar konsep yaitu: konsep nurture (konstruksi sosial budaya) dan konsep nature (alamiah). a. Konsep/Aliran a. Konsep/Aliran Nurture Nurture Perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya yang menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial ini menempatkan laki-laki dan perempuan dalam perbedaan kelas, kelas borjuis untuk laki-laki dan kelas proletar untuk kaum perempuan. berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan dalam kapitalisme. Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup- kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah, keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal. Gerakan-gerakan feminisme dengan berbagai variannya terse- but mempengaruhi sikap hidup perempuan di dunia bahkan hingga ke Indonesia. Pengaruh ini sangat kuat sehingga banyak perempuan Indonesia menyadari bahwa meningkatkan kemampuan diri sangat penting untuk keluar dari ketidakadilan gender. 2. Teori Kesetaraan Gender 2. Teori Kesetaraan Gender Masalah kesetaraan dan keadilan gender tidak dapat dipisahkan dari proses perjuangan hak-hak asasi manusia PBB tahun 1948. Pada tahap awal hak-hak asasi manusia hanya menekankan pada pentingnya perlindungan terhadap hak-hak individu setiap warga negara dalam hidup berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Titik perhatian tahap pertama lebih kepada hak-hak politik, yang selanjutnya sesuai perkembangan zaman meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya seseorang. Ketidak adilan dirasakan sebagai diskriminasi yang menem- patkan perempuan dalam status di belakang kaum laki-laki telah 54 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 55 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum laki-laki dan perempuan, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karena itu penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan matematis (quota) dan tidak bersifat universal. Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan saling mengisi yang dapat diwujudkan melalui strategi pengarus- utamaan gender (gender mainstreaming), yaitu strategi untuk menyeimbangkan peranan, kedudukan, dan status antara laki-laki dan perempuan, mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemanfaatan hasil pembangunan melalui gerakan dan pelatihan. Dalam dekade yang lalu sejumlah pendekatan pelatihan yang berbeda telah dikembangkan dan menghasilkan strategi- strategi dan teknik-teknik pelatihan yang berbeda. Dari berbagai pendekatan, tiga pendekatan muncul sebagai pendekatan- pendekatan yang dominan. Pelatihan analisis gender, pertama kali dikembangkan tahun 1980 oleh Chaterine Overholt, Mary Anderson, dan Kathleen Cloud dari Harvard dan karenanya juga disebut ”Pendekatan Harvard”. Pendekatan ini merupakan suatu alat diagnosis yang didasarkan pada analisis gender. Ia terdiri dari kerangka kerja analitis rangkap tiga yang secara berurutan mempermasalahkan pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki serta perbedaan akses dan penguasaan mereka terhadap sumber-sumber kehidupan. Tujuannya adalah melatih peserta agar mampu menggunakan analisis gender sebagai peralatan dalam tugas mereka. Pendekatan kedua, yang muncul pada akhir tahun Perjuangan persamaan ini dipelopori oleh kaum feminis internasional yang cenderung mengejar kesamaan kuantitas/ jumlah atau kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat. Perjuangan ini mendapat hambatan baik nilai agama maupun budaya, sehingga metode perjuangannya menggunakan pendekatan sosial konfl ik. Konsep sosial kon fl ik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). b. Konsep/Aliran Nature b. Konsep/Aliran Nature Aliran ini menerima perbedaan kodrat biologis secara alamiah antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture lalu beralih ke aliran nature. Pendekatan nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Untuk mengejar ketertinggalannya maka dikembangkan konsep pemberdayaan perempuan ( women empowerment), suatu program khusus ( affi rmative action) untuk memperbaiki posisi dan kondisi kaum perempuan. c. Aliran Keseimbangan ( c. Aliran Keseimbangan (Equilibrium Equilibrium) ) Di samping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan 54 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 55 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum laki-laki dan perempuan, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karena itu penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan matematis (quota) dan tidak bersifat universal. Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan saling mengisi yang dapat diwujudkan melalui strategi pengarus- utamaan gender (gender mainstreaming), yaitu strategi untuk menyeimbangkan peranan, kedudukan, dan status antara laki-laki dan perempuan, mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemanfaatan hasil pembangunan melalui gerakan dan pelatihan. Dalam dekade yang lalu sejumlah pendekatan pelatihan yang berbeda telah dikembangkan dan menghasilkan strategi- strategi dan teknik-teknik pelatihan yang berbeda. Dari berbagai pendekatan, tiga pendekatan muncul sebagai pendekatan- pendekatan yang dominan. Pelatihan analisis gender, pertama kali dikembangkan tahun 1980 oleh Chaterine Overholt, Mary Anderson, dan Kathleen Cloud dari Harvard dan karenanya juga disebut ”Pendekatan Harvard”. Pendekatan ini merupakan suatu alat diagnosis yang didasarkan pada analisis gender. Ia terdiri dari kerangka kerja analitis rangkap tiga yang secara berurutan mempermasalahkan pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki serta perbedaan akses dan penguasaan mereka terhadap sumber-sumber kehidupan. Tujuannya adalah melatih peserta agar mampu menggunakan analisis gender sebagai peralatan dalam tugas mereka. Pendekatan kedua, yang muncul pada akhir tahun Perjuangan persamaan ini dipelopori oleh kaum feminis internasional yang cenderung mengejar kesamaan kuantitas/ jumlah atau kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat. Perjuangan ini mendapat hambatan baik nilai agama maupun budaya, sehingga metode perjuangannya menggunakan pendekatan sosial konfl ik. Konsep sosial kon fl ik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). b. Konsep/Aliran Nature b. Konsep/Aliran Nature Aliran ini menerima perbedaan kodrat biologis secara alamiah antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture lalu beralih ke aliran nature. Pendekatan nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Untuk mengejar ketertinggalannya maka dikembangkan konsep pemberdayaan perempuan ( women empowerment), suatu program khusus ( affi rmative action) untuk memperbaiki posisi dan kondisi kaum perempuan. c. Aliran Keseimbangan ( c. Aliran Keseimbangan (Equilibrium Equilibrium) ) Di samping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan 56 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 57 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Ada dua bentuk yaitu Instrumental Rationality dimana akal budi yang menjadi instrument untuk memenuhi kepentingan- kepentingan pribadi dan kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi dari akal budi praktis dari orang per orang. Hal kedua ini melekat pada prosedur yang mengawasi orang-orang yang menggunakan akal budi untuk kepentingan pribadinya untuk mencapai suatu konsep keadilan atau kebaikan yang universal. Di sini terlihat ada suatu prosedur yang menjamin tercapainya kebaikan yang universal, dengan prosedur yang mengawasi orang per orang ini akan menghasilkan public conception of justice. Ada beberapa basic assumption agar dalam masyarakat bekerja sama dalam kondisi Fair, pertama, anggota masyarakat tidak memandang tatanan sosial masyarakat tidak berubah. Masyarakat harus menuju keadilan, sehingga masyarakat terbuka pada perubahan, terutama perubahan struktur sosial. Kedua, kerjasama dibedakan dengan aktifi tas yang terkoordinasi hal ini dapat dilihat dari: a. Bentuk kerjasama selalu berpijak pada keadilan sedangkan coordinated activity berpijak pada efektifi tas/ efi siensi; b. Kerjasama ( organizing principle ) aturan dibuat untuk mengatur anggota-anggotanya (mengikat, mengatur kepentingan-kepentingan anggota) sedangkan dalam coordinated activity aturan dibuat untuk kepentingan yang membuat aturan; c. Dalam kerjasama ( organizing principle) harus sah secara publik (harus disepakati oleh partisipan) sedangkan dalam coordinated activity tidak ada organisasi, aturan tidak harus sah secara publik. 80-an adalah Pelatihan Perencanaan gender yang dikembangkan oleh Caroline Moser di London. Basis dari pendekatan ini adalah perencanaan dan bukan analisis. Tujuan pelatihan adalah memberikan peralatan, tidak hanya untuk analisis suatu situasi yang responsif gender tapi juga terjemahannya ke dalam intervensi khusus yang berupa praktek perencanaan. Dinamika gender adalah yang ketiga, dan merupakan pendekatan pelatihan yang sangat berbeda. Pendekatan ini utamanya datang dari pengalaman pelatihan organisasi masyarakat akar-rumput di negara-negara Dunia Ketiga. Filipina memiliki banyak pengalaman dengan pendekatan ini. Dinamika gender adalah pelatihan penumbuhan kesadaran untuk mengidentifi kasikan bias gender. 3. Teori Keadilan 3. Teori Keadilan Rawls mengemukakan suatu ide dalam bukunya A Theory of Justice bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur berfi kir untuk menghasilkan keadilan. Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat tentang Equal Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right dikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu di ff erent principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jik tidak merampas hak dasar manusia. 56 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 57 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Ada dua bentuk yaitu Instrumental Rationality dimana akal budi yang menjadi instrument untuk memenuhi kepentingan- kepentingan pribadi dan kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi dari akal budi praktis dari orang per orang. Hal kedua ini melekat pada prosedur yang mengawasi orang-orang yang menggunakan akal budi untuk kepentingan pribadinya untuk mencapai suatu konsep keadilan atau kebaikan yang universal. Di sini terlihat ada suatu prosedur yang menjamin tercapainya kebaikan yang universal, dengan prosedur yang mengawasi orang per orang ini akan menghasilkan public conception of justice. Ada beberapa basic assumption agar dalam masyarakat bekerja sama dalam kondisi Fair, pertama, anggota masyarakat tidak memandang tatanan sosial masyarakat tidak berubah. Masyarakat harus menuju keadilan, sehingga masyarakat terbuka pada perubahan, terutama perubahan struktur sosial. Kedua, kerjasama dibedakan dengan aktifi tas yang terkoordinasi hal ini dapat dilihat dari: a. Bentuk kerjasama selalu berpijak pada keadilan sedangkan coordinated activity berpijak pada efektifi tas/ efi siensi; b. Kerjasama ( organizing principle ) aturan dibuat untuk mengatur anggota-anggotanya (mengikat, mengatur kepentingan-kepentingan anggota) sedangkan dalam coordinated activity aturan dibuat untuk kepentingan yang membuat aturan; c. Dalam kerjasama ( organizing principle) harus sah secara publik (harus disepakati oleh partisipan) sedangkan dalam coordinated activity tidak ada organisasi, aturan tidak harus sah secara publik. 80-an adalah Pelatihan Perencanaan gender yang dikembangkan oleh Caroline Moser di London. Basis dari pendekatan ini adalah perencanaan dan bukan analisis. Tujuan pelatihan adalah memberikan peralatan, tidak hanya untuk analisis suatu situasi yang responsif gender tapi juga terjemahannya ke dalam intervensi khusus yang berupa praktek perencanaan. Dinamika gender adalah yang ketiga, dan merupakan pendekatan pelatihan yang sangat berbeda. Pendekatan ini utamanya datang dari pengalaman pelatihan organisasi masyarakat akar-rumput di negara-negara Dunia Ketiga. Filipina memiliki banyak pengalaman dengan pendekatan ini. Dinamika gender adalah pelatihan penumbuhan kesadaran untuk mengidentifi kasikan bias gender. 3. Teori Keadilan 3. Teori Keadilan Rawls mengemukakan suatu ide dalam bukunya A Theory of Justice bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur berfi kir untuk menghasilkan keadilan. Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat tentang Equal Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right dikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu di ff erent principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jik tidak merampas hak dasar manusia. 58 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 59 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB III HASIL PENELITIAN HASIL PENELITIAN A. Pengantar A. Pengantar Hukum nasional telah mengatur secara khusus mengenai perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berikut peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-Undang Perkawinan ini tidak hanya menjadi dasar, asas dan syarat-syarat legalitas sebuah perkawinan di Indonesia namun juga diharapkan dapat menjamin hak-hak semua pihak yang terikat dalam perkawinan tersebut, baik suami, isteri maupun anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Faktanya, perempuan dan anak adalah kelompok yang rentan mengalami pelanggaran HAM, termasuk dalam sebuah perkawinan. Hal ini disebabkan karena banyaknya bukti empiris yang menyebutkan bahwa kelompok rentan ini telah mengalami berbagai diskriminasi, marginalisasi, bahkan kekerasan termasuk di dalam rumah tangga yang terbentuk akibat sebuah perkawinan. Studi ini meneliti bagaimana Undang-Undang Perkawinan dalam implementasinya dapat melindungi perempuan dan anak Ketiga, gagasan kerjasama yang fair mengandaikan kebaikan akan keuntungan partisipan (partisipan punya gagasan sendiri dan bertemu dengan gagasan lainnya dengan cara rasionalitas) bukan masing-masing pihak melepaskan kepentingan tapi masing-masing ingin punya keuntungan yang rasional (karena ingin mendapatkan untung maka ada kerjasama, kalau saling mengalah tidak akan tercapai kerjasama) Resiprositas dalam kerjasama yang fair mempunyai arti bukan meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama dan juga bukan merumuskan aturan berdasarkan kekinian dan ekspektasinya. 58 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 59 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB III HASIL PENELITIAN HASIL PENELITIAN A. Pengantar A. Pengantar Hukum nasional telah mengatur secara khusus mengenai perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berikut peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-Undang Perkawinan ini tidak hanya menjadi dasar, asas dan syarat-syarat legalitas sebuah perkawinan di Indonesia namun juga diharapkan dapat menjamin hak-hak semua pihak yang terikat dalam perkawinan tersebut, baik suami, isteri maupun anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Faktanya, perempuan dan anak adalah kelompok yang rentan mengalami pelanggaran HAM, termasuk dalam sebuah perkawinan. Hal ini disebabkan karena banyaknya bukti empiris yang menyebutkan bahwa kelompok rentan ini telah mengalami berbagai diskriminasi, marginalisasi, bahkan kekerasan termasuk di dalam rumah tangga yang terbentuk akibat sebuah perkawinan. Studi ini meneliti bagaimana Undang-Undang Perkawinan dalam implementasinya dapat melindungi perempuan dan anak Ketiga, gagasan kerjasama yang fair mengandaikan kebaikan akan keuntungan partisipan (partisipan punya gagasan sendiri dan bertemu dengan gagasan lainnya dengan cara rasionalitas) bukan masing-masing pihak melepaskan kepentingan tapi masing-masing ingin punya keuntungan yang rasional (karena ingin mendapatkan untung maka ada kerjasama, kalau saling mengalah tidak akan tercapai kerjasama) Resiprositas dalam kerjasama yang fair mempunyai arti bukan meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama dan juga bukan merumuskan aturan berdasarkan kekinian dan ekspektasinya. 60 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 61 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Syarat legalitas perkawinan ini dipraktekkan di Indonesia dengan mengesahkan perkawinan sesuai dengan salah satu agama yang dianut oleh calon suami atau calon istri. Agama yang dianutpun sesuai dengan ketentuan 6 (enam) agama resmi yang terdaftar di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Terkait mengenai legalitas perkawinan melalui pencatatan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian Tata Cara Perkawinan Pasal 11 sebagai berikut: (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. C. Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan C. Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Menurut Adat dan Kepercayaan Menurut Adat dan Kepercayaan Sebagaimana telah disebutkan bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah: 1. Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka- winan; 3. Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; yang rentan mengalami pelanggaran HAM tersebut dan bagaimana hak-hak mereka dipenuhi. Berbagai hasil penelitian dan studi- studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang seharusnya dapat melindungi kepentingan warga negara yang rentan terdiskriminasi melalui perlindungan perempuan dan anak dalam perkawinan, dalam prakteknya sangat sulit untuk diimplementasikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kenyataan bahwa dalam Undang-Undang ini masih terdapat sejumlah norma hukum yang cenderung melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, mengabaikan fakta keberagaman di tanah air, dan menjauhkan perempuan dari haknya untuk mendapatkan perlakuan sama di depan hukum. Sebagai contoh terkait pembedaan posisi dan peran perempuan dalam rumah tangga berhadapan dengan suami yang ditetapkan sebagai kepala rumah tangga; diijinkannya perkawinan usia anak; pembedaan batasan usia kawin bagi perempuan lebih muda dari laki-laki; dan dibukanya peluang untuk poligami. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya implementasi Undang-Undang Perkawinan ini dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak, salah satunya adalah terkait dengan masalah legalitas perkawinan. B. Permasalahan Legalitas Perkawinan B. Permasalahan Legalitas Perkawinan Aturan mengenai legalitas perkawinan diatur dalam dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut. (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 60 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 61 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Syarat legalitas perkawinan ini dipraktekkan di Indonesia dengan mengesahkan perkawinan sesuai dengan salah satu agama yang dianut oleh calon suami atau calon istri. Agama yang dianutpun sesuai dengan ketentuan 6 (enam) agama resmi yang terdaftar di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Terkait mengenai legalitas perkawinan melalui pencatatan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagian Tata Cara Perkawinan Pasal 11 sebagai berikut: (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. C. Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan C. Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Menurut Adat dan Kepercayaan Menurut Adat dan Kepercayaan Sebagaimana telah disebutkan bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah: 1. Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka- winan; 3. Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; yang rentan mengalami pelanggaran HAM tersebut dan bagaimana hak-hak mereka dipenuhi. Berbagai hasil penelitian dan studi- studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang seharusnya dapat melindungi kepentingan warga negara yang rentan terdiskriminasi melalui perlindungan perempuan dan anak dalam perkawinan, dalam prakteknya sangat sulit untuk diimplementasikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kenyataan bahwa dalam Undang-Undang ini masih terdapat sejumlah norma hukum yang cenderung melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, mengabaikan fakta keberagaman di tanah air, dan menjauhkan perempuan dari haknya untuk mendapatkan perlakuan sama di depan hukum. Sebagai contoh terkait pembedaan posisi dan peran perempuan dalam rumah tangga berhadapan dengan suami yang ditetapkan sebagai kepala rumah tangga; diijinkannya perkawinan usia anak; pembedaan batasan usia kawin bagi perempuan lebih muda dari laki-laki; dan dibukanya peluang untuk poligami. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya implementasi Undang-Undang Perkawinan ini dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak, salah satunya adalah terkait dengan masalah legalitas perkawinan. B. Permasalahan Legalitas Perkawinan B. Permasalahan Legalitas Perkawinan Aturan mengenai legalitas perkawinan diatur dalam dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut. (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 62 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 63 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya. Dalam memahami perkawinan beda agama menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada tiga penafsiran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada Pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti Pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.20 Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan 20 Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafi z Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996, h. 17-18 4. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada Pasal 40 point c dinyatakan bahwa ”dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.” Kemudian dalam Pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan Pasal 2 ayat (1) beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya. Dalam Kompilasi Hukum Islam telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama. Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang- undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama. Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 2 ayat (1), bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum 62 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 63 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya. Dalam memahami perkawinan beda agama menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada tiga penafsiran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada Pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti Pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.20 Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan 20 Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafi z Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996, h. 17-18 4. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada Pasal 40 point c dinyatakan bahwa ”dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.” Kemudian dalam Pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan Pasal 2 ayat (1) beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya. Dalam Kompilasi Hukum Islam telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama. Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang- undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama. Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 2 ayat (1), bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum 64 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 65 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional sehingga kantor Catatan Sipil tidak dapat mencatat perkawinan dengan alasan hukum agama dan kepercayaan yang tidak jelas. Hal ini tentu menjadi fakta yang cukup memprihatinkan mengingat aliran kepercayaan di berbagai wilayah Indonesia masih banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat. Data yang paling signifi kan terkait keberadaan berbagai aliran kepercayaan ditemukan oleh tim peneliti di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan penjelasan Kepala Bidang Kepercayaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah (Rahardjo), menyatakan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, anggota penganut kepercayaan berjumlah 188.116 orang. Sebagaimana di bawah ini (Tabel 2 Data Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa Se-Jawa tengah). sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa legalitas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menimbulkan banyak kendala di Indonesia. Kendala pertama adalah terkait hukum agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan yang kedua adalah terkait pencatatan perkawinan. Perkawinan di Indonesia mewajibkan sahnya perkawinan jika menurut satu agama saja, sehingga dalam prakteknya tidak dimungkinkan untuk menikah bagi pasangan yang berbeda agama. Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui perkawinan merupakan hak pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akta perkawinannya. Namun sayangnya, realitas yang ada tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Dalam penelitian di lapangan juga ditemukan kendala terkait perkawinan menurut adat dan kepercayaan yang tidak bisa disahkan oleh negara. Khususnya yang berkenaan dengan Pasal 57 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil seringkali ditolak. Fakta ini ditemukan di hampir semua lokasi penelitian, baik Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat maupun Papua. Ada beberapa kepercayaan yang belum didaftar oleh pemerintah 64 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 65 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional sehingga kantor Catatan Sipil tidak dapat mencatat perkawinan dengan alasan hukum agama dan kepercayaan yang tidak jelas. Hal ini tentu menjadi fakta yang cukup memprihatinkan mengingat aliran kepercayaan di berbagai wilayah Indonesia masih banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat. Data yang paling signifi kan terkait keberadaan berbagai aliran kepercayaan ditemukan oleh tim peneliti di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan penjelasan Kepala Bidang Kepercayaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah (Rahardjo), menyatakan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, anggota penganut kepercayaan berjumlah 188.116 orang. Sebagaimana di bawah ini (Tabel 2 Data Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa Se-Jawa tengah). sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa legalitas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menimbulkan banyak kendala di Indonesia. Kendala pertama adalah terkait hukum agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan yang kedua adalah terkait pencatatan perkawinan. Perkawinan di Indonesia mewajibkan sahnya perkawinan jika menurut satu agama saja, sehingga dalam prakteknya tidak dimungkinkan untuk menikah bagi pasangan yang berbeda agama. Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui perkawinan merupakan hak pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akta perkawinannya. Namun sayangnya, realitas yang ada tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Dalam penelitian di lapangan juga ditemukan kendala terkait perkawinan menurut adat dan kepercayaan yang tidak bisa disahkan oleh negara. Khususnya yang berkenaan dengan Pasal 57 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil seringkali ditolak. Fakta ini ditemukan di hampir semua lokasi penelitian, baik Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat maupun Papua. Ada beberapa kepercayaan yang belum didaftar oleh pemerintah 66 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 67 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 12 Paguyuban Warga Theosofi Indonesia (PERWATHIN) Jl. Gayam 10 Wonodri Kec. Semarang Selatan S/K: Tjondro Prasodjo/Coni Sri Mayawati 20 13 Gunung Damar Jl. Jatingaleh Jatiluhur 273 RT 01/RW IV Ngesrep, Gayamsari Semarang S/K: Hartami/ Yusuf Sugio 300 14 SUBUD Jl. Lempongsari Timur II 54 RT 04/RW 04 Gajahmungkur, Semarang S/K: Soediyoto/ Purnomo Wahyu Adi 250 15 PERSADA Jl. Karaggawang Baru RT 07/ RW VI Tandang, Tembalang, Semarang K: Martin Martono 25 16 Ngudi Utomo Bakoh Pujihanto, Jl. Purwosari RT 02/RW III Tambakrejo, Gayamsari, Semarang S/K: Agustinur Gulung/ Samiono 60 17 Perguruan Trijaya Bp. Harto, Jl. Candi Pawon VI/11A Panjangan Semarang K: Edi mintono 25 18 Pangestu Jl. Mugas Barat X 16 Semarang S/K: Suroso/ Sunaryo Hadik 700 19 Pag. Anggayuh Ketentreman Urip (AKU) Jl. Satriya Selatan V/A 362A Smg S:Bambang Hudi 5 20 Kapribaden Jl. Mahesa Selatan III C-1 Semarang S: Senarto 100 21 Badan Kebatinan Indonesia Jl. Tegalsari 118 B Semarang S/K: Hj. Yuni Pudji Rahayu R. Moh Benady, SE/ Drs. H. Woeryono, MM. MBA. 100 22 Kalima Husada Rasa Sejati Jl. Karangaingas Barat 14 RT 04/RW V Siwalan, Gayamsari S: Hardjosuwito 200 23 Pag. Merah Putih Jl. Cokrokusumo RT 08/ RW 05 K: Suwarno Tabel 2 DATA ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA SE-JAWA TENGAH TAHUN 2010 NO. NAMA ORGANISASI ALAMAT SEKRETARIAT NAMA PENGURUS JUMLAH ANGGOTA 1 KOTA SEMARANG: 1 Manengku Jl. Mahesa Raya 1 P: Andaryoko Wisnu Prbu 2.000 2 PERSADA Jl. Tmn Srinindito III Simongan K: Martin Martono 3.000 3 Tri Tunggal Bayu Jl. Mugas Dalam XII/7 K: Moelyono 38 4 Ngudi Utomo Jl. Gayamsari V/126 K: Riyanto Prasetyo 160 Jl. Purwosari RT 02/RW XIII Tambakrejo, Gayamsari K: Samiono 60 5 PARABA Jl. Sendang Utara 4/11 P: Slamet Siswadi 72 6 AKU Jl. Satriya Selatan V/A 362A Smg Sek: Bowo Hadiyanto 60 7 Paguyuban Noormanto Jl. Tegalsari 185 K: Noor Edy Bintoro 7.326 8 Aliran Kebatinan Perjalanan Ngesrep Barat IV 30 RT 08/X Srondol Kulon K: Suwahyo 139 9 Badan Keluarga Kebatinan Wisnu Jl. Gajah Raya 54 Semarang S: S. Hadisumanto 4.000 10 Perjalanan Tri Luhur Jl. R. Patah Kp. Demang 135- 136 Semarang S: Djoko Sutowo 50 11 Paguyuban Sumarah Jl. Pamularsih Barat III/7 Semarang K: Susi Wiyanto 20 66 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 67 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 12 Paguyuban Warga Theosofi Indonesia (PERWATHIN) Jl. Gayam 10 Wonodri Kec. Semarang Selatan S/K: Tjondro Prasodjo/Coni Sri Mayawati 20 13 Gunung Damar Jl. Jatingaleh Jatiluhur 273 RT 01/RW IV Ngesrep, Gayamsari Semarang S/K: Hartami/ Yusuf Sugio 300 14 SUBUD Jl. Lempongsari Timur II 54 RT 04/RW 04 Gajahmungkur, Semarang S/K: Soediyoto/ Purnomo Wahyu Adi 250 15 PERSADA Jl. Karaggawang Baru RT 07/ RW VI Tandang, Tembalang, Semarang K: Martin Martono 25 16 Ngudi Utomo Bakoh Pujihanto, Jl. Purwosari RT 02/RW III Tambakrejo, Gayamsari, Semarang S/K: Agustinur Gulung/ Samiono 60 17 Perguruan Trijaya Bp. Harto, Jl. Candi Pawon VI/11A Panjangan Semarang K: Edi mintono 25 18 Pangestu Jl. Mugas Barat X 16 Semarang S/K: Suroso/ Sunaryo Hadik 700 19 Pag. Anggayuh Ketentreman Urip (AKU) Jl. Satriya Selatan V/A 362A Smg S:Bambang Hudi 5 20 Kapribaden Jl. Mahesa Selatan III C-1 Semarang S: Senarto 100 21 Badan Kebatinan Indonesia Jl. Tegalsari 118 B Semarang S/K: Hj. Yuni Pudji Rahayu R. Moh Benady, SE/ Drs. H. Woeryono, MM. MBA. 100 22 Kalima Husada Rasa Sejati Jl. Karangaingas Barat 14 RT 04/RW V Siwalan, Gayamsari S: Hardjosuwito 200 23 Pag. Merah Putih Jl. Cokrokusumo RT 08/ RW 05 K: Suwarno Tabel 2 DATA ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA SE-JAWA TENGAH TAHUN 2010 NO. NAMA ORGANISASI ALAMAT SEKRETARIAT NAMA PENGURUS JUMLAH ANGGOTA 1 KOTA SEMARANG: 1 Manengku Jl. Mahesa Raya 1 P: Andaryoko Wisnu Prbu 2.000 2 PERSADA Jl. Tmn Srinindito III Simongan K: Martin Martono 3.000 3 Tri Tunggal Bayu Jl. Mugas Dalam XII/7 K: Moelyono 38 4 Ngudi Utomo Jl. Gayamsari V/126 K: Riyanto Prasetyo 160 Jl. Purwosari RT 02/RW XIII Tambakrejo, Gayamsari K: Samiono 60 5 PARABA Jl. Sendang Utara 4/11 P: Slamet Siswadi 72 6 AKU Jl. Satriya Selatan V/A 362A Smg Sek: Bowo Hadiyanto 60 7 Paguyuban Noormanto Jl. Tegalsari 185 K: Noor Edy Bintoro 7.326 8 Aliran Kebatinan Perjalanan Ngesrep Barat IV 30 RT 08/X Srondol Kulon K: Suwahyo 139 9 Badan Keluarga Kebatinan Wisnu Jl. Gajah Raya 54 Semarang S: S. Hadisumanto 4.000 10 Perjalanan Tri Luhur Jl. R. Patah Kp. Demang 135- 136 Semarang S: Djoko Sutowo 50 11 Paguyuban Sumarah Jl. Pamularsih Barat III/7 Semarang K: Susi Wiyanto 20 68 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 69 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Karanglo, Kenteng, Bandungan K: Santoso 150 Ngonto, Candi, Bandungan K: Abadi 20 Gintungan, Bandungan K: Pono 80 Gondangsari, Mendongan, Sumowono K: Soewito Hendri Hoesodo Bumen, Sumowono K: Soewito Hendri Hoesodo 150 Glatak, Jembrak, Pabelan K: Soeharno, BA 234 Butuh, Tengaran K: Rusmin 25 Ngancah, Kaliwungu K: Supangat 2 6 PERSADA Krajan, Susukan, Ungaran K: Waiman Randugunting, Bergas K: Ngadiman 55 Ngempon, Begas K: Marsidi 13 Derekan, Pringapus K: Suharti 10 Glodogan, Harjosari K: Sundari 100 Kupang Lor, Kupang, Ambarawa K: Suginem 50 Tambakrejo, Tambakboyo, Ambarawa K: Suwatno 53 Warunglanang, Lodoyong, Ambarawa K: Darmo S 95 Ngablak, Candi, Bandungan K: Pajan Blater, Jimbaran, Bandungan K: Suharno Piyoto, Bandungan K: Sudarwanto 128 Candi, Candingaron, Sumowono K: Budi 225 24 Sodo Sewu Jl. Koala Mas IV/176 K: Bambang Darmono Jumlah 18.710 2 KABUPATEN SEMARANG: 1 Esa Tunggal Sejati Bogo, Timpik, Susukan K: Suparto K 480 Tanuboyo, Duren, Tengaran K: Sarmin Ismanto 101 Koripan, Susukan K: Maryono 28 Kragonan RT 06/06 Kenteng, Susukan K: Maryono 28 2 PRABU Barukan, Tengaran P: Ki Adi Samidi 300 Candi, Bandungan K: Sumarno 25 Patemon, Tengaran K: Warno 101 Dukuh, Kopeng, Getasan K: Marsan 11 3 PARABA Jl. Kartini 1 Banyubiru K: Agus Priyono 71 4 Pelajar Kawruh Jiwa Gombang 10 Segiri Pabelan K: Ki Wagiman Danu R. 700 Gondangsari, Sumberjejo, Pabelan K: Somo S Bringin K: Ki Imam Sarjono 8 Pucuk, Bancak K: Sudjut 3 Ngabeyan, Koripan, Susukan K: Purwoharjono 37 5 Pangestu Jl. Brigjen Katamso III, Ungaran K: Ramelan Giyasaputra 75 Tanjungsari RT 05/XI Kupang, Ambarawa K: Toekijat 28 68 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 69 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Karanglo, Kenteng, Bandungan K: Santoso 150 Ngonto, Candi, Bandungan K: Abadi 20 Gintungan, Bandungan K: Pono 80 Gondangsari, Mendongan, Sumowono K: Soewito Hendri Hoesodo Bumen, Sumowono K: Soewito Hendri Hoesodo 150 Glatak, Jembrak, Pabelan K: Soeharno, BA 234 Butuh, Tengaran K: Rusmin 25 Ngancah, Kaliwungu K: Supangat 2 6 PERSADA Krajan, Susukan, Ungaran K: Waiman Randugunting, Bergas K: Ngadiman 55 Ngempon, Begas K: Marsidi 13 Derekan, Pringapus K: Suharti 10 Glodogan, Harjosari K: Sundari 100 Kupang Lor, Kupang, Ambarawa K: Suginem 50 Tambakrejo, Tambakboyo, Ambarawa K: Suwatno 53 Warunglanang, Lodoyong, Ambarawa K: Darmo S 95 Ngablak, Candi, Bandungan K: Pajan Blater, Jimbaran, Bandungan K: Suharno Piyoto, Bandungan K: Sudarwanto 128 Candi, Candingaron, Sumowono K: Budi 225 24 Sodo Sewu Jl. Koala Mas IV/176 K: Bambang Darmono Jumlah 18.710 2 KABUPATEN SEMARANG: 1 Esa Tunggal Sejati Bogo, Timpik, Susukan K: Suparto K 480 Tanuboyo, Duren, Tengaran K: Sarmin Ismanto 101 Koripan, Susukan K: Maryono 28 Kragonan RT 06/06 Kenteng, Susukan K: Maryono 28 2 PRABU Barukan, Tengaran P: Ki Adi Samidi 300 Candi, Bandungan K: Sumarno 25 Patemon, Tengaran K: Warno 101 Dukuh, Kopeng, Getasan K: Marsan 11 3 PARABA Jl. Kartini 1 Banyubiru K: Agus Priyono 71 4 Pelajar Kawruh Jiwa Gombang 10 Segiri Pabelan K: Ki Wagiman Danu R. 700 Gondangsari, Sumberjejo, Pabelan K: Somo S Bringin K: Ki Imam Sarjono 8 Pucuk, Bancak K: Sudjut 3 Ngabeyan, Koripan, Susukan K: Purwoharjono 37 5 Pangestu Jl. Brigjen Katamso III, Ungaran K: Ramelan Giyasaputra 75 Tanjungsari RT 05/XI Kupang, Ambarawa K: Toekijat 28 70 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 71 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 7 Paguyuban Kawru Kodrating Pangeran/PKKP Munding, Bergas K: Minto Semin 60 Jambe, Candigaron, Sumowono K: Minto Semin 20 Krandon, Kalijambe, Bringin K: Sudarso 25 Gondanngsari, Candirejo, Pabelan K: Joko Pramono 31 Jangnglengan RT 1/RW 2 Dadap Ayam, Suruh K: Widodo 19 8 Kapribaden Kupang, Dalangan RT 03/08 Kupang, Ambarawa K: Edi Nugroho 35 Kedayon, Wates, Getasan K: Sukardi, Suko 84 9 Hardo Pusoro Garung, Ngampin RT 08/VI Ambarawa K: Iswandi 70 10 Sumarah Pojoksari, Ambarawa K: Sungkono 21 11 Sastro Jendro Jetak, Duren, Bandungan K: Akhmad Kardiyan 40 NO. NAMA ORGANISASI ALAMAT SEKRETARIAT NAMA PENGURUS JUMLAH ANGGOTA 12 Ilmu Sejati Duren, Bandundan K: Bandoko 25 Candi, Candingaron, Sumowono K: Mujiyanto 25 Karangduren, Tengaran K: Danu Purwito 18 Ngasinan, Timpik, Susukan K: Latip Semopawiro 58 Kradenan, Kaliwungi K: Larif 10 Plimbungan, Genting, Jambu K: Tohani Sedono, Genting, Jambu K: Purwito Kaligaleh, Kelurahan RT 04/4 Jambu K: Subiyanto 20 Tapak, Kelurahan RT 01-03/5 Jambu K: Samuji 21 Kunir, Brongkol RT 03/3 Jambu K: Nur Yahya 27 Sodong, Genting, Jambu K: Muhjiyono Kebonsari, Kebondalem, Jambu K: Lusi 15 Krajan, Bedono, Jambu K: Tulus Budi Sanjoyo 20 Gembongan, Brongko; RT 01-04/5 Jambu K: Triyanto 22 Bedali, Brongkol, Jambu K: Royin Worawit. Gening, Jambu Kalipucung, Genting, Jambu K: Sucipto Kebumen, Banyubiru K: Jumadi Wiryo Rejo 30 Plakaran, Karanganyar, Tuntang K: Jamat Sumarmo 13 Ngentak, Klero, Tengaran K: Sri Yekti 5 Kadirejo, Kaliwungu K: Karmanto 100 Pringapus, Somagede, Getasan K: Slamet 56 Jetak, Getasan K: Sukimin 56 70 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 71 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 7 Paguyuban Kawru Kodrating Pangeran/PKKP Munding, Bergas K: Minto Semin 60 Jambe, Candigaron, Sumowono K: Minto Semin 20 Krandon, Kalijambe, Bringin K: Sudarso 25 Gondanngsari, Candirejo, Pabelan K: Joko Pramono 31 Jangnglengan RT 1/RW 2 Dadap Ayam, Suruh K: Widodo 19 8 Kapribaden Kupang, Dalangan RT 03/08 Kupang, Ambarawa K: Edi Nugroho 35 Kedayon, Wates, Getasan K: Sukardi, Suko 84 9 Hardo Pusoro Garung, Ngampin RT 08/VI Ambarawa K: Iswandi 70 10 Sumarah Pojoksari, Ambarawa K: Sungkono 21 11 Sastro Jendro Jetak, Duren, Bandungan K: Akhmad Kardiyan 40 NO. NAMA ORGANISASI ALAMAT SEKRETARIAT NAMA PENGURUS JUMLAH ANGGOTA 12 Ilmu Sejati Duren, Bandundan K: Bandoko 25 Candi, Candingaron, Sumowono K: Mujiyanto 25 Karangduren, Tengaran K: Danu Purwito 18 Ngasinan, Timpik, Susukan K: Latip Semopawiro 58 Kradenan, Kaliwungi K: Larif 10 Plimbungan, Genting, Jambu K: Tohani Sedono, Genting, Jambu K: Purwito Kaligaleh, Kelurahan RT 04/4 Jambu K: Subiyanto 20 Tapak, Kelurahan RT 01-03/5 Jambu K: Samuji 21 Kunir, Brongkol RT 03/3 Jambu K: Nur Yahya 27 Sodong, Genting, Jambu K: Muhjiyono Kebonsari, Kebondalem, Jambu K: Lusi 15 Krajan, Bedono, Jambu K: Tulus Budi Sanjoyo 20 Gembongan, Brongko; RT 01-04/5 Jambu K: Triyanto 22 Bedali, Brongkol, Jambu K: Royin Worawit. Gening, Jambu Kalipucung, Genting, Jambu K: Sucipto Kebumen, Banyubiru K: Jumadi Wiryo Rejo 30 Plakaran, Karanganyar, Tuntang K: Jamat Sumarmo 13 Ngentak, Klero, Tengaran K: Sri Yekti 5 Kadirejo, Kaliwungu K: Karmanto 100 Pringapus, Somagede, Getasan K: Slamet 56 Jetak, Getasan K: Sukimin 56 72 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 73 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 2 Pangestu Tanjung, Cepiring K: Sutejo 40 Bumiayu, Weleri K: Sucipto 159 3 Persada Jl. Pahlawan II Gg. Mawar 9 K: Soepandi 1.150 4 Ilmu Kasedan Jati Jl. Boja S: M. Sukaeri 173 5 Induk Wargo Kawruh Utomo Manggunmangu, Plantungan K: Sugino 150 6 Setia Budi Perjanjian 45 Gentan Kidul RT 01/RW 04 Boja K: L. Purnomo A.A. 46 7 Cahya Buana Padepokan Sanitya Waluyo Jl Raya Kendal 201 K: RT Gidenon Hertanto 80 8 Keluarga Sabtu Pahing Sidokumpul, Patean K: Jemin 233 9 Wayah Kaki Penyangkringan, Weleri K: Subanti 95 Jumlah 2.319 5 KABUPATEN GROBOGAN: 1 Persada Jl. Kyai Busro Getas Pendowo 102 Pwd K: Ir. Suharsono 180 2 Perguruan Triyaja Jl. Raya Ketitang Godong – Purwodadi K: Trubus Eko, S, ST 175 3 Sastro Jendro Purwodado – Simpanglima Sek: Djoko Mulyono 100 4 SUBUD Jl. Lapangan Kedungjati K: Handono Warih 31 5 Sapto Darmo Wonorejo RT 02/RW 08 Kedungjati Groboogan K: Suwoto 49 Jumlah 535 6 KOTA SALATIGA: 1 Esa Tungga Sejati Jl. Jend. Sudirman 268 K: Soemarmo Atmojo 1.150 Ngrancah, Kaliwungi K: Suwardi 40 Kaliwungu K: Sarjono 50 13 Setya Budi Perjanjian ’45 Bodean, Candigaron, Sumowono K: Yanto 20 14 Jiwo Sejati Krandon, Kalijambe, Bringin K: Sumiyanto 50 15 Yoga Brata Kaligintung, Karangduren, Tengaran K: Bambang Purwanto 50 16 Prana Jati Koripan RT 08, Susukan K: Parto Wiyono 12 Bubakan, Kaliwungu K: Nindya Tri Rahayu, S. Pd. 266 17 Nurul Jati Gejayan, Nogosaren K: Jasmin JS 18 Jumlah 4.818 3 KABUPATEN DEMAK: 1 Paguyuban Ngesti Jati (Pangesti) Gg. Mandura 286 RT10/03, Cabean, Demak S: Tasripan 2 PKKP Kedunguter, Karangtengah K: Suratman 3 Sumarah Trengguli, Wonosalam K: M. Sofyan 4 Kapribaden Ngrajeg, Jragung, Karangawen K: Saidi 5 Tri Jaya Jl. Rimbu RT 02/06 Rejosari, Karangawen K: Bambang Permadi 6 SUBUD Krapyak, Bintoro K: Rokwan 7 PERSADA Mranak, Wonosalam K: Sumber 4 KABUPATEN KENDAL: 1 Perhimpunan Kamanungsan Jl. A. Yani VI 45 Weleri K: Soetjipto S.P. 193 72 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 73 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 2 Pangestu Tanjung, Cepiring K: Sutejo 40 Bumiayu, Weleri K: Sucipto 159 3 Persada Jl. Pahlawan II Gg. Mawar 9 K: Soepandi 1.150 4 Ilmu Kasedan Jati Jl. Boja S: M. Sukaeri 173 5 Induk Wargo Kawruh Utomo Manggunmangu, Plantungan K: Sugino 150 6 Setia Budi Perjanjian 45 Gentan Kidul RT 01/RW 04 Boja K: L. Purnomo A.A. 46 7 Cahya Buana Padepokan Sanitya Waluyo Jl Raya Kendal 201 K: RT Gidenon Hertanto 80 8 Keluarga Sabtu Pahing Sidokumpul, Patean K: Jemin 233 9 Wayah Kaki Penyangkringan, Weleri K: Subanti 95 Jumlah 2.319 5 KABUPATEN GROBOGAN: 1 Persada Jl. Kyai Busro Getas Pendowo 102 Pwd K: Ir. Suharsono 180 2 Perguruan Triyaja Jl. Raya Ketitang Godong – Purwodadi K: Trubus Eko, S, ST 175 3 Sastro Jendro Purwodado – Simpanglima Sek: Djoko Mulyono 100 4 SUBUD Jl. Lapangan Kedungjati K: Handono Warih 31 5 Sapto Darmo Wonorejo RT 02/RW 08 Kedungjati Groboogan K: Suwoto 49 Jumlah 535 6 KOTA SALATIGA: 1 Esa Tungga Sejati Jl. Jend. Sudirman 268 K: Soemarmo Atmojo 1.150 Ngrancah, Kaliwungi K: Suwardi 40 Kaliwungu K: Sarjono 50 13 Setya Budi Perjanjian ’45 Bodean, Candigaron, Sumowono K: Yanto 20 14 Jiwo Sejati Krandon, Kalijambe, Bringin K: Sumiyanto 50 15 Yoga Brata Kaligintung, Karangduren, Tengaran K: Bambang Purwanto 50 16 Prana Jati Koripan RT 08, Susukan K: Parto Wiyono 12 Bubakan, Kaliwungu K: Nindya Tri Rahayu, S. Pd. 266 17 Nurul Jati Gejayan, Nogosaren K: Jasmin JS 18 Jumlah 4.818 3 KABUPATEN DEMAK: 1 Paguyuban Ngesti Jati (Pangesti) Gg. Mandura 286 RT10/03, Cabean, Demak S: Tasripan 2 PKKP Kedunguter, Karangtengah K: Suratman 3 Sumarah Trengguli, Wonosalam K: M. Sofyan 4 Kapribaden Ngrajeg, Jragung, Karangawen K: Saidi 5 Tri Jaya Jl. Rimbu RT 02/06 Rejosari, Karangawen K: Bambang Permadi 6 SUBUD Krapyak, Bintoro K: Rokwan 7 PERSADA Mranak, Wonosalam K: Sumber 4 KABUPATEN KENDAL: 1 Perhimpunan Kamanungsan Jl. A. Yani VI 45 Weleri K: Soetjipto S.P. 193 74 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 75 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 6 Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Jl. P. Sudirman IV/24 K: Widodo HP 16 7 SUBUD INDONESIA Trangkil RT 07/V Trangkil K: Rusmani 80 8 Suci Rahayu Sekarjalak RT 04/02 Margoyoso S: Sugeng 62 Jl. Jambu 19 RT 02 RW 05 Wedarijaksa 9 Purnomo Sidi Bulungan RT 05/RW 02 Tayu S: H. Harsono 27 10 Ilmu Kasampurnan Jati Jl. Medani 119 RT 5/2 Bambang, Cluwak S: Koernen 37 11 Latihan Kajiwan Mojoagung, Trangkil S: Murdianto 325 12 Kawruh Hak Ngageri, Dukuh Seti S: Suwono 65 13 Tunggul Sabdo Jati Sidokerto K: Ali Setiawan 22 14 Kebatinan 09 Pambuko Jiwi Muktiharjo K: Heri Sutristianto 57 15 Aliran Kebatinan Perjalanan Mbingung, Polorejo RT 03/2, Winong K: Ngatijo 43 16 Pangestu Jl. Kol. R. Sugiono 2B K: Ny. Tukimin 84 Jumlah 5.278 8 KABUPATEN KUDUS: 1 Budi Luhur Jepang, Mejobo K: Ragu Rochman 75 2 Pag. Badan Keluarga Kebatinan WISNU Jl. Purbaya Raya 34 Sp: adisumarto 35 3 Pag Sumarah Jl. Kalibodri 101B Kutawinangun Tingkir K: Suwarno 15 4 Kejiwaan Krajan – Salatiga K: Hadi Wijoyo 15 5 Pag. Kapribaden Jl. Kalitaman Gg Melati 7 K: Ed. Pudjiyanto 100 6 Pangestu Jl. Imam Bonjol Gg. Cendana Warih 29 S: Radji’an 250 Jl. Nanggulan RT 03/RW X Tingkir 20 7 Pangudi Rahayuning Budi (PRABU) Jl. Sukarno Hatta Pos Tingkir Salatiga K: Prastowo 15 Jumlah 1.600 7 KABUPATEN PATI: 1 Paguyuban Purnomo Sidi Dukuhseti P: KH Masykur 9 2 Budi Luhur Kletek, Pucakwangi P: Lamidjan 95 3 PERSADA II Jl. Komodo 110 Juwana S: Soerip Sastro Widjoyo 3.500 4 Pramono Sejati Bulumulyuo Batangan P: Hadi Suyitno 356 Sentul, Cluwak S: Mirasana 175 5 Roso Sejati Jl. Flamboyan XII/5 Kutoarjo S: Ngatmin Al’Amin 325 74 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 75 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 6 Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Jl. P. Sudirman IV/24 K: Widodo HP 16 7 SUBUD INDONESIA Trangkil RT 07/V Trangkil K: Rusmani 80 8 Suci Rahayu Sekarjalak RT 04/02 Margoyoso S: Sugeng 62 Jl. Jambu 19 RT 02 RW 05 Wedarijaksa 9 Purnomo Sidi Bulungan RT 05/RW 02 Tayu S: H. Harsono 27 10 Ilmu Kasampurnan Jati Jl. Medani 119 RT 5/2 Bambang, Cluwak S: Koernen 37 11 Latihan Kajiwan Mojoagung, Trangkil S: Murdianto 325 12 Kawruh Hak Ngageri, Dukuh Seti S: Suwono 65 13 Tunggul Sabdo Jati Sidokerto K: Ali Setiawan 22 14 Kebatinan 09 Pambuko Jiwi Muktiharjo K: Heri Sutristianto 57 15 Aliran Kebatinan Perjalanan Mbingung, Polorejo RT 03/2, Winong K: Ngatijo 43 16 Pangestu Jl. Kol. R. Sugiono 2B K: Ny. Tukimin 84 Jumlah 5.278 8 KABUPATEN KUDUS: 1 Budi Luhur Jepang, Mejobo K: Ragu Rochman 75 2 Pag. Badan Keluarga Kebatinan WISNU Jl. Purbaya Raya 34 Sp: adisumarto 35 3 Pag Sumarah Jl. Kalibodri 101B Kutawinangun Tingkir K: Suwarno 15 4 Kejiwaan Krajan – Salatiga K: Hadi Wijoyo 15 5 Pag. Kapribaden Jl. Kalitaman Gg Melati 7 K: Ed. Pudjiyanto 100 6 Pangestu Jl. Imam Bonjol Gg. Cendana Warih 29 S: Radji’an 250 Jl. Nanggulan RT 03/RW X Tingkir 20 7 Pangudi Rahayuning Budi (PRABU) Jl. Sukarno Hatta Pos Tingkir Salatiga K: Prastowo 15 Jumlah 1.600 7 KABUPATEN PATI: 1 Paguyuban Purnomo Sidi Dukuhseti P: KH Masykur 9 2 Budi Luhur Kletek, Pucakwangi P: Lamidjan 95 3 PERSADA II Jl. Komodo 110 Juwana S: Soerip Sastro Widjoyo 3.500 4 Pramono Sejati Bulumulyuo Batangan P: Hadi Suyitno 356 Sentul, Cluwak S: Mirasana 175 5 Roso Sejati Jl. Flamboyan XII/5 Kutoarjo S: Ngatmin Al’Amin 325 76 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 77 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 3 Pag. Silat Roh Jati Kembang Jl. Nusantara II/23 K: Heri Suroso, SE 92 4 Liman Seto Jl. Reksodipuro P: Sukiyanto 750 5 Wringin Seto Jl. A. Yani 56 Blora S: Koesemo S. Suwardi 27.000 6 Murtitomo Waskito Tunggal Ngadipurwo RT 02/RW 5 S: Hartoyo 87 Jumlah 28.448 11 KABUPATEN JEPARA: 1 Pramono Sejati Tubanan, Guyangan K: Samidi 21.643 Jl. PLTU Tanjungjati, Tubanan, Kembang K: Suwantara CW Sekuping, Tubanan, Bangsri K: Samidi 2 Mastika Tubanan, Kembang S: Subri 118 3 Pag. Kawruh Kodrating Pangeran Ngetuk, Nalumsari, Jepara K: Nasirin 4 Pag. Penghayat Kapribaden Jl. Arjuna II/84 Griya Tahunan Indah Telp. 0291 59427 K: Soedarto 5 Perguruan llmu Sejati Ngramberl/Damarwulan Jepara K: Kembar Karya Utama Damarwulan, Jepara K: Basuki 6 SUBUD Puri Handayani, Sengonbugel RT 03/03 Mayong K: Soelistijono 7 Purwane Dumadi Kautaman Kasampurnan Deling, Kaliganang K: Hartoyo 2 Pramono Sejati Jl. Pucangkerep III/94 Kramat K: Rumadji 26 Tenggele, Mejobo K: Sukamto 143 3 Persada Mlati Lor RT 04/04 Gg Bondhan 18 K: Nurlan 420 4 Sumarah Jl. Kusaumadya 29 Gg. Setyaki RT 08 1 Jatiwetan, Jati K: Sulkhan 273 5 PKKP Ds. Hadipolo RT 1/RW 11 Jekuko K: Suratno 27 6 Pag. Hardo Pusoro Dlingo, Peganjaran Rt 4/1 Bae K: Ngawijan 49 7 SUBUD Getas Pejaten 840 RT 03/02 Jati K: Kuswanto 80 Jumlah 1.093 9 KABUPATEN REMBANG: 1 Sapto Darma Kabongan Lor, Plawangan RT 02/RWIII Kragan Rembang K: Sutrisno 300 2 Pangestu Jl. Sareyan 20 Sidowayah Rembang K: Rumiyati 60 3 Wringin Seto Jl. Demangwaru 48 Rembang K: Suroso 45 Jumlah 405 10 KABUPATEN BLORA: 1 KEJATEN Jl. Duku 1 K: Suhari, MH, Amd. 369 2 Sastro Jendro Hayuningrat Mustiko Sejati Jl. Reksodipuro 59 K: Suharrso 150 76 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 77 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 3 Pag. Silat Roh Jati Kembang Jl. Nusantara II/23 K: Heri Suroso, SE 92 4 Liman Seto Jl. Reksodipuro P: Sukiyanto 750 5 Wringin Seto Jl. A. Yani 56 Blora S: Koesemo S. Suwardi 27.000 6 Murtitomo Waskito Tunggal Ngadipurwo RT 02/RW 5 S: Hartoyo 87 Jumlah 28.448 11 KABUPATEN JEPARA: 1 Pramono Sejati Tubanan, Guyangan K: Samidi 21.643 Jl. PLTU Tanjungjati, Tubanan, Kembang K: Suwantara CW Sekuping, Tubanan, Bangsri K: Samidi 2 Mastika Tubanan, Kembang S: Subri 118 3 Pag. Kawruh Kodrating Pangeran Ngetuk, Nalumsari, Jepara K: Nasirin 4 Pag. Penghayat Kapribaden Jl. Arjuna II/84 Griya Tahunan Indah Telp. 0291 59427 K: Soedarto 5 Perguruan llmu Sejati Ngramberl/Damarwulan Jepara K: Kembar Karya Utama Damarwulan, Jepara K: Basuki 6 SUBUD Puri Handayani, Sengonbugel RT 03/03 Mayong K: Soelistijono 7 Purwane Dumadi Kautaman Kasampurnan Deling, Kaliganang K: Hartoyo 2 Pramono Sejati Jl. Pucangkerep III/94 Kramat K: Rumadji 26 Tenggele, Mejobo K: Sukamto 143 3 Persada Mlati Lor RT 04/04 Gg Bondhan 18 K: Nurlan 420 4 Sumarah Jl. Kusaumadya 29 Gg. Setyaki RT 08 1 Jatiwetan, Jati K: Sulkhan 273 5 PKKP Ds. Hadipolo RT 1/RW 11 Jekuko K: Suratno 27 6 Pag. Hardo Pusoro Dlingo, Peganjaran Rt 4/1 Bae K: Ngawijan 49 7 SUBUD Getas Pejaten 840 RT 03/02 Jati K: Kuswanto 80 Jumlah 1.093 9 KABUPATEN REMBANG: 1 Sapto Darma Kabongan Lor, Plawangan RT 02/RWIII Kragan Rembang K: Sutrisno 300 2 Pangestu Jl. Sareyan 20 Sidowayah Rembang K: Rumiyati 60 3 Wringin Seto Jl. Demangwaru 48 Rembang K: Suroso 45 Jumlah 405 10 KABUPATEN BLORA: 1 KEJATEN Jl. Duku 1 K: Suhari, MH, Amd. 369 2 Sastro Jendro Hayuningrat Mustiko Sejati Jl. Reksodipuro 59 K: Suharrso 150 78 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 79 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 5 Paguyuban Cahyo Buana Adipala Srandil/Glempang Pasir K: Drs. KRA Sarwo Dadingudiono 1.500 6 Kapribaden Jl. Kapt Tendean K: Soewardi 200 Mekarsari RT 04/05 Sidamulya K: Gunardi 43 7 Pag. Eko Samudra Manuggaling Roso Sejati Jl. Martadinata RT 08/RW 12 Cilacap K: Sastro Pawiro 2.000 8 Pag. Anggayuh Palereming Napsu Jl. Cendrawasih 1 Cilacap K: Suhardjo 250 9 Pag. Hidup Betul Jl. Welahan Wetan RT 02/04 Adipala K: Kartomiarso 111 10 Pag. Payungapung Banjarsari RT 03/03 Nusawungu K: Suparno 142 11 Pag. Wayah Kaki Jl. Raya Kubangkangkung, Kawunganten K: Samino 29 12 Pag. Sumarah Jl. Sindoro 73 RT 08/05 Kroya K: Nurzaeni 192 13 Pag. Kamanungsan Jl. Gandul RT 07/05 Karangbawang, Kawunganten K: Sukirno 26 14 Pag. Kawruh Hak Jl. Kapiro RT 01/07 Ayamalas. Kroya K: Rachmat 300 15 Pag. PWSKK Jepara Kulon RT 01/01 Binangun K: San Karji 1.371 16 Pag. Tunngul Sabda Jati Jl. Srandil RT 03/01 Glempangpasir, Adipala K: Suparno 2.200 17 Pag. Jawa Naluri Jl. Jambu 20 Karangbenda K: Wito Miarso 142 18 Pag. Ngudi Luhur Jl. Sukarno 20 Karangbenda K: Noto Miharjo 60 8 PERSADA Jl. Sombo RT 08/II Bendowangen, Mayong K: Djamari 9 Kalima Usada Roso Sejati Blimbingrejo, Nalumsari, Jepara K: Sariyun Jumlah 21.761 12 KABUPATEN BANYUMAS: 1 Tri Tunggal Bayu Jl. Raya Patikraja 17 K: Suwardi 78 2 Ilmu Ketuhanan (KWN) Banjarpanepen RT 02/04 Sumpiuh – Banyumas K: Turimin 115 3 Kerokhanian Sapto Darmo Jl. Dr. Suharso Gg Anggrek II RT 05/RW 3 Pwt K: Edy Siswanto 150 4 Rukun Warga Kel. Berkoh Purwokerto K: Supriyono BCID 600 5 Perjalanan Tri Luhur Kalibener Purwokerto K: Ekosusmanto 500 Jumlah 1.443 13 KABUPATEN CILACAP: 1 PAJATI Jl. Pertamina RT 01/RW 01 Segaralangu Cipari K: Katim Hadikarta 754 2 Suci Hati Kasampurnan Jl. Cendrawasih 12 K: Basuki Raharja 195 3 Kerochanian Sapta Darma Jl. Gatot Subroto 42 Sidanegara K: Agus Hartono 200 Jl. Munggur RT 01/08 Mertasinga K: Haryati 300 4 Resik Kubur Jero Tengah Jl. Mataram RT 05/2 Pekuncen Kroya K: Amin Nurhadi 18.000 Jl. RA. Mangkupaja 47 Kroya K: Agus Sugiarto 78 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 79 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 5 Paguyuban Cahyo Buana Adipala Srandil/Glempang Pasir K: Drs. KRA Sarwo Dadingudiono 1.500 6 Kapribaden Jl. Kapt Tendean K: Soewardi 200 Mekarsari RT 04/05 Sidamulya K: Gunardi 43 7 Pag. Eko Samudra Manuggaling Roso Sejati Jl. Martadinata RT 08/RW 12 Cilacap K: Sastro Pawiro 2.000 8 Pag. Anggayuh Palereming Napsu Jl. Cendrawasih 1 Cilacap K: Suhardjo 250 9 Pag. Hidup Betul Jl. Welahan Wetan RT 02/04 Adipala K: Kartomiarso 111 10 Pag. Payungapung Banjarsari RT 03/03 Nusawungu K: Suparno 142 11 Pag. Wayah Kaki Jl. Raya Kubangkangkung, Kawunganten K: Samino 29 12 Pag. Sumarah Jl. Sindoro 73 RT 08/05 Kroya K: Nurzaeni 192 13 Pag. Kamanungsan Jl. Gandul RT 07/05 Karangbawang, Kawunganten K: Sukirno 26 14 Pag. Kawruh Hak Jl. Kapiro RT 01/07 Ayamalas. Kroya K: Rachmat 300 15 Pag. PWSKK Jepara Kulon RT 01/01 Binangun K: San Karji 1.371 16 Pag. Tunngul Sabda Jati Jl. Srandil RT 03/01 Glempangpasir, Adipala K: Suparno 2.200 17 Pag. Jawa Naluri Jl. Jambu 20 Karangbenda K: Wito Miarso 142 18 Pag. Ngudi Luhur Jl. Sukarno 20 Karangbenda K: Noto Miharjo 60 8 PERSADA Jl. Sombo RT 08/II Bendowangen, Mayong K: Djamari 9 Kalima Usada Roso Sejati Blimbingrejo, Nalumsari, Jepara K: Sariyun Jumlah 21.761 12 KABUPATEN BANYUMAS: 1 Tri Tunggal Bayu Jl. Raya Patikraja 17 K: Suwardi 78 2 Ilmu Ketuhanan (KWN) Banjarpanepen RT 02/04 Sumpiuh – Banyumas K: Turimin 115 3 Kerokhanian Sapto Darmo Jl. Dr. Suharso Gg Anggrek II RT 05/RW 3 Pwt K: Edy Siswanto 150 4 Rukun Warga Kel. Berkoh Purwokerto K: Supriyono BCID 600 5 Perjalanan Tri Luhur Kalibener Purwokerto K: Ekosusmanto 500 Jumlah 1.443 13 KABUPATEN CILACAP: 1 PAJATI Jl. Pertamina RT 01/RW 01 Segaralangu Cipari K: Katim Hadikarta 754 2 Suci Hati Kasampurnan Jl. Cendrawasih 12 K: Basuki Raharja 195 3 Kerochanian Sapta Darma Jl. Gatot Subroto 42 Sidanegara K: Agus Hartono 200 Jl. Munggur RT 01/08 Mertasinga K: Haryati 300 4 Resik Kubur Jero Tengah Jl. Mataram RT 05/2 Pekuncen Kroya K: Amin Nurhadi 18.000 Jl. RA. Mangkupaja 47 Kroya K: Agus Sugiarto 80 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 81 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 7 Wayah Kaki Ds. Semampir Banjarnegara K: Sahadi 202 Gemuruh RT 02/I Bawang K: Sodikin 202 8 Paguyuban Cahya Buana Ds.Kutayasa Madukara K: Sutarjo 38 9 Tunggul Sabdo Jati Perum PJKA 8 Banjarnegara K: Kuswedi 75 10 PERSADA Jl. Letjen 217 Banjarnegara K: Soewaryo 17 Klampok RT 03/XI Purworejo Klampok K: Triyanto 60 11 Pangestu Pungkuran RT 01/V Kutabanjarnegara K: Ibu Yadi 346 Jumlah 2.965 15 KABUPATEN PURBALINGGA: 1 Kawruh Rasa Sejati Padepokan Kawinduran Jl. Sudirman 167 S: Supono Harjo Suwito 170 2 Seserepan Kepribadian 45 Jl. Inyong 1 Bojongsari S: Dayat 360 3 Kepribadian Sabdo Tunggal Jl. Kom. Notosudarmo 61 S: Sumardi 4 Sapto Darmo Gg. Jengkol K: Joyo 5 Pangestu Jl. AW Sumarmo 6 6 Hardo Pusoro Gembong, Bojongsari K: Sutomo 17 7 Perjalanan Tri Luhur Kalikabong, Kalimanah K: Subandi 8 Kawruh Hak Jawa Karanglewas, Kutasari K: Suwandi 21 9 Hidup Betul Wlahar, Rembang Jumlah 568 19 Pag. Perjalanan Tri Luhur Jl. Rinjani K: Sukoco 60 20 Pag. PBB Purwayasa, Wanareja K: Sukarjo 300 21 Pag. Tunggul Jati Wlahar, Adipala K: Riyadi 50 22 Pag. PIKIR Gandrungmangu K: Sumardi 300 23 Kelompok Penghayat Perorangan Pesawahan Wetan, Nusawungu K: Hendro Mulyono 400 24 Pag. Sekartaji Jl. Wersud, Cilacap K: Kaminem 250 25 Hardo Pusoro Kp. Laut Uj Alng, RT 02/04 Kadus Paniten K: Daroji 44 Jumlah 29.419 14 KABUPATEN BANJARNEGARA: 1 Perjalanan Tri Luhur Krandegan RT 02/II Jl. Kijagapati K: Pardi Souekanto 290 2 Paguyuban Budaya Bangsa Jl. Katimangir R/06/1 K: Siswo Hadiwardoyo 600 Ds. Sumawangi RT 03/03 Mandiraja K: Wasis Siswa Wardaya 809 3 Paguyuban Tunggal Sando Jati Jl. Perumka 11 K: Kuwadi 75 4 Hidup Betul Ds. Danaraja RT 06/05 Purwonegoro K: Martoyo 33 5 Paguyuban Kawruh Hardo Pusoro Ds. Bojanegara RT 06/05 Sigaluh K: Djasman Pr. 85 6 Seserepan Kepribadian Intisar 45 Ds. Purwareja Klampok RT 03/01 Purwarejo Klampok K: Sumarwan 133 80 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 81 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 7 Wayah Kaki Ds. Semampir Banjarnegara K: Sahadi 202 Gemuruh RT 02/I Bawang K: Sodikin 202 8 Paguyuban Cahya Buana Ds.Kutayasa Madukara K: Sutarjo 38 9 Tunggul Sabdo Jati Perum PJKA 8 Banjarnegara K: Kuswedi 75 10 PERSADA Jl. Letjen 217 Banjarnegara K: Soewaryo 17 Klampok RT 03/XI Purworejo Klampok K: Triyanto 60 11 Pangestu Pungkuran RT 01/V Kutabanjarnegara K: Ibu Yadi 346 Jumlah 2.965 15 KABUPATEN PURBALINGGA: 1 Kawruh Rasa Sejati Padepokan Kawinduran Jl. Sudirman 167 S: Supono Harjo Suwito 170 2 Seserepan Kepribadian 45 Jl. Inyong 1 Bojongsari S: Dayat 360 3 Kepribadian Sabdo Tunggal Jl. Kom. Notosudarmo 61 S: Sumardi 4 Sapto Darmo Gg. Jengkol K: Joyo 5 Pangestu Jl. AW Sumarmo 6 6 Hardo Pusoro Gembong, Bojongsari K: Sutomo 17 7 Perjalanan Tri Luhur Kalikabong, Kalimanah K: Subandi 8 Kawruh Hak Jawa Karanglewas, Kutasari K: Suwandi 21 9 Hidup Betul Wlahar, Rembang Jumlah 568 19 Pag. Perjalanan Tri Luhur Jl. Rinjani K: Sukoco 60 20 Pag. PBB Purwayasa, Wanareja K: Sukarjo 300 21 Pag. Tunggul Jati Wlahar, Adipala K: Riyadi 50 22 Pag. PIKIR Gandrungmangu K: Sumardi 300 23 Kelompok Penghayat Perorangan Pesawahan Wetan, Nusawungu K: Hendro Mulyono 400 24 Pag. Sekartaji Jl. Wersud, Cilacap K: Kaminem 250 25 Hardo Pusoro Kp. Laut Uj Alng, RT 02/04 Kadus Paniten K: Daroji 44 Jumlah 29.419 14 KABUPATEN BANJARNEGARA: 1 Perjalanan Tri Luhur Krandegan RT 02/II Jl. Kijagapati K: Pardi Souekanto 290 2 Paguyuban Budaya Bangsa Jl. Katimangir R/06/1 K: Siswo Hadiwardoyo 600 Ds. Sumawangi RT 03/03 Mandiraja K: Wasis Siswa Wardaya 809 3 Paguyuban Tunggal Sando Jati Jl. Perumka 11 K: Kuwadi 75 4 Hidup Betul Ds. Danaraja RT 06/05 Purwonegoro K: Martoyo 33 5 Paguyuban Kawruh Hardo Pusoro Ds. Bojanegara RT 06/05 Sigaluh K: Djasman Pr. 85 6 Seserepan Kepribadian Intisar 45 Ds. Purwareja Klampok RT 03/01 Purwarejo Klampok K: Sumarwan 133 82 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 83 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 4 Pangestu Rejosari 273 RT 7/II Bojong K: Rasmani 100 5 Budi Luhur Bebel, Wonokerto K: Suryat 100 6 Tri Tunggal Bayu Karangsari 03/02 Karanganyar K: Sugiarto 90 7 Pambuko Jiwo Gebangkerep, Sragi K: Sudiyo 75 8 Perguruan Ilmu Sejati Jl. Tentara Pelajar Gg VII/5 Kandangpanjang S: Supriyantoko 720 9 Perguruan Ilmu Sejati Ds. Kadipaten RT 03/02 no. 16 Wiradesa S: Sumito 963 Jumlah 4.018 18 KABUPATEN PEMALANG: 1 Persada II Pecangakan Comal K: Wardi HR 1.000 Jumlah 1.000 19 KABUPATEN TEGAL: 1 Sumber Nyawa Jatiwangi Pagerbarang K: M. Urip/ Sumarto 1.025 2 Perguruan Trijaya Ds. Dukuhtengah, Kec. Bojong K: Efi Kuswarjanti/ Suharto 3.000 3 Perguruan Jawa Naluri Somowangi RT 06 RW I K: Sujari 600 5 Pangestu Jl. Pramuka 42/09/01 Balapulang K: Toid Darmowiyoto 196 6 Sri Murni Karangmangu, Tarub K: M. Muchidin 1.564 7 Persada Blubuk RT 04/RW IX Dukuhwaru K: Wakhrun 138 8 Yoga Swastika Ds. Karangmalang, Kedungbanteng K: Heri Kushendro/ Djenuri 257 16 KABUPATEN BATANG: 1 SUBUD Kalisalak Batang K: Slamet Siswantoro 100 2 PERSADA Kenconorejo RT 02/RW I Tulis K: Indriyo Raharjo, S. Pd. 99 Jl. Jend. Sudirman 34 K: Dasari 37 Jl. Raya Sambong Kacepak RT 01/RW I Batang K: Indriyo 59 3 Perguruan Ilmu Sejati Dracek S: Ramelan 160 Kasepuhan, Kedungreja, Karangasem K: Kasluwi 139 4 Kapribaden Karangjati RT 11/RW4 Cepagan Warungasem Batang S: Hartono 40 5 Ilmu Roso Sejati Plosowangi, Tersono K: Khaeran 65 6 Pangestu Amongrogo. Limpung K: Suharno 299 Jl. RE Martadinata Gg Gurameh 539 K: Poniman 40 7 Persaudaraan Setia Hati ”TERATE” Jl. Raya Selokarto, Pecalungan K: Ekowibowo 210 Jumlah 1.248 17 KABUPATEN PEKALONGAN: 1 Kawruh Jawa Jawata Sumurjomblang Bogo K: Darim 320 2 Paguyuban Penghayat Kapribaden Ds. Singangohprendeng Kajen K: Mardjijo 1.500 3 Sapto Darmo Wonokerto Kulon K: Casnari 150 82 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 83 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 4 Pangestu Rejosari 273 RT 7/II Bojong K: Rasmani 100 5 Budi Luhur Bebel, Wonokerto K: Suryat 100 6 Tri Tunggal Bayu Karangsari 03/02 Karanganyar K: Sugiarto 90 7 Pambuko Jiwo Gebangkerep, Sragi K: Sudiyo 75 8 Perguruan Ilmu Sejati Jl. Tentara Pelajar Gg VII/5 Kandangpanjang S: Supriyantoko 720 9 Perguruan Ilmu Sejati Ds. Kadipaten RT 03/02 no. 16 Wiradesa S: Sumito 963 Jumlah 4.018 18 KABUPATEN PEMALANG: 1 Persada II Pecangakan Comal K: Wardi HR 1.000 Jumlah 1.000 19 KABUPATEN TEGAL: 1 Sumber Nyawa Jatiwangi Pagerbarang K: M. Urip/ Sumarto 1.025 2 Perguruan Trijaya Ds. Dukuhtengah, Kec. Bojong K: Efi Kuswarjanti/ Suharto 3.000 3 Perguruan Jawa Naluri Somowangi RT 06 RW I K: Sujari 600 5 Pangestu Jl. Pramuka 42/09/01 Balapulang K: Toid Darmowiyoto 196 6 Sri Murni Karangmangu, Tarub K: M. Muchidin 1.564 7 Persada Blubuk RT 04/RW IX Dukuhwaru K: Wakhrun 138 8 Yoga Swastika Ds. Karangmalang, Kedungbanteng K: Heri Kushendro/ Djenuri 257 16 KABUPATEN BATANG: 1 SUBUD Kalisalak Batang K: Slamet Siswantoro 100 2 PERSADA Kenconorejo RT 02/RW I Tulis K: Indriyo Raharjo, S. Pd. 99 Jl. Jend. Sudirman 34 K: Dasari 37 Jl. Raya Sambong Kacepak RT 01/RW I Batang K: Indriyo 59 3 Perguruan Ilmu Sejati Dracek S: Ramelan 160 Kasepuhan, Kedungreja, Karangasem K: Kasluwi 139 4 Kapribaden Karangjati RT 11/RW4 Cepagan Warungasem Batang S: Hartono 40 5 Ilmu Roso Sejati Plosowangi, Tersono K: Khaeran 65 6 Pangestu Amongrogo. Limpung K: Suharno 299 Jl. RE Martadinata Gg Gurameh 539 K: Poniman 40 7 Persaudaraan Setia Hati ”TERATE” Jl. Raya Selokarto, Pecalungan K: Ekowibowo 210 Jumlah 1.248 17 KABUPATEN PEKALONGAN: 1 Kawruh Jawa Jawata Sumurjomblang Bogo K: Darim 320 2 Paguyuban Penghayat Kapribaden Ds. Singangohprendeng Kajen K: Mardjijo 1.500 3 Sapto Darmo Wonokerto Kulon K: Casnari 150 84 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 85 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 2 Paguyuban Ulah Rasa Batin (PURBA) Magersari, Mijil 345 S: Ilyas Sugeng, SP 250 Jumlah 366 24 KABUPATEN MAGELANG: 1 Kapribaden Kudusan, Tirto, Grabag S: Hadi Waryanto 50 2 Persada Gaten, Bondowoso, Mertoyudan K: Suwito Bintoro 385 3 Ngesthi Kasampurnan Mungkidan, Mertoyudan S: Kahono 500 4 Kejawen Urip Sejati Onggosoro, Giri Tengah, Borobudur K: Ki Kamijan 850 5 Ngudi Utomo Jawahan, Warurejo, Borobudur S: Ych. Suwarso 285 6 Hidup Betul Kadirejo RT 01/01 Muntilan S: Subiyanto - 7 Hardo Pusoro Sanggrahan, Glagahombo, Tegalrejo S/K: Alex Suparno 470 8 Sumarah Probolinggo, Gulon. Salam K: Mudakir 9 Paguyuban Kawruh Jiwo Cebongan, Mangunsari, Windusari K: Ki Trimo 10 Urip Sejati Wonogiri, Sapuan, Sawangan K: Ki Rekso Jiwo 11 Pangestu Jl. Pemuda 39A Pucungrejo, Muntilan K: I Wayan Kerto Pratiwa 12 Soggo Buwono Salon Juwita, Prajenan, Sumberejo, Mertoyudan K: Budi Utomo Jumlah 2.540 Jumlah 6.780 20 KABUPATEN BREBES: 1 Paguyuban Medal Urip Ds. Wanasari RT 05/02 Brebes K: Murani 2.169 2 Nooemanto Jl. Bali 206 Limbangan Wetan K: Syamsudin 75 3 Perguruan Trijaya Jl. Diponegoro 01 Salem K: Karyoto 40 Jumlah 2.284 21 KOTA PEKALONGAN: 1 Sapto Darmo Jl. Jend Sudirman 43 Pekalongan S: Suratman 18 2 Perguruan Ilmu Sejati Jl. Tentara Pelajar Gg VII/5 Pekalongan Utara Slamet Supriyantoko 300 Jumlah 318 22 KOTA TEGAL: 1 Perguruan Trijaya Jl. Layang 9 K: Etiko Kusjatmiko, S.H. 600 2 Pagngestu Mangkukusuman 17 RT 02/II K: Prayitno 80 3 Persada Jl. Bandeng 04 RT 04/X Tegalsari K: Arif Soenaryo 87 Jumlah 767 23 KOTA MAGELANG: 1 Hardo Pusoro Kp. Bungas, RT 03/01 Ngasem, Tegalreja Magelang Daliman 116 84 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 85 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 2 Paguyuban Ulah Rasa Batin (PURBA) Magersari, Mijil 345 S: Ilyas Sugeng, SP 250 Jumlah 366 24 KABUPATEN MAGELANG: 1 Kapribaden Kudusan, Tirto, Grabag S: Hadi Waryanto 50 2 Persada Gaten, Bondowoso, Mertoyudan K: Suwito Bintoro 385 3 Ngesthi Kasampurnan Mungkidan, Mertoyudan S: Kahono 500 4 Kejawen Urip Sejati Onggosoro, Giri Tengah, Borobudur K: Ki Kamijan 850 5 Ngudi Utomo Jawahan, Warurejo, Borobudur S: Ych. Suwarso 285 6 Hidup Betul Kadirejo RT 01/01 Muntilan S: Subiyanto - 7 Hardo Pusoro Sanggrahan, Glagahombo, Tegalrejo S/K: Alex Suparno 470 8 Sumarah Probolinggo, Gulon. Salam K: Mudakir 9 Paguyuban Kawruh Jiwo Cebongan, Mangunsari, Windusari K: Ki Trimo 10 Urip Sejati Wonogiri, Sapuan, Sawangan K: Ki Rekso Jiwo 11 Pangestu Jl. Pemuda 39A Pucungrejo, Muntilan K: I Wayan Kerto Pratiwa 12 Soggo Buwono Salon Juwita, Prajenan, Sumberejo, Mertoyudan K: Budi Utomo Jumlah 2.540 Jumlah 6.780 20 KABUPATEN BREBES: 1 Paguyuban Medal Urip Ds. Wanasari RT 05/02 Brebes K: Murani 2.169 2 Nooemanto Jl. Bali 206 Limbangan Wetan K: Syamsudin 75 3 Perguruan Trijaya Jl. Diponegoro 01 Salem K: Karyoto 40 Jumlah 2.284 21 KOTA PEKALONGAN: 1 Sapto Darmo Jl. Jend Sudirman 43 Pekalongan S: Suratman 18 2 Perguruan Ilmu Sejati Jl. Tentara Pelajar Gg VII/5 Pekalongan Utara Slamet Supriyantoko 300 Jumlah 318 22 KOTA TEGAL: 1 Perguruan Trijaya Jl. Layang 9 K: Etiko Kusjatmiko, S.H. 600 2 Pagngestu Mangkukusuman 17 RT 02/II K: Prayitno 80 3 Persada Jl. Bandeng 04 RT 04/X Tegalsari K: Arif Soenaryo 87 Jumlah 767 23 KOTA MAGELANG: 1 Hardo Pusoro Kp. Bungas, RT 03/01 Ngasem, Tegalreja Magelang Daliman 116 86 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 87 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 27 KABUPTEN KEBUMEN: 1 Paguyuban Pancasila Grenggeng RT 03/08 Karanganyar Kebumen K: Rejowitono 95 2 Paguyuban Sukmo Sejati Jl. Guyangan Petanahan Km. 1 Kebumen S: Drs. Sukiman 60 Kr. Wuni RT 01/RW 03 Purwodeso, Sruweng S: Drs. Sukiman 20 3 Jaya Sempurna Karangmaja, Karanganyar K: Warsa Sarwadiwangsa 674 4 Paguyuban Jawa Sejati Jl. Sulawesi Gombong K: Sanmardi 700 5 Paguyuban Budaya Bangsa Jl. Sumatra 9 RT 02 Wonokriyo K: Aji Caroko 4.000 6 Pandan Wangi Krenceng, Pandansari Sruweng Kebumen K: Ki Sunu 80 7 MAPAN (Resi Sangga Buana) Grenggeng RT 03/RW 8 Karanganyar S: Jasmin SW 90 8 PERSADA Sempor, Gombong K: Partimi 200 9 Tri Luhur Grenggeng RT 01/RW 10 Karanganyar K: Sakirin 12 10 Sumarah Jl. Ampera 47 Karanganyar K: Drs. Suwondo 11 Pangestu Ds. Panjer, Kebumen K: Drs. Kundari 100 Jumlah 6.031 28 KABUPATEN WONOSOBO: 1 Tunggul Sabdo Jati Binangun, Mudal, Mojotengah, Wonosobo P: Sarno Kusnandar 7.000 Kalierang, Selomerto K: Sarno 5.000 2 Perjalanan Tri Luhur Jl. Raya Dieng 088 Garung Wonosobo S: H. Slamet Much Ridwan 350 25 KABUPATEN PURWOREJO: 1 Hardo Pusoro Kemanukan, Bagelen, Purworejo S: Prof. Damarjati Supajar 350 2 Setya Budi Perjanjian 45 Jl. Setia Budi 52 Sindurjan Purworejo S: Ny. Sastrosarjono 1.227 3 SUBUD Jl. Kesatriyan 23 Purworejo K: Dra. Siti Chomsatun 49 4 Persada Jl. Urip Sumoharjo 267 K: Sutopo HP 1.027 5 PURWO AYU MARDI UTOMO Jl. Kantor Pos 14A Kutoarjo K: Umar Marjono 61 6 Imbal Wacono RT 01/RW 01 Kedungsari S: Kartodihardjo 12 7 Pangestu Jl. Jend. Sudirman 31 S: Suripto Cokro Sumarto 57 8 Ngudi Utomo Depan pasar Grabag S: TM Sunaryo 113 9 Kawruh Naluri Batin Tulis Tanpa Kasunyatan Jati Ukirsari RT 02/RW 01 Grabag S: RBG Heru Waluyo 50 10 Pag. Muda Dharma Ploso, Tegalrejo, Banyuurip S: Pudjo 25 11 Kapribaden RT 03/RW 02 Semayan, Bajangrejo, Banyuurip S: Sonto Utomo 215 Jumlah 3.186 26 KABUPATEN TEMANGGUNG: 1 Hidup Betul Lamuk Gunung RT 02/RW 02 Legoksari Tlogomulyo S: Darsono 163 2 Cahyo Buana Tempuran, Lempuyang, Candiroto S: Suro 99 Jumlah 262 86 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 87 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 27 KABUPTEN KEBUMEN: 1 Paguyuban Pancasila Grenggeng RT 03/08 Karanganyar Kebumen K: Rejowitono 95 2 Paguyuban Sukmo Sejati Jl. Guyangan Petanahan Km. 1 Kebumen S: Drs. Sukiman 60 Kr. Wuni RT 01/RW 03 Purwodeso, Sruweng S: Drs. Sukiman 20 3 Jaya Sempurna Karangmaja, Karanganyar K: Warsa Sarwadiwangsa 674 4 Paguyuban Jawa Sejati Jl. Sulawesi Gombong K: Sanmardi 700 5 Paguyuban Budaya Bangsa Jl. Sumatra 9 RT 02 Wonokriyo K: Aji Caroko 4.000 6 Pandan Wangi Krenceng, Pandansari Sruweng Kebumen K: Ki Sunu 80 7 MAPAN (Resi Sangga Buana) Grenggeng RT 03/RW 8 Karanganyar S: Jasmin SW 90 8 PERSADA Sempor, Gombong K: Partimi 200 9 Tri Luhur Grenggeng RT 01/RW 10 Karanganyar K: Sakirin 12 10 Sumarah Jl. Ampera 47 Karanganyar K: Drs. Suwondo 11 Pangestu Ds. Panjer, Kebumen K: Drs. Kundari 100 Jumlah 6.031 28 KABUPATEN WONOSOBO: 1 Tunggul Sabdo Jati Binangun, Mudal, Mojotengah, Wonosobo P: Sarno Kusnandar 7.000 Kalierang, Selomerto K: Sarno 5.000 2 Perjalanan Tri Luhur Jl. Raya Dieng 088 Garung Wonosobo S: H. Slamet Much Ridwan 350 25 KABUPATEN PURWOREJO: 1 Hardo Pusoro Kemanukan, Bagelen, Purworejo S: Prof. Damarjati Supajar 350 2 Setya Budi Perjanjian 45 Jl. Setia Budi 52 Sindurjan Purworejo S: Ny. Sastrosarjono 1.227 3 SUBUD Jl. Kesatriyan 23 Purworejo K: Dra. Siti Chomsatun 49 4 Persada Jl. Urip Sumoharjo 267 K: Sutopo HP 1.027 5 PURWO AYU MARDI UTOMO Jl. Kantor Pos 14A Kutoarjo K: Umar Marjono 61 6 Imbal Wacono RT 01/RW 01 Kedungsari S: Kartodihardjo 12 7 Pangestu Jl. Jend. Sudirman 31 S: Suripto Cokro Sumarto 57 8 Ngudi Utomo Depan pasar Grabag S: TM Sunaryo 113 9 Kawruh Naluri Batin Tulis Tanpa Kasunyatan Jati Ukirsari RT 02/RW 01 Grabag S: RBG Heru Waluyo 50 10 Pag. Muda Dharma Ploso, Tegalrejo, Banyuurip S: Pudjo 25 11 Kapribaden RT 03/RW 02 Semayan, Bajangrejo, Banyuurip S: Sonto Utomo 215 Jumlah 3.186 26 KABUPATEN TEMANGGUNG: 1 Hidup Betul Lamuk Gunung RT 02/RW 02 Legoksari Tlogomulyo S: Darsono 163 2 Cahyo Buana Tempuran, Lempuyang, Candiroto S: Suro 99 Jumlah 262 88 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 89 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 2 PEBM Getasan, Glodogan, Klaten Selatan K: Drs. Wusono 625 3 PKKP Gempol, Kadilangu, Wedi K: Suyanto, S., Pd. 700 4 Ngudi Utomo Canan, Wedi K: Y. Slamet Widodo 98 5 Swatmoyo Boto, Wonosari, Delanggu K: Sukro Pranotosiswo, BA 437 6 Sumarah Klepu, Ceper K: Warsono 137 7 Kawruhono Kadilaju, Karangnongko K: Samijo 176 8 Kepribadian Taji RT 02/RW 01, Prambanan K: Ny. Sumantri 87 9 Sapto Darmo Karanganom, Klaten Utara K: Tugiyo TS 926 10 Perjalanan Gereh, Kadilaju, Karangnongko K: Sudirman 567 11 Pangestu Cokro. Daleman, Tulung K: Lumintu 1.054 Jumlah 6.182 31 KABUPATEN WONOGIRI: 1 Waspodo Jl. Mawar Pokoh RT 02/I Wonoboyo S: Sujud Hadiatmojo 1.900 Ngargosari, Tirto,oyo K: Soelarso 2 Hardo Busoro Mlokomanis, Ngadirojo K:Paino 3 Mapan Budi Jl. Ir. Sutamo 11/2 Wonogiri K: Harso Susanto 4 Pangestu Jl. Bima VI Wonokarto Telp. 321013 K: C. Soerojo 5 Margaluyu Kedungringin K: Nadi, Bc. Hk. 6 Sumarah Giripurwo RT 02/01 Wonogiri K: Sriyanto 3 Pangestu Betengsari 53 Wonosobo K: Subiyoto 950 4 Ngudi Utomo G. Kopensari RT 05/01 Anggrung Gondol Kertek S: Ych. Suwarso 114 Ds. Anggunggondok Reco K: Sukono W 72 5 Hidup Betul Wulungsari, Selomerto K: Yoso Utomo 40 6 Seserepan Kepribadian Intisari Jl. Kol Karjono 135 S: Joyo Tego 48 7 SKI 45 Kp. Stasiun K: Wahyono 50 8 SUBUD Ngadikusuman – Kertek K: Sunaryo Budi H 35 9 Sapto Darmo Jonggolsari, Leksono K: Sumarjo 55 10 Sumber Nyowo Binangun, Wringinanom, Kertek K: Panji Susanto 45 Jumlah 4 13.759 29 KOTA SURAKARTA: 1 Purnomo Sidi Jl. Senopati Kedunglumbu Surakarta S: Khaelane Jaelani 13 2 PKKP Jantirejo RT 01/RW 15 Surakarta K: Djumadi 50 3 Papandaya Jl. Diponegoro S: Sahid 90 4 Pelajar Kawruh Jiwa Jl. Sibela Raya 47 RT 04/RW 24 Perumnas Mojosongo K: Argo Mudharso, A. M.D 30 Jumlah 183 30 KABUPATEN KLATEN: 1 Kapribaden Ds. Kebon, Bayat Klaten K: Projosugito 1.375 88 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 89 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 2 PEBM Getasan, Glodogan, Klaten Selatan K: Drs. Wusono 625 3 PKKP Gempol, Kadilangu, Wedi K: Suyanto, S., Pd. 700 4 Ngudi Utomo Canan, Wedi K: Y. Slamet Widodo 98 5 Swatmoyo Boto, Wonosari, Delanggu K: Sukro Pranotosiswo, BA 437 6 Sumarah Klepu, Ceper K: Warsono 137 7 Kawruhono Kadilaju, Karangnongko K: Samijo 176 8 Kepribadian Taji RT 02/RW 01, Prambanan K: Ny. Sumantri 87 9 Sapto Darmo Karanganom, Klaten Utara K: Tugiyo TS 926 10 Perjalanan Gereh, Kadilaju, Karangnongko K: Sudirman 567 11 Pangestu Cokro. Daleman, Tulung K: Lumintu 1.054 Jumlah 6.182 31 KABUPATEN WONOGIRI: 1 Waspodo Jl. Mawar Pokoh RT 02/I Wonoboyo S: Sujud Hadiatmojo 1.900 Ngargosari, Tirto,oyo K: Soelarso 2 Hardo Busoro Mlokomanis, Ngadirojo K:Paino 3 Mapan Budi Jl. Ir. Sutamo 11/2 Wonogiri K: Harso Susanto 4 Pangestu Jl. Bima VI Wonokarto Telp. 321013 K: C. Soerojo 5 Margaluyu Kedungringin K: Nadi, Bc. Hk. 6 Sumarah Giripurwo RT 02/01 Wonogiri K: Sriyanto 3 Pangestu Betengsari 53 Wonosobo K: Subiyoto 950 4 Ngudi Utomo G. Kopensari RT 05/01 Anggrung Gondol Kertek S: Ych. Suwarso 114 Ds. Anggunggondok Reco K: Sukono W 72 5 Hidup Betul Wulungsari, Selomerto K: Yoso Utomo 40 6 Seserepan Kepribadian Intisari Jl. Kol Karjono 135 S: Joyo Tego 48 7 SKI 45 Kp. Stasiun K: Wahyono 50 8 SUBUD Ngadikusuman – Kertek K: Sunaryo Budi H 35 9 Sapto Darmo Jonggolsari, Leksono K: Sumarjo 55 10 Sumber Nyowo Binangun, Wringinanom, Kertek K: Panji Susanto 45 Jumlah 4 13.759 29 KOTA SURAKARTA: 1 Purnomo Sidi Jl. Senopati Kedunglumbu Surakarta S: Khaelane Jaelani 13 2 PKKP Jantirejo RT 01/RW 15 Surakarta K: Djumadi 50 3 Papandaya Jl. Diponegoro S: Sahid 90 4 Pelajar Kawruh Jiwa Jl. Sibela Raya 47 RT 04/RW 24 Perumnas Mojosongo K: Argo Mudharso, A. M.D 30 Jumlah 183 30 KABUPATEN KLATEN: 1 Kapribaden Ds. Kebon, Bayat Klaten K: Projosugito 1.375 90 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 91 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 5 Pangestu Jl. Brigrjen Katamso 67 Sukoharjo K: Drs. Satiman 150 Bangsan RT 01/II Jetis Telp. 0271 593791 K: Drs. Satiman 260 Jl. Raya Serang 11 Larangan, Gayam K: Sindoe Hardjono 300 Jl. Candirejo RT 02/08 Joho, Mojolaban Telp. 0271 611270 K: Suharto 37 Windan RT 01/07 Gumpang, Kartosuo K: Hadi Soekarni Soedirdjo 72 6 PERSADA Jetis RT 02/X Ponowaren Tawangsari K: Suhono 708 Mamengan RT 03/04 Weru K: Murdiyo Sunarto 38 Banmati RT 03/04 Sukoharjo K: Hadi Sutarno 60 Nguter RT 02/07 Nguter K: Sunardi 16 Gadingan RT 03/10 Jombor, Bendansari Telp 0271 593690 K: Suwartono 46 Bulak RT 01/04 Dukuh, Mojolaban K: Narmin Budiwiyono 10 Soko RT 02/03 Baki K: Sardi Sastro Diharjo 30 Purbayan RT 02/03 Baki K: Harjo Semito 22 Cupitan, Luwang, Gatak K: Haryanto 396 Mendorakan RT 02/054 Wirogunan, Kartosuro K: Wagiyo 22 7 Pag. Kawruh Kodrating Pangeran Tegalmulyo, Pabelan, Kartosura K: Mujiyono 65 Jumlah 13.184 7 PERSADA Jl. Perwakilan 4 Sanggrahan Giripurwo K: Sarman Wiyono Jumlah 1.900 32 KABUPATEN SUKOHARJO: 1 Kapribaden Kayen, Sonorejo, Sukoharjo S: Sumarwan 26 Mojo RT 01/08 Gayam Telp. 0271 591544 K: Sunarwan Hadi P 200 2 Perhimpunan Perikemanusiaan Mancasan RT 03/05 Baki Sukoharjo K: Suradi 67 3 Perguruan Ilmu Sejati Sirahan RT 03/RW 07 Pundungrejo Tawangsari K: Mulyono 10.135 4 Paguyuban Sumarah Jl. Jawa 4 Jombor kota Sukoharjo S: Sikam Siswokamto, BA 262 Mamengan RT 02/08 Krajan, Weru K: Suranto Hardiwiranto 35 Peron RT 01/1 Bulu Telp. 0272 881178 K: Suyadi, HS 113 Pundungrejo RT 01/1 Bulu K: Tiknyo Sudiarso 34 Jl. Nangka 36 K: Sudarno 25 Gunungan RT 03/IX Nguter K: Siswo Sukamto 20 Jl. Raya Grogol 99 Madegondo Telp. 0271 20541 K: Sunardji 35 90 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 91 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 5 Pangestu Jl. Brigrjen Katamso 67 Sukoharjo K: Drs. Satiman 150 Bangsan RT 01/II Jetis Telp. 0271 593791 K: Drs. Satiman 260 Jl. Raya Serang 11 Larangan, Gayam K: Sindoe Hardjono 300 Jl. Candirejo RT 02/08 Joho, Mojolaban Telp. 0271 611270 K: Suharto 37 Windan RT 01/07 Gumpang, Kartosuo K: Hadi Soekarni Soedirdjo 72 6 PERSADA Jetis RT 02/X Ponowaren Tawangsari K: Suhono 708 Mamengan RT 03/04 Weru K: Murdiyo Sunarto 38 Banmati RT 03/04 Sukoharjo K: Hadi Sutarno 60 Nguter RT 02/07 Nguter K: Sunardi 16 Gadingan RT 03/10 Jombor, Bendansari Telp 0271 593690 K: Suwartono 46 Bulak RT 01/04 Dukuh, Mojolaban K: Narmin Budiwiyono 10 Soko RT 02/03 Baki K: Sardi Sastro Diharjo 30 Purbayan RT 02/03 Baki K: Harjo Semito 22 Cupitan, Luwang, Gatak K: Haryanto 396 Mendorakan RT 02/054 Wirogunan, Kartosuro K: Wagiyo 22 7 Pag. Kawruh Kodrating Pangeran Tegalmulyo, Pabelan, Kartosura K: Mujiyono 65 Jumlah 13.184 7 PERSADA Jl. Perwakilan 4 Sanggrahan Giripurwo K: Sarman Wiyono Jumlah 1.900 32 KABUPATEN SUKOHARJO: 1 Kapribaden Kayen, Sonorejo, Sukoharjo S: Sumarwan 26 Mojo RT 01/08 Gayam Telp. 0271 591544 K: Sunarwan Hadi P 200 2 Perhimpunan Perikemanusiaan Mancasan RT 03/05 Baki Sukoharjo K: Suradi 67 3 Perguruan Ilmu Sejati Sirahan RT 03/RW 07 Pundungrejo Tawangsari K: Mulyono 10.135 4 Paguyuban Sumarah Jl. Jawa 4 Jombor kota Sukoharjo S: Sikam Siswokamto, BA 262 Mamengan RT 02/08 Krajan, Weru K: Suranto Hardiwiranto 35 Peron RT 01/1 Bulu Telp. 0272 881178 K: Suyadi, HS 113 Pundungrejo RT 01/1 Bulu K: Tiknyo Sudiarso 34 Jl. Nangka 36 K: Sudarno 25 Gunungan RT 03/IX Nguter K: Siswo Sukamto 20 Jl. Raya Grogol 99 Madegondo Telp. 0271 20541 K: Sunardji 35 92 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 93 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 4 Paguyuban Kawruh Kodrating Pangeran Tlawong, Sawit S: Sumiyati 87 5 Paguyuban Pangudi Karohanen Mahayana Tlawa, Pecukan, Juwangi K: Taru Sudarmo 50 6 Pag. Sumarah Sarirejo, Bendosari, Sawit K: S. Yitno Subroto 78 7 Pelajar Kawruh Jiwa Tempuran, Kalinanas, Wonosegoro K: Harsono 578 8 Perguruan Ilmu Sejati Jl. Kutilang, Banaran K: E. Sutikno 102 9 PERSADA Jl. Cendana Boyolali K: Temu Marto 57 10 Esa Tunggal Sejati Jl. Raya 19 Ampel Boyolali K: Suratman HW 87 11 Purnomo Sidi Gumukrejo, Banyudono K: Parmo 75 12 Yayasan Prono Jati Jl. Pandanarang 139 Boyolalo K: Rudi Jumlah 3.022 Jumlah seluruhnya 188.116 Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Data penghayat kepercayaan di atas, dapat ditafsirkan menjadi tiga, pertama adalah apakah penghayat kepercayaan murni, dalam arti penghayat kepercayaan tersebut tidak berinduk atau menganut pada salah satu agama resmi (agama yang sudah mendapat pengakuan legalitas dari negara) di Indonesia; kedua, penghayat kepercayaan tersebut menganut salah satu agama resmi, karena belum ada pengakuan dari negara penghayat kepercayaan dijadikan agama, maka untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang 33 KABUPATEN KARANGANYAR: 1 Padepokan Telaga Biru Kalongan, Gerdu, Karangpandan, Karanganyar S: Sularto 50 2 Trijaya Cangakan Timur Rt 01/Rw03 Karanganyar K: Sujimin 118 3 Sumarah Colomadu K: Wignyo Larsito 98 4 Sapto Darmo Tuban, Gondangrejo K: Sugito 540 Selokaton, Gondangrejo K: Heru Sayoto 425 5 Kapribaden Jl. Lawu Kandang Menjangan RT 04/47 Karangpandan K: Sardjo Gondosarjono 155 6 Ilmu Sejati Tanen, Kemuning Ngargoyoso K: Kartono 218 7 Putro Wayah Lawu Tegalasri, Bejen, Karanganyar K: Ir. Sunarto 120 Jumlah 1.724 34 KABUPATEN SRAGEN: 35 KABUPATEN BOYOLALI: 1 Perjalanan Ds. Kalimati, Juwangi, Boyolali S: Sugeng 25 Pondok, Kalimati, Juwangi K: Mulyodikromo 58 2 Paguyuban Eklasing Budi Murko Ngipik Karanganyar, Musuk, Boyolali K: R. Sumarsono 1.200 3 Pangestu Karanggeneng, Boyolali S: Suyasa 550 Jl. Donowarih Boyolali K: Haryanti 75 92 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 93 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional 4 Paguyuban Kawruh Kodrating Pangeran Tlawong, Sawit S: Sumiyati 87 5 Paguyuban Pangudi Karohanen Mahayana Tlawa, Pecukan, Juwangi K: Taru Sudarmo 50 6 Pag. Sumarah Sarirejo, Bendosari, Sawit K: S. Yitno Subroto 78 7 Pelajar Kawruh Jiwa Tempuran, Kalinanas, Wonosegoro K: Harsono 578 8 Perguruan Ilmu Sejati Jl. Kutilang, Banaran K: E. Sutikno 102 9 PERSADA Jl. Cendana Boyolali K: Temu Marto 57 10 Esa Tunggal Sejati Jl. Raya 19 Ampel Boyolali K: Suratman HW 87 11 Purnomo Sidi Gumukrejo, Banyudono K: Parmo 75 12 Yayasan Prono Jati Jl. Pandanarang 139 Boyolalo K: Rudi Jumlah 3.022 Jumlah seluruhnya 188.116 Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Data penghayat kepercayaan di atas, dapat ditafsirkan menjadi tiga, pertama adalah apakah penghayat kepercayaan murni, dalam arti penghayat kepercayaan tersebut tidak berinduk atau menganut pada salah satu agama resmi (agama yang sudah mendapat pengakuan legalitas dari negara) di Indonesia; kedua, penghayat kepercayaan tersebut menganut salah satu agama resmi, karena belum ada pengakuan dari negara penghayat kepercayaan dijadikan agama, maka untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang 33 KABUPATEN KARANGANYAR: 1 Padepokan Telaga Biru Kalongan, Gerdu, Karangpandan, Karanganyar S: Sularto 50 2 Trijaya Cangakan Timur Rt 01/Rw03 Karanganyar K: Sujimin 118 3 Sumarah Colomadu K: Wignyo Larsito 98 4 Sapto Darmo Tuban, Gondangrejo K: Sugito 540 Selokaton, Gondangrejo K: Heru Sayoto 425 5 Kapribaden Jl. Lawu Kandang Menjangan RT 04/47 Karangpandan K: Sardjo Gondosarjono 155 6 Ilmu Sejati Tanen, Kemuning Ngargoyoso K: Kartono 218 7 Putro Wayah Lawu Tegalasri, Bejen, Karanganyar K: Ir. Sunarto 120 Jumlah 1.724 34 KABUPATEN SRAGEN: 35 KABUPATEN BOYOLALI: 1 Perjalanan Ds. Kalimati, Juwangi, Boyolali S: Sugeng 25 Pondok, Kalimati, Juwangi K: Mulyodikromo 58 2 Paguyuban Eklasing Budi Murko Ngipik Karanganyar, Musuk, Boyolali K: R. Sumarsono 1.200 3 Pangestu Karanggeneng, Boyolali S: Suyasa 550 Jl. Donowarih Boyolali K: Haryanti 75 94 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 95 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dapat mencatatkan perkawinan disertai surat keterangan peristiwa perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Temuan penelitian di Provinsi Kalimantan Barat menemukan fakta lain terkait perkawinan adat yang yang banyak dilakukan masyarakat etnis Tionghoa. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Suku Sasak) mengenal kawin lari (Melari). Proses Melari ini dapat terjadi dugaan adanya pelanggaran hak perempuan, karena bisa saja gadis tersebut telah disetubuhi oleh laki-laki yang telah membawanya. Dalam penelitian di Provinsi Papua, pernikahan umumnya belum diberkati di gereja, namun telah sah secara adat. Hal semacam ini di Kalimantan Barat bahkan menjadi modus bagi tindak pidana perdagangan orang dan penyelundupan hukum dalam kasus kawin kontrak, kawin foto dan pengantin pesanan. Pihak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah perempuan dan anak, terutama terkait status keperdataan mereka dalam hak na ah dan perwalian yang tidak bisa dituntut secara hukum. Mengacu pada kovenan internasional, kondisi tersebut di atas tentu menjadi pelanggaran HAM, karena sebagaimana telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16 bahwa perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. 1. Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan 1. Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan Masalah legalitas perkawinan juga berdampak serius saat terjadi pelanggaran HAM, dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga, khususnya jika korbannya adalah perempuan dan anak. mempunyai agama, mereka penganut salah satu agama; ketiga, penghayat kepercayaan meyakini bahwa semua agama itu adalah baik, sehingga sebagai seseorang penghayat kepercayaan meyakini semua agama, tetapi tidak mungkin memeluk semua agama itu dalam bentuk pengakuan legal, yang bisa dilakukan meyakini dalam hati atau diteruskan sampai bentuk legalitasnya, tetapi hanya salah satu agama saja yang dipilih. Pada dasarnya, setiap pemeluk agama resmi boleh melakukan perkawinan, hal ini sudah diatur dalam undang-undang. Permasalahan terjadi, apabila yang melakukan perkawinan adalah penghayat kepercayaan. Pemerintah sudah mengakomodir dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Aminduk), yaitu perkawinan itu mendapat pengesahan di pengadilan. Hal yang sama, ditegaskan oleh Kepala Sub Bidang Kepercayaan (Setyono), para penganut aliran/penghayat kepercayaan dapat mencatatkan dan melaporkan perkawinan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (termasuk perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri), aturan hukumnya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan oleh Negara Lain. Dasar pelaksanaan dengan menyertakan surat keterangan terja- dinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Mekanisme penunjukan pemuka penghayat kepercayaan, melalui pengusulan oleh organisasi penghayat kepercayaan yang ditujukan kepada Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hasilnya berupa Surat Keputusan menjadi pemuka penghayat dengan tembusan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi. Begitu pula, bagi warga negara asing penganut penghayat kepercayaan, 94 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 95 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dapat mencatatkan perkawinan disertai surat keterangan peristiwa perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Temuan penelitian di Provinsi Kalimantan Barat menemukan fakta lain terkait perkawinan adat yang yang banyak dilakukan masyarakat etnis Tionghoa. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Suku Sasak) mengenal kawin lari (Melari). Proses Melari ini dapat terjadi dugaan adanya pelanggaran hak perempuan, karena bisa saja gadis tersebut telah disetubuhi oleh laki-laki yang telah membawanya. Dalam penelitian di Provinsi Papua, pernikahan umumnya belum diberkati di gereja, namun telah sah secara adat. Hal semacam ini di Kalimantan Barat bahkan menjadi modus bagi tindak pidana perdagangan orang dan penyelundupan hukum dalam kasus kawin kontrak, kawin foto dan pengantin pesanan. Pihak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah perempuan dan anak, terutama terkait status keperdataan mereka dalam hak na ah dan perwalian yang tidak bisa dituntut secara hukum. Mengacu pada kovenan internasional, kondisi tersebut di atas tentu menjadi pelanggaran HAM, karena sebagaimana telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 16 bahwa perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. 1. Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan 1. Masalah KDRT dan Legalitas Perkawinan Masalah legalitas perkawinan juga berdampak serius saat terjadi pelanggaran HAM, dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga, khususnya jika korbannya adalah perempuan dan anak. mempunyai agama, mereka penganut salah satu agama; ketiga, penghayat kepercayaan meyakini bahwa semua agama itu adalah baik, sehingga sebagai seseorang penghayat kepercayaan meyakini semua agama, tetapi tidak mungkin memeluk semua agama itu dalam bentuk pengakuan legal, yang bisa dilakukan meyakini dalam hati atau diteruskan sampai bentuk legalitasnya, tetapi hanya salah satu agama saja yang dipilih. Pada dasarnya, setiap pemeluk agama resmi boleh melakukan perkawinan, hal ini sudah diatur dalam undang-undang. Permasalahan terjadi, apabila yang melakukan perkawinan adalah penghayat kepercayaan. Pemerintah sudah mengakomodir dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Aminduk), yaitu perkawinan itu mendapat pengesahan di pengadilan. Hal yang sama, ditegaskan oleh Kepala Sub Bidang Kepercayaan (Setyono), para penganut aliran/penghayat kepercayaan dapat mencatatkan dan melaporkan perkawinan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (termasuk perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri), aturan hukumnya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan oleh Negara Lain. Dasar pelaksanaan dengan menyertakan surat keterangan terja- dinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan. Mekanisme penunjukan pemuka penghayat kepercayaan, melalui pengusulan oleh organisasi penghayat kepercayaan yang ditujukan kepada Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hasilnya berupa Surat Keputusan menjadi pemuka penghayat dengan tembusan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi. Begitu pula, bagi warga negara asing penganut penghayat kepercayaan, 96 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 97 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional korban untuk memperkarakannya. Biasanya mereka menasehati agar menyelesaikan pekara ini, memohon agar bersabar dan terkadang mengingatkan nasib-nasib anak-anaknya. Berarti disini memamg masih kuat nilai yang tertanam dalam masyarakat bahwa sejak kecil seorang isteri harus selalu mendampingi suami, apapun yang terjadi, keterikatan yang kuat dan rasa tak berdaya, menjadi alasan para isteri untuk tidak mengadukan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Dalam Undang-Undang ini, kekerasan terhadap perempuan dirumuskan sebagai: ”Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fi sik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Undang-Undang tersebut juga merumuskan upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagai jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sayangnya, dalam praktek penggunaan Undang-Undang Penghapusan KDRT ini hanya berlaku bagi rumah tangga dengan perkawinan yang sah dengan ditunjukkan adalah akta perkawinan. Jika legalitas perkawinan tidak terpenuhi, perempuan dan anak yang paling banyak menjadi korban dalam KDRT akhirnya akan sulit untuk memproses hukum dan memperoleh hak-haknya, meski telah hidup dalam rumah tangga dalam kurun waktu yang cukup lama. Ini kembali menunjukkan kelemahan implementasi hukum nasional di Indonesia yang gagal memberikan perlindungan bagi Kekerasan dalam rumah tangga telah lama menjadi perhatian karena data-data korban yang terus meningkat secara signi fi kan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pengaturan mengenai upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga merupakan terobosan hukum karena mengatur ruang privat dalam hal ini rumah tangga menjadi sesuatu yang diatur oleh negara. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang ini, kasus kekerasan terhadap perempuan diatur seperti tindak pidana pada umumnya menggunakan KUHPerdata. Namun dalam proses hukum seringkali vonis di pengadilan tidak memberikan keadilan bagi korban karena sanksi hukum yang ringan. Di samping itu, sejumlah bentuk kekerasan fi sik lainnya ternyata tidak diberi sanksi pidana, akibatnya, meski telah jatuh korban dari pihak perempuan, tidak dapat dilakukan tindakan hukum apapun terhadap pelakunya, misalnya incest, perkosaan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual21. Kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah wacana yang memprihatinkan karena banyak menimpa kaum perempuan, dan pelakunya adalah suaminya sendiri. Masalah ini ada kalanya menjadi kompleks karena korban enggan melapor karena selain untuk melindungi suaminya sendiri, mereka berharap sang suami suatu saat dapat berubah tidak melakukan kekerasan lagi, meski harapan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan. Masyarakat sendiripun terutama keluarga pada umumnya tidak memotivasi si 21 Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan. PT Alumni 2000 96 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 97 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional korban untuk memperkarakannya. Biasanya mereka menasehati agar menyelesaikan pekara ini, memohon agar bersabar dan terkadang mengingatkan nasib-nasib anak-anaknya. Berarti disini memamg masih kuat nilai yang tertanam dalam masyarakat bahwa sejak kecil seorang isteri harus selalu mendampingi suami, apapun yang terjadi, keterikatan yang kuat dan rasa tak berdaya, menjadi alasan para isteri untuk tidak mengadukan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Dalam Undang-Undang ini, kekerasan terhadap perempuan dirumuskan sebagai: ”Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fi sik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Undang-Undang tersebut juga merumuskan upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagai jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sayangnya, dalam praktek penggunaan Undang-Undang Penghapusan KDRT ini hanya berlaku bagi rumah tangga dengan perkawinan yang sah dengan ditunjukkan adalah akta perkawinan. Jika legalitas perkawinan tidak terpenuhi, perempuan dan anak yang paling banyak menjadi korban dalam KDRT akhirnya akan sulit untuk memproses hukum dan memperoleh hak-haknya, meski telah hidup dalam rumah tangga dalam kurun waktu yang cukup lama. Ini kembali menunjukkan kelemahan implementasi hukum nasional di Indonesia yang gagal memberikan perlindungan bagi Kekerasan dalam rumah tangga telah lama menjadi perhatian karena data-data korban yang terus meningkat secara signi fi kan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pengaturan mengenai upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga merupakan terobosan hukum karena mengatur ruang privat dalam hal ini rumah tangga menjadi sesuatu yang diatur oleh negara. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang ini, kasus kekerasan terhadap perempuan diatur seperti tindak pidana pada umumnya menggunakan KUHPerdata. Namun dalam proses hukum seringkali vonis di pengadilan tidak memberikan keadilan bagi korban karena sanksi hukum yang ringan. Di samping itu, sejumlah bentuk kekerasan fi sik lainnya ternyata tidak diberi sanksi pidana, akibatnya, meski telah jatuh korban dari pihak perempuan, tidak dapat dilakukan tindakan hukum apapun terhadap pelakunya, misalnya incest, perkosaan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual21. Kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah wacana yang memprihatinkan karena banyak menimpa kaum perempuan, dan pelakunya adalah suaminya sendiri. Masalah ini ada kalanya menjadi kompleks karena korban enggan melapor karena selain untuk melindungi suaminya sendiri, mereka berharap sang suami suatu saat dapat berubah tidak melakukan kekerasan lagi, meski harapan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan. Masyarakat sendiripun terutama keluarga pada umumnya tidak memotivasi si 21 Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan. PT Alumni 2000 98 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 99 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional pada hilangnya hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya yang lengkap. D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Ada kalanya sebuah perkawinan tidak berjalan dengan baik hingga akhirnya berakhir dengan perceraian karena berbagai alasan. Meski perkawinan telah berakhir, hak-hak yang melekat pada semua pihak akibat perkawinan sebelumnya tetap melekat sejauh tidak diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. MenurutUndang-Undang Perkawinan, pada dasarnya suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Namun secara khusus hak-hak perempuan sebagai isteri antara lain: 1. Mendapatkan pemenuhan biaya hidup, biaya perawatan dan biaya pengobatan dari suami; 2. Mendapatkan pemenuhan kebutuhan pakaian; 3. Mendapatkan tempat kediaman/tinggal sesuai kemampuan suami. Jika terjadi putusnya perkawinan kewajiban suami dan isteri diutamakan untuk memenuhi hak anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 sebagai berikut. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan warga negaranya, khususnya perempuan dan anak dan memenuhi hak-hak mereka sebagai korban. Dalam banyak kasus, perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan juga banyak menjadi kendala dalam implementasi kasus KDRT. 2. Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan 2. Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan Legalitas perkawinan juga memberikan pengakuan bagi status keperdataan anak yang dilahirkan dalam sebuah perkawinan. Ba- nyak masalah terjadi di Indonesia dimana anak sulit mendapatkan akta kelahiran karena orangtuanya tidak memiliki akta kelahiran. Meski dalam setahun terakhir kebijakan pemerintah telah mengijinkan anak yang lahir diluar perkawinan, termasuk yang perkawinannya tidak sah untuk mendapatkan akta kelahiran, namun fakta di lapangan hal ini masih belum dilaksanakan secara maksimal. Dalam praktek perkawinan di luar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUH Perdata. Ini tentu akan berimplikasi 98 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 99 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional pada hilangnya hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya yang lengkap. D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang D. Masalah Perceraian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Ada kalanya sebuah perkawinan tidak berjalan dengan baik hingga akhirnya berakhir dengan perceraian karena berbagai alasan. Meski perkawinan telah berakhir, hak-hak yang melekat pada semua pihak akibat perkawinan sebelumnya tetap melekat sejauh tidak diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. MenurutUndang-Undang Perkawinan, pada dasarnya suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Namun secara khusus hak-hak perempuan sebagai isteri antara lain: 1. Mendapatkan pemenuhan biaya hidup, biaya perawatan dan biaya pengobatan dari suami; 2. Mendapatkan pemenuhan kebutuhan pakaian; 3. Mendapatkan tempat kediaman/tinggal sesuai kemampuan suami. Jika terjadi putusnya perkawinan kewajiban suami dan isteri diutamakan untuk memenuhi hak anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 sebagai berikut. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan warga negaranya, khususnya perempuan dan anak dan memenuhi hak-hak mereka sebagai korban. Dalam banyak kasus, perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan juga banyak menjadi kendala dalam implementasi kasus KDRT. 2. Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan 2. Status Keperdataan Anak dan Legalitas Perkawinan Legalitas perkawinan juga memberikan pengakuan bagi status keperdataan anak yang dilahirkan dalam sebuah perkawinan. Ba- nyak masalah terjadi di Indonesia dimana anak sulit mendapatkan akta kelahiran karena orangtuanya tidak memiliki akta kelahiran. Meski dalam setahun terakhir kebijakan pemerintah telah mengijinkan anak yang lahir diluar perkawinan, termasuk yang perkawinannya tidak sah untuk mendapatkan akta kelahiran, namun fakta di lapangan hal ini masih belum dilaksanakan secara maksimal. Dalam praktek perkawinan di luar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUH Perdata. Ini tentu akan berimplikasi 100 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 101 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 2. Hak Mendapatkan Na ah Undang-Undang Perkawinan tidak secara speci fi k mengatur hak na ah bagi isetri yang bercerai ini. Pasal 41 point c dalam undang-undang tersebut hanya menjelaskan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Namun untuk yang beragama Islam dan bagi pegawai negeri memang ada ketentuan mengenai hal ini. Yakni untuk yang beragama Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sedangkan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 dinyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak maka bekas suami wajib: a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul (belum melakukan hubungan suami isteri); b. memberikan na ah, maskan dan kiswah kepada bekas istri dalam iddah kecuali bekas istri telah mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; 2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya peme- liharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bila- mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Aturan ini dalam prakteknya belum responsive terhadap pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Biasanya gugatan perceraian tidak hanya menggunakan Undang-Undang Perkawinan namun juga kompilasi Hukum Islam yang lebih khusus mengatur tentang pemenuhan hak, terutama bagi perempuan dan anak. Adapun hak-hak istri yang dapat dituntut dalam gugatan perceraian adalah sebagai berikut. 1. Hak Pemeliharaan Anak Dalam Undang-Undang Perkawinan telah diatur bahwa jika terjadi perceraian antara suami dan istri mempunyai hak yang sama untuk memelihara anak. Jika terjadi perselisihan, maka pengadilan dapat memutuskan siapa yang lebih berhak me- melihara anak tersebut. Namun dalam praktek di pengadilan, bagi anak yang masih di bawah umur, biasanya hak perwalian dan pemeliharaan diberikan langsung kepada ibunya. Seperti yang juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang menyatakan dalam hal terjadinya perceraian: 100 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 101 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 2. Hak Mendapatkan Na ah Undang-Undang Perkawinan tidak secara speci fi k mengatur hak na ah bagi isetri yang bercerai ini. Pasal 41 point c dalam undang-undang tersebut hanya menjelaskan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Namun untuk yang beragama Islam dan bagi pegawai negeri memang ada ketentuan mengenai hal ini. Yakni untuk yang beragama Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sedangkan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 dinyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak maka bekas suami wajib: a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul (belum melakukan hubungan suami isteri); b. memberikan na ah, maskan dan kiswah kepada bekas istri dalam iddah kecuali bekas istri telah mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; 2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya peme- liharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bila- mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Aturan ini dalam prakteknya belum responsive terhadap pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Biasanya gugatan perceraian tidak hanya menggunakan Undang-Undang Perkawinan namun juga kompilasi Hukum Islam yang lebih khusus mengatur tentang pemenuhan hak, terutama bagi perempuan dan anak. Adapun hak-hak istri yang dapat dituntut dalam gugatan perceraian adalah sebagai berikut. 1. Hak Pemeliharaan Anak Dalam Undang-Undang Perkawinan telah diatur bahwa jika terjadi perceraian antara suami dan istri mempunyai hak yang sama untuk memelihara anak. Jika terjadi perselisihan, maka pengadilan dapat memutuskan siapa yang lebih berhak me- melihara anak tersebut. Namun dalam praktek di pengadilan, bagi anak yang masih di bawah umur, biasanya hak perwalian dan pemeliharaan diberikan langsung kepada ibunya. Seperti yang juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang menyatakan dalam hal terjadinya perceraian: 102 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 103 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Tabel 3 Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Analisis Alasan perceraian Bahwa menurut Pasal 113 Kompilasi hukum Islam: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan. Bahwa menurut Pasal114 Kompilasi hukum Islam: Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Bahwa menurut Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam (KHI) jo Pasal 19 huruf f PP No 9 Tahun 1975, yang menjadi alasan dimungkinkannya perceraian, dinyatakan: ”Perceraian dapat terjadi karena Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yangsukar disembuhkan; Bahwa menurut Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan. Bahwa Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan defi nisi mengenai perceraian secara khusus. Bahwa merujuk dari alasan perceraian yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan dan juga kompilasi Hukum Islam, banyaknya kasus perceraian yang diakibatkan adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Baik itu kekerasan fi sik, psikis, penelantaran bahkan kekerasan seksual. dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil; c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuhnya apabila qobla al dukhul. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa putusan-putusan dalam gugatan perceraian akhirnya mengacu pada Kompilasi Hukum Islam yang lebih responsive pada pemenuhan hak korban. Lebih jelas mengenai perbandingan perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di bawah ini (Tabel 3 Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). 102 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 103 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Tabel 3 Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Analisis Alasan perceraian Bahwa menurut Pasal 113 Kompilasi hukum Islam: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan. Bahwa menurut Pasal114 Kompilasi hukum Islam: Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Bahwa menurut Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam (KHI) jo Pasal 19 huruf f PP No 9 Tahun 1975, yang menjadi alasan dimungkinkannya perceraian, dinyatakan: ”Perceraian dapat terjadi karena Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yangsukar disembuhkan; Bahwa menurut Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan. Bahwa Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan defi nisi mengenai perceraian secara khusus. Bahwa merujuk dari alasan perceraian yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan dan juga kompilasi Hukum Islam, banyaknya kasus perceraian yang diakibatkan adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Baik itu kekerasan fi sik, psikis, penelantaran bahkan kekerasan seksual. dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil; c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuhnya apabila qobla al dukhul. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa putusan-putusan dalam gugatan perceraian akhirnya mengacu pada Kompilasi Hukum Islam yang lebih responsive pada pemenuhan hak korban. Lebih jelas mengenai perbandingan perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di bawah ini (Tabel 3 Perbandingan Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). 104 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 105 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Hak dan kewajiban terhadap anak Bahwa berdasarkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan: ” Dalam hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan anak kepada anak untuk memilih antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; c. biaya pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya; Bahwa berdasarkan Pasal 41 Undang- Undang Perkawinan: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Bapak yang bertanggung- jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; Bahwa dalam KHI menegaskan bahwa anak yang berumur 12 tahun anak berada dalam asuhan ibunya. b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak laindan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih beratsetelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. sakah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankankewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak adaharapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami melanggar taklik talak; h. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. 104 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 105 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Hak dan kewajiban terhadap anak Bahwa berdasarkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan: ” Dalam hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan anak kepada anak untuk memilih antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; c. biaya pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya; Bahwa berdasarkan Pasal 41 Undang- Undang Perkawinan: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Bapak yang bertanggung- jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; Bahwa dalam KHI menegaskan bahwa anak yang berumur 12 tahun anak berada dalam asuhan ibunya. b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak laindan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih beratsetelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. sakah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankankewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak adaharapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami melanggar taklik talak; h. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. 106 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 107 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional a. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri Pengertian istilah perceraian Bahwa menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam: Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131. Bahwa menurut Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam 1. Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa iddah.Bahwa menurut Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam 2. Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. talak yang terjadi qabla al dukhul; b. talak dengan tebusan atahu khuluk; c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Tidak disebutkan secara terperinci Perceraian yang diajukan suami disebut permohonan talak dimana suami disebut pemohon dan istri disebut termohon, c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Pengajuan Perceraian Bahwa berdasarkan Pasal 136 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: 1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat: menentukan na ah yang harus ditanggung oleh suami; Menurut Pasal 39 Undang-Undang perkawinan bahwa: Perceraian hanya 1. dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk 2. melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tatacara 3. perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri 106 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 107 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional a. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri Pengertian istilah perceraian Bahwa menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam: Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131. Bahwa menurut Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam 1. Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa iddah.Bahwa menurut Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam 2. Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. talak yang terjadi qabla al dukhul; b. talak dengan tebusan atahu khuluk; c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Tidak disebutkan secara terperinci Perceraian yang diajukan suami disebut permohonan talak dimana suami disebut pemohon dan istri disebut termohon, c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Pengajuan Perceraian Bahwa berdasarkan Pasal 136 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: 1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat: menentukan na ah yang harus ditanggung oleh suami; Menurut Pasal 39 Undang-Undang perkawinan bahwa: Perceraian hanya 1. dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk 2. melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tatacara 3. perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri 108 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 109 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Bahwa menurut Pasal 124 Kompilasi Hukum Islam Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya. Bahwa menurut Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Bahwa berdasarkan Pasal 132Kompilasi Hukum Islam 1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerahhukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediamanbersama tanpa izin suami. 2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukangugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. Perceraian yang diajukan oleh istri disebut gugatan cerai dimana suami disebut tergugat dan istri disebut penggugat. Bahwa menurut Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam: Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya. Bahwa menurut Pasal 121 Kompilasi Hukum Islam Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Bahwa menurut Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam Talak bid`I adalahtalak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Bahwa menurut Pasal 123 Kompilasi Hukum Islam Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan 108 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 109 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Bahwa menurut Pasal 124 Kompilasi Hukum Islam Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya. Bahwa menurut Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Bahwa berdasarkan Pasal 132Kompilasi Hukum Islam 1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerahhukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediamanbersama tanpa izin suami. 2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukangugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. Perceraian yang diajukan oleh istri disebut gugatan cerai dimana suami disebut tergugat dan istri disebut penggugat. Bahwa menurut Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam: Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya. Bahwa menurut Pasal 121 Kompilasi Hukum Islam Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Bahwa menurut Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam Talak bid`I adalahtalak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Bahwa menurut Pasal 123 Kompilasi Hukum Islam Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan 110 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 111 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Bahwa berdasarkan Pasal 159 Kompilasi Hukum Islam: Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158 Bahwa berdasarkan Pasal 160 Kompilasi Hukum Islam: Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Sumber : Analisa Tim Dalam praktik, pemenuhan kewajiban mantan suami pasca perceraian tak selamanya berjalan dengan baik. Banyak isteri yang tak dina ahi pasca perceraian. Putusan pengadilan agama yang mewajibkan suami membayar biaya-biaya tersebut masih sering diabaikan. Perempuan korban perceraian seringkali mempertanyakan eksekusi putusan pengadilan agama. Eksekusi putusan pengadilan atas harta bersama lebih mudah ketimbang pemenuhan hak na ah. Banyak sekali kasus-kasus pasca perceraian dimana isteri itu tidak mendapatkan na ah, meskipun itu sudah diputuskan di pengadilan. Pemenuhan kewajiban itu memang sangat bergantung pada iktikad baik mantan suami. Kalau usaha isteri mendapatkan hak na ah tidak bisa, biasanya dimungkinkan untuk kembali mendatangi Pengadilan Agama. Tetapi di depan hakim, tidak ada jaminan hak na ah itu langsung terealisir. Biasanya Pengadilan Agama hanya memberikan teguran, atau peringatan kepada si pihak suaminya. Isteri bisa mengajukan permohonan eksekusi paksa ke pengadilan agama berkaitan dengan pemenuhan na ah. Pada dasarnya, dalam eksekusi paksa mantan isteri harus membuktikan sejumlah harta yang dimiliki suami yang Hak Perempuan Pasca Putusan Perceraian Bahwa berdasarkan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b. memberi na ah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak- anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Bahwa berdasarkan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam: Bekas isteri berhak mendapatkan na ah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz Bahwa berdasarkan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam: Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul; b. perceraian itu atas kehendak suami. Tidak merinci mengenai hak-hak kedua belah pihak pasca perceraian sehingga untuk hak-hak akibat putusnya perceraian dapat dilihat dalam KUH Perdata atau Undang-Undang lainnya yang kompeten. 110 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 111 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Bahwa berdasarkan Pasal 159 Kompilasi Hukum Islam: Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158 Bahwa berdasarkan Pasal 160 Kompilasi Hukum Islam: Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Sumber : Analisa Tim Dalam praktik, pemenuhan kewajiban mantan suami pasca perceraian tak selamanya berjalan dengan baik. Banyak isteri yang tak dina ahi pasca perceraian. Putusan pengadilan agama yang mewajibkan suami membayar biaya-biaya tersebut masih sering diabaikan. Perempuan korban perceraian seringkali mempertanyakan eksekusi putusan pengadilan agama. Eksekusi putusan pengadilan atas harta bersama lebih mudah ketimbang pemenuhan hak na ah. Banyak sekali kasus-kasus pasca perceraian dimana isteri itu tidak mendapatkan na ah, meskipun itu sudah diputuskan di pengadilan. Pemenuhan kewajiban itu memang sangat bergantung pada iktikad baik mantan suami. Kalau usaha isteri mendapatkan hak na ah tidak bisa, biasanya dimungkinkan untuk kembali mendatangi Pengadilan Agama. Tetapi di depan hakim, tidak ada jaminan hak na ah itu langsung terealisir. Biasanya Pengadilan Agama hanya memberikan teguran, atau peringatan kepada si pihak suaminya. Isteri bisa mengajukan permohonan eksekusi paksa ke pengadilan agama berkaitan dengan pemenuhan na ah. Pada dasarnya, dalam eksekusi paksa mantan isteri harus membuktikan sejumlah harta yang dimiliki suami yang Hak Perempuan Pasca Putusan Perceraian Bahwa berdasarkan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b. memberi na ah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak- anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Bahwa berdasarkan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam: Bekas isteri berhak mendapatkan na ah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz Bahwa berdasarkan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam: Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul; b. perceraian itu atas kehendak suami. Tidak merinci mengenai hak-hak kedua belah pihak pasca perceraian sehingga untuk hak-hak akibat putusnya perceraian dapat dilihat dalam KUH Perdata atau Undang-Undang lainnya yang kompeten. 112 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 113 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional E. Upaya Pemerintah dalam Implementasi E. Upaya Pemerintah dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Perkawinan Dalam prakteknya upaya pemerintah masih banyak memusat- kan perhatiannya pada masalah administrasi dalam implementasi Undang-Undang, termasuk dalam masalah perkawinan. Dalam temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah cenderung meminta para calon pasangan atau pihak suami atau isteri yang telah menikah untuk mencatatkan perkawinannya. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 11 telah diatur bahwa sesaat setelah berlangsungnya pernikahan petugas wajib menyiapkan akta perkawinan untuk ditandatangani oleh kedua mempelai. Selama ini sosialisasi Undang-Undang Perkawinan ma- sih dirasakan sangat lemah terutama dalam kelompok masyarakat adat dan penganut kepercayaan yang tidak bisa mencatatkan perkawinannya. Banyak alasan yang dikemukakan oleh masyarakat, disamping mahalnya biaya kepengurusan akta, jalur birokrasi yang rumit dan juga kondisi geografi s yang menghalangi akses ke catatan sipil di beberapa wilayah, khususnya di Papua. Hal ini mendorong beberapa pemerintah daerah untuk melakukan perkawinan resmi secara massal untuk memenuhi hak warga negara untuk mendapatkan akta perkawinan. Tim peneliti menemukan kebijakan tersebut dilaksanakan di Kota Mataram untuk pembuatan akta perkawinan tidak dikenakan biaya untuk mempermudah pasangan dicatat secara resmi oleh negara. Sedangkan Kabupaten Jayapura, dimana pemerintah kabupaten memberikan akta perkawinan bagi 125 pasang pengantin dari berbagai usia yang berasal dari Distrik Sentani Timur, Sentani kira-kira bisa diambil pengadilan. Ini penting untuk melaksanakan sita eksekusi terhadap sejumlah harta tersebut. Apabila mantan suami tetap tidak mau bayar, kemudian dilelang. Hasil dari lelang akan diberikan kepada mantan isteri sesuai dengan jumlah yang diputuskan pengadilan. Apabila ada sisa, maka akan dikembalikan ke mantan suami. Dengan demikian maka eksekusi paksa akan memakan banyak biaya. Biaya eksekusi dengan biaya yang diminta tidak seimbang. Biaya yang dikeluarkan justru lebih banyak untuk dana keamanan, yaitu biaya kepolisian untuk melakukan penyitaan. Untuk harta yang wajib diberikan ketika suami menceraikan isteri (mut’ah) dan na ah selama masa tunggu (na ah iddah) sebaiknya dimintakan ketika membacakan ikrar talak. Dengan begitu, suami tidak akan mangkir menjalankan kewajibannya setelah bercerai. Jadi pada waktu itu juga dilakukan serah terima kewajban suami. Namun, hal ini tidak berlaku untuk na ah yang harus diberikan secara berkala. Mengenai hak asuh anak, memiliki kendala yang lain yakni: pertama kendala psikologis dimana anak itu bukan barang dan tidak dimungkinkan untuk melibatkan kepolisian. Dan yang kedua kendala biaya dimana apabila dalam keadaan terpaksa harus melibatkan kepolisian maka biaya yang harus dibayarkan dibebankan kepada siapa? Sedangkan Pengadilan tidak mungkin membayar. Untuk itu maka dapat pula ditempuh dengan jalan mediasi dan shock therapy dimana bagi mantan suami yang tidak memberi na ah akan dibawa ke ranah hukum pidana melalui laporan ke Polisi atas kasus penelantaran anak. 112 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 113 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional E. Upaya Pemerintah dalam Implementasi E. Upaya Pemerintah dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Perkawinan Dalam prakteknya upaya pemerintah masih banyak memusat- kan perhatiannya pada masalah administrasi dalam implementasi Undang-Undang, termasuk dalam masalah perkawinan. Dalam temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah cenderung meminta para calon pasangan atau pihak suami atau isteri yang telah menikah untuk mencatatkan perkawinannya. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 11 telah diatur bahwa sesaat setelah berlangsungnya pernikahan petugas wajib menyiapkan akta perkawinan untuk ditandatangani oleh kedua mempelai. Selama ini sosialisasi Undang-Undang Perkawinan ma- sih dirasakan sangat lemah terutama dalam kelompok masyarakat adat dan penganut kepercayaan yang tidak bisa mencatatkan perkawinannya. Banyak alasan yang dikemukakan oleh masyarakat, disamping mahalnya biaya kepengurusan akta, jalur birokrasi yang rumit dan juga kondisi geografi s yang menghalangi akses ke catatan sipil di beberapa wilayah, khususnya di Papua. Hal ini mendorong beberapa pemerintah daerah untuk melakukan perkawinan resmi secara massal untuk memenuhi hak warga negara untuk mendapatkan akta perkawinan. Tim peneliti menemukan kebijakan tersebut dilaksanakan di Kota Mataram untuk pembuatan akta perkawinan tidak dikenakan biaya untuk mempermudah pasangan dicatat secara resmi oleh negara. Sedangkan Kabupaten Jayapura, dimana pemerintah kabupaten memberikan akta perkawinan bagi 125 pasang pengantin dari berbagai usia yang berasal dari Distrik Sentani Timur, Sentani kira-kira bisa diambil pengadilan. Ini penting untuk melaksanakan sita eksekusi terhadap sejumlah harta tersebut. Apabila mantan suami tetap tidak mau bayar, kemudian dilelang. Hasil dari lelang akan diberikan kepada mantan isteri sesuai dengan jumlah yang diputuskan pengadilan. Apabila ada sisa, maka akan dikembalikan ke mantan suami. Dengan demikian maka eksekusi paksa akan memakan banyak biaya. Biaya eksekusi dengan biaya yang diminta tidak seimbang. Biaya yang dikeluarkan justru lebih banyak untuk dana keamanan, yaitu biaya kepolisian untuk melakukan penyitaan. Untuk harta yang wajib diberikan ketika suami menceraikan isteri (mut’ah) dan na ah selama masa tunggu (na ah iddah) sebaiknya dimintakan ketika membacakan ikrar talak. Dengan begitu, suami tidak akan mangkir menjalankan kewajibannya setelah bercerai. Jadi pada waktu itu juga dilakukan serah terima kewajban suami. Namun, hal ini tidak berlaku untuk na ah yang harus diberikan secara berkala. Mengenai hak asuh anak, memiliki kendala yang lain yakni: pertama kendala psikologis dimana anak itu bukan barang dan tidak dimungkinkan untuk melibatkan kepolisian. Dan yang kedua kendala biaya dimana apabila dalam keadaan terpaksa harus melibatkan kepolisian maka biaya yang harus dibayarkan dibebankan kepada siapa? Sedangkan Pengadilan tidak mungkin membayar. Untuk itu maka dapat pula ditempuh dengan jalan mediasi dan shock therapy dimana bagi mantan suami yang tidak memberi na ah akan dibawa ke ranah hukum pidana melalui laporan ke Polisi atas kasus penelantaran anak. 114 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 115 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan A. Kesimpulan 1. Implementasi aturan tentang legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum dapat memenuhi hak-hak perempuan dan anak secara maksimal, terkait per- lindungan hukum dan status keperdataan. Berdasarkan temuan penelitian, legalitas perkawinan masih terken- da la pada masalah hukum agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan pencatatan perkawinan yang masih menggunakan metode partisipasi aktif warga negara bukan diwajibkan pemerintah dalam tata cara perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kendala terpenuhinya legalitas perkawinan bagi warga negara ini akhirnya berdampak pada masalah perlindungan perempuan dan anak, mulai dari diskriminasi, penelantaran dan sulitnya mendapatkan status keperdataan dan dokumen kependudukan lainnya. Barat, Gresi Selatan, Nimbokrang dan Waibu. Selain di Papua, tim peneliti juga menemukan di Provinsi Jawa Tengah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Temanggung, yang menikahkan 21 pasangan untuk mendapatkan akta perkawinan. Dijelaskan oleh Kepala Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, dan Pengelolaan Data Elektronik (Dispendukcapil dan PDE) Kabupaten Temanggung, Eddy Winarso bahwa sebanyak 17.231 pasangan warga yang telah hidup bersama di Kabupaten Temanggung, tidak memiliki surat nikah sebagai bentuk kepastian hukum pernikahan atau perkawinan mereka. Disebutkan penduduk Islam yang menikah sekitar 358.836 orang, potensi kepemilikan surat nikah 179.418, tetapi dari hasil rekapitulasi hanya terdapat 163.265 pasangan yang mempunyai surat nikah. Dari data Pemerintah Kabupaten Temanggung, sebanyak 9.9% persen pasangan saat ini tidak memiliki akta perkawinan namun telah hidup berumah tangga. Sebagai pembanding di luar daerah penelitian, baru-baru ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan melakukan perkawinan massal untuk 4.541 pasangan dari berbagai agama dan usia untuk fakir miskin di Istora Senayan pada 19 Juli 2011. Data pasangan perkawinan ini merupakan yang terbanyak di Indonesia hingga memecahkan rekor MURI. 114 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 115 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan A. Kesimpulan 1. Implementasi aturan tentang legalitas perkawinan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum dapat memenuhi hak-hak perempuan dan anak secara maksimal, terkait per- lindungan hukum dan status keperdataan. Berdasarkan temuan penelitian, legalitas perkawinan masih terken- da la pada masalah hukum agama yang mengesahkan sebuah perkawinan dan pencatatan perkawinan yang masih menggunakan metode partisipasi aktif warga negara bukan diwajibkan pemerintah dalam tata cara perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kendala terpenuhinya legalitas perkawinan bagi warga negara ini akhirnya berdampak pada masalah perlindungan perempuan dan anak, mulai dari diskriminasi, penelantaran dan sulitnya mendapatkan status keperdataan dan dokumen kependudukan lainnya. Barat, Gresi Selatan, Nimbokrang dan Waibu. Selain di Papua, tim peneliti juga menemukan di Provinsi Jawa Tengah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Temanggung, yang menikahkan 21 pasangan untuk mendapatkan akta perkawinan. Dijelaskan oleh Kepala Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, dan Pengelolaan Data Elektronik (Dispendukcapil dan PDE) Kabupaten Temanggung, Eddy Winarso bahwa sebanyak 17.231 pasangan warga yang telah hidup bersama di Kabupaten Temanggung, tidak memiliki surat nikah sebagai bentuk kepastian hukum pernikahan atau perkawinan mereka. Disebutkan penduduk Islam yang menikah sekitar 358.836 orang, potensi kepemilikan surat nikah 179.418, tetapi dari hasil rekapitulasi hanya terdapat 163.265 pasangan yang mempunyai surat nikah. Dari data Pemerintah Kabupaten Temanggung, sebanyak 9.9% persen pasangan saat ini tidak memiliki akta perkawinan namun telah hidup berumah tangga. Sebagai pembanding di luar daerah penelitian, baru-baru ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan melakukan perkawinan massal untuk 4.541 pasangan dari berbagai agama dan usia untuk fakir miskin di Istora Senayan pada 19 Juli 2011. Data pasangan perkawinan ini merupakan yang terbanyak di Indonesia hingga memecahkan rekor MURI. 116 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 117 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, agar materi-materinya dapat disempurnakan, sehingga mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil, dalam rangka memenuhi hak asasi manusia, terutama perempuan dan anak yang seringkali rentan menjadi korban. 2. Pencatatan perkawinan dalam rangka legalitas perkawinan merupakan bagian dari hak warga negara yang harus dilindungi dan dipenuhi haknya, dengan asumsi dasar bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian akti fi tas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legali- tas yang bersifat yuridis-formal. Maka dari itu, pemerintah melalui instansi terkait harus mengupayakannya secara merata dan berkelanjutan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. 3. Perlunya peraturan yang mengatur tentang hak-hak isteri dan anak pasca perceraian dan mekanisme penanganan eksekusi putusan pengadilan yang jelas dan mengikat. 4. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kembali secara intens mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (Aminduk) di kalangan instansi terkait dan seluruh masyarakat, karena peraturan perundang-undangan ini memberikan peluang bagi pengesahan perkawinan yang berdasarkan pada aliran kepercayaan. Hal ini penting untuk memenuhi hak-hak warga negara penganut kepercayaan untuk 2. Hukum nasional dan kovenan internasional yang mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga telah mengalami perubahan pesat dalam 20 tahun terakhir. Mulai dari Undang-Undang Perkawinan, ratifi kasi CEDAW, Kompilasi Hukum Islam, Undang- Undang Perlindungan Anak hingga Undang-Undang Penghapusan Dalam Rumah Tangga, telah mampu mengakomodasi hak-hak perempuan dan anak untuk mendapatkan perlindungan. Sayangnya untuk menuntut hak-hak tersebut legalitas perkawinan menjadi syarat utama, padahal untuk mencapainya warga negara masih mengalami banyak kendala. 3. Peran pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan masih terbatas pada pemberian akta perkawinan secara massal, dan itupun belum merata di semua daerah. Sosialisasi tentang pentingnya legalitas perkawinan menurut Undang-Undanng Perkawinan juga masih kurang dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian pemerintah telah menggunakan peraturan perundangan lain dalam upaya perlindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM, telah menunjukkan langkah maju, meski masih menemui banyak kendala dan tantangan dalam implementasi. B. Rekomendasi B. Rekomendasi 1. Pemerintah perlu segera merespons keinginan masyarakat melalui berbagai kelompok civil society untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 116 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 117 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, agar materi-materinya dapat disempurnakan, sehingga mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil, dalam rangka memenuhi hak asasi manusia, terutama perempuan dan anak yang seringkali rentan menjadi korban. 2. Pencatatan perkawinan dalam rangka legalitas perkawinan merupakan bagian dari hak warga negara yang harus dilindungi dan dipenuhi haknya, dengan asumsi dasar bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian akti fi tas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legali- tas yang bersifat yuridis-formal. Maka dari itu, pemerintah melalui instansi terkait harus mengupayakannya secara merata dan berkelanjutan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. 3. Perlunya peraturan yang mengatur tentang hak-hak isteri dan anak pasca perceraian dan mekanisme penanganan eksekusi putusan pengadilan yang jelas dan mengikat. 4. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kembali secara intens mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (Aminduk) di kalangan instansi terkait dan seluruh masyarakat, karena peraturan perundang-undangan ini memberikan peluang bagi pengesahan perkawinan yang berdasarkan pada aliran kepercayaan. Hal ini penting untuk memenuhi hak-hak warga negara penganut kepercayaan untuk 2. Hukum nasional dan kovenan internasional yang mengatur hak-hak perempuan dan anak sebagai anggota rumah tangga telah mengalami perubahan pesat dalam 20 tahun terakhir. Mulai dari Undang-Undang Perkawinan, ratifi kasi CEDAW, Kompilasi Hukum Islam, Undang- Undang Perlindungan Anak hingga Undang-Undang Penghapusan Dalam Rumah Tangga, telah mampu mengakomodasi hak-hak perempuan dan anak untuk mendapatkan perlindungan. Sayangnya untuk menuntut hak-hak tersebut legalitas perkawinan menjadi syarat utama, padahal untuk mencapainya warga negara masih mengalami banyak kendala. 3. Peran pemerintah dalam memberikan legalitas perkawinan masih terbatas pada pemberian akta perkawinan secara massal, dan itupun belum merata di semua daerah. Sosialisasi tentang pentingnya legalitas perkawinan menurut Undang-Undanng Perkawinan juga masih kurang dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian pemerintah telah menggunakan peraturan perundangan lain dalam upaya perlindungan perempuan dan anak dari pelanggaran HAM, telah menunjukkan langkah maju, meski masih menemui banyak kendala dan tantangan dalam implementasi. B. Rekomendasi B. Rekomendasi 1. Pemerintah perlu segera merespons keinginan masyarakat melalui berbagai kelompok civil society untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 118 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 119 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA Buku Buku Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafi z Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996. Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature, Brighton, Harverster 1983. Beauvoir, Simone de, Second Sex, Vintage Books Edition, 1989. Cl. Selltiz et.al, Research Methods in Social Relations, 1964. Engels, F., The Origin of The Family, Private Property and the State, Foreign Languages Press, Peking 1978. Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan. PT Alumni, 2000. Hole, Judith and Ellen Levine, ”The First Feminist” dalam Women: A Feminist Perspective (ed), Jo Freeman, California, Mayfi eld Publishing Co, 1979. Jaggar, Allison, Feminist Politics and Human Nature, Brighton, Harverster 1983. mendapatkan pengesahan perkawinan dan hak-hak lain yang mengikutinya. 118 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 119 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA Buku Buku Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafi z Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996. Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature, Brighton, Harverster 1983. Beauvoir, Simone de, Second Sex, Vintage Books Edition, 1989. Cl. Selltiz et.al, Research Methods in Social Relations, 1964. Engels, F., The Origin of The Family, Private Property and the State, Foreign Languages Press, Peking 1978. Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan. PT Alumni, 2000. Hole, Judith and Ellen Levine, ”The First Feminist” dalam Women: A Feminist Perspective (ed), Jo Freeman, California, Mayfi eld Publishing Co, 1979. Jaggar, Allison, Feminist Politics and Human Nature, Brighton, Harverster 1983. mendapatkan pengesahan perkawinan dan hak-hak lain yang mengikutinya. 120 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 121 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Instrumen Nasional Instrumen Nasional Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kompilasi Hukum Islam. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI). Instrumen Internasional Instrumen Internasional Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Konvensi Amerika. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya. Jo Freeman, The Women’s Liberation Movement: Its Origin, Structures and Ideals, Pittsburgh: Know, Inc., c,1971. Komnas Perempuan, Tak Hanya Di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang, Catatan Tahunan Komnas Perempuan , 2009. Naomi Wolf, The Beauty Myth , HarperCollins Publisher Inc, 1991. Nisbet, J. dan J. Watt, Studi Kasus, Sebuah Panduan Praktis , disadur oleh L. Wilardjo, 1994. Puslitbang Hak-hak Sipil dan Politik Balitbang Departemen Hukum dan HAM, 2005, Pelaksanaan Advokasi terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Hukum dan HAM. Rahmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia, cet I Jakarta: Sinar Grafi ka, 2006. Rendakk, Jane, The Origins if Modern Feminism: Women in Britain, France and the United States (1780-1860), London, 1990. Selltiz, Cl. et. al, Research Methods in Social Relation , Holt, Rinehart and Winston, New York, 1964. Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar) , Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005. Strauss A, Corbin J, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques, London, Sage, 1990. 120 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 121 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Instrumen Nasional Instrumen Nasional Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kompilasi Hukum Islam. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI). Instrumen Internasional Instrumen Internasional Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Konvensi Amerika. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya. Jo Freeman, The Women’s Liberation Movement: Its Origin, Structures and Ideals, Pittsburgh: Know, Inc., c,1971. Komnas Perempuan, Tak Hanya Di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang, Catatan Tahunan Komnas Perempuan , 2009. Naomi Wolf, The Beauty Myth , HarperCollins Publisher Inc, 1991. Nisbet, J. dan J. Watt, Studi Kasus, Sebuah Panduan Praktis , disadur oleh L. Wilardjo, 1994. Puslitbang Hak-hak Sipil dan Politik Balitbang Departemen Hukum dan HAM, 2005, Pelaksanaan Advokasi terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Hukum dan HAM. Rahmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia, cet I Jakarta: Sinar Grafi ka, 2006. Rendakk, Jane, The Origins if Modern Feminism: Women in Britain, France and the United States (1780-1860), London, 1990. Selltiz, Cl. et. al, Research Methods in Social Relation , Holt, Rinehart and Winston, New York, 1964. Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar) , Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005. Strauss A, Corbin J, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques, London, Sage, 1990. 122 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 123 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang rati fi kasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang penghapusan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Committe on the Elimination of Discrimination Against Women – CEDAW). Program Nasional Program Nasional Program Legislasi Nasional 2010-2014. 122 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 123 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang rati fi kasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang penghapusan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Committe on the Elimination of Discrimination Against Women – CEDAW). Program Nasional Program Nasional Program Legislasi Nasional 2010-2014. 125 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN. BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 (1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fi hak-fi hak yang bersangkutan. Pasal 4 (1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 125 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN. BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 (1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fi hak-fi hak yang bersangkutan. Pasal 4 (1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 126 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 127 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 10 Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 (1). Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Pasal 12 Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal l3 Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 14 (1). Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. (2). Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Pasal 15 Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 16 (1). Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan- ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. (2). Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 17 (1). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6 (1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin sete-lah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 (1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. (3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; 126 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 127 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 10 Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 (1). Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Pasal 12 Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal l3 Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 14 (1). Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. (2). Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Pasal 15 Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 16 (1). Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan- ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. (2). Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 17 (1). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6 (1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin sete-lah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 (1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. (3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; 128 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 129 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 25 Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 (1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. (2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 (1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 28 (1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. (2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka mem-peroleh hak- hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 29 (1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (3). Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. (2). Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 18 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Pasal 19 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pasal 20 Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 21 (1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. (2). Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3). Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas. (4). Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. (5). Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberi-tahuan tentang maksud mereka. BAB IV BATALNYA PERKAWINAN Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23 Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. 128 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 129 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 25 Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 (1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. (2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 (1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 28 (1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. (2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka mem-peroleh hak- hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 29 (1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (3). Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. (2). Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 18 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Pasal 19 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pasal 20 Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 21 (1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. (2). Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3). Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas. (4). Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. (5). Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberi-tahuan tentang maksud mereka. BAB IV BATALNYA PERKAWINAN Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23 Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. 130 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 131 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 40 (1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2). Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. BAB IX KEDUDUKAN ANAK Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 (1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 (1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Pasal 45 (1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 46 (1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Pasal 31 (1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 (1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2). Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama. Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 (1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan. BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Pasal 35 (1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 (1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan. Pasal 39 (1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 130 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 131 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 40 (1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2). Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. BAB IX KEDUDUKAN ANAK Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 (1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 (1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Pasal 45 (1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 46 (1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Pasal 31 (1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 (1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2). Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama. Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 (1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan. BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Pasal 35 (1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 (1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan. Pasal 39 (1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 132 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 133 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN Bagian Pertama Pembuktian asal-usul anak Pasal 55 (1). Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. (2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3). Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Bagian Kedua Perkawinan diluar Indonesia Pasal 56 (1). Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. (2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 (1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. (2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini. Pasal 47 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 (1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali. (2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. BAB XI PERWALIAN Pasal 50 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. (2). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Pasal 51 (1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. (2). Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. (3). Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. (4). Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak- anak itu. (5). Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53 (1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang- undang ini. (2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. 132 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 133 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN Bagian Pertama Pembuktian asal-usul anak Pasal 55 (1). Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. (2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3). Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Bagian Kedua Perkawinan diluar Indonesia Pasal 56 (1). Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. (2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 (1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. (2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini. Pasal 47 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 (1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali. (2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. BAB XI PERWALIAN Pasal 50 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. (2). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Pasal 51 (1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. (2). Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. (3). Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. (4). Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak- anak itu. (5). Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53 (1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang- undang ini. (2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. 134 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 135 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. (2). Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini. B A B XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 (1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2). Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd SOEHARTO JENDERAL TNI. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI. Pasal 60 (1). Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. (2). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. (3). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. (4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3). (5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan. Pasal 61 (1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. (2). Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 1 (satu) bulan. (3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini. Bagian Keempat Pengadilan Pasal 63 (1). Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah : a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; b. Pengadilan Umum bagi lainnya. (2). Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. Pasal 65 (1). Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut : a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya; b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi; 134 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 135 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. (2). Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini. B A B XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 (1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2). Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd SOEHARTO JENDERAL TNI. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI. Pasal 60 (1). Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. (2). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. (3). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. (4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3). (5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan. Pasal 61 (1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. (2). Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 1 (satu) bulan. (3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini. Bagian Keempat Pengadilan Pasal 63 (1). Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah : a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; b. Pengadilan Umum bagi lainnya. (2). Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. Pasal 65 (1). Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut : a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya; b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi; 136 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 137 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini. Pasal 3 (1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pasal 4 Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. Pasal 5 Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu. Pasal 6 (1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang. (2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula : a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal- usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu; b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang- undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun; d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri; e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata ; h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain. Pasal 7 (1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. (2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang- undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019). MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya; c. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; d. Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian. BAB II PENCATATAN PERKAWINAN Pasal 2 (1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. (2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor 136 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 137 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini. Pasal 3 (1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pasal 4 Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. Pasal 5 Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu. Pasal 6 (1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang. (2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula : a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal- usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu; b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang- undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun; d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri; e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata ; h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain. Pasal 7 (1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. (2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang- undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019). MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya; c. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; d. Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian. BAB II PENCATATAN PERKAWINAN Pasal 2 (1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. (2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor 138 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 139 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. Pasal 13 (1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada. (2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan. BAB V TATACARA PERCERAIAN Pasal 14 Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 15 Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu. Pasal 16 Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 17 Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Pasal 18 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Pasal 19 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 8 Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Pasal 9 Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat : a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu ; b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan BAB III TATACARA PERKAWINAN Pasal 10 (1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini. (2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Pasal 11 (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. (2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. BAB IV AKTA PERKAWINAN Pasal 12 Akta perkawinan memuat : a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami- isteri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu; b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; c. zin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-undang; d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang; f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang; g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata; h. Perjanjian perkawinan apabila ada; i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam ; 138 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 139 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. Pasal 13 (1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada. (2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan. BAB V TATACARA PERCERAIAN Pasal 14 Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 15 Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu. Pasal 16 Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 17 Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Pasal 18 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Pasal 19 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 8 Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Pasal 9 Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat : a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu ; b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan BAB III TATACARA PERKAWINAN Pasal 10 (1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini. (2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Pasal 11 (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. (2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. BAB IV AKTA PERKAWINAN Pasal 12 Akta perkawinan memuat : a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami- isteri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu; b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; c. zin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-undang; d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang; f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang; g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata; h. Perjanjian perkawinan apabila ada; i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam ; 140 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 141 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. (5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan. Pasal 27 (1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. (2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. (3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. (4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 28 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 29 (1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. (2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. (3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan. Pasal 30 Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Pasal 31 (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Pasal 32 Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Pasal 33 Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 34 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. Pasal 20 (1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. (2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. (3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 21 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. (3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama. Pasal 22 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu. Pasal 23 Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 24 (1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. (2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat : a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Pasal 25 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 26 (1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. (2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama. (3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu. 140 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 141 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. (5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan. Pasal 27 (1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. (2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. (3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. (4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 28 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 29 (1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. (2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. (3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan. Pasal 30 Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Pasal 31 (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Pasal 32 Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Pasal 33 Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 34 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. Pasal 20 (1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. (2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. (3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 21 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. (3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama. Pasal 22 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu. Pasal 23 Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 24 (1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. (2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat : a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Pasal 25 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 26 (1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. (2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama. (3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu. 142 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 143 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. (2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. (3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. BAB VIII BERISTERI LEBIH DARI SEORANG Pasal 40 Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai: a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah: - bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; - bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; - bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak- anak, dengan memperlihatkan: - surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau - surat keterangan pajak penghasilan; atau - surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pasal 42 (1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. (2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Pasal 43 Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang. Pasal 44 Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43. (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 35 (1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. (2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. (3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya. Pasal 36 (1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan. (2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut. (3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan Agama. BAB VI PEMBATALAN PERKAWINAN Pasal 37 Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Pasal 38 (1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri. (2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian. (3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini. BAB VII WAKTU TUNGGU Pasal 39 (1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari; 142 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 143 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. (2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. (3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. BAB VIII BERISTERI LEBIH DARI SEORANG Pasal 40 Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai: a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah: - bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; - bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; - bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak- anak, dengan memperlihatkan: - surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau - surat keterangan pajak penghasilan; atau - surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pasal 42 (1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. (2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Pasal 43 Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang. Pasal 44 Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43. (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 35 (1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. (2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. (3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya. Pasal 36 (1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan. (2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut. (3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan Agama. BAB VI PEMBATALAN PERKAWINAN Pasal 37 Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Pasal 38 (1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri. (2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian. (3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini. BAB VII WAKTU TUNGGU Pasal 39 (1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari; 144 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 145 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1975 NOMOR 12 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UMUM: Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya. Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah-masalah tersebut, yang diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 tersebut, ialah pada tanggal 1 Oktober 1975. Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen/Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan tersebut. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya. Ayat (3) Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan tatacara pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dari Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut tatacara pencatatan perkawinan yang diatur dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan Pemerintah ini. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 45 (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka : a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). (2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran. BAB X PENUTUP Pasal 46 Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, maka ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengaturan tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB. Pasal 47 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal 48 Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, baik bersama-sama maupun dalam bidangnya masing-masing. Pasal 49 (1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975; (2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEHARTO JENDERAL TNI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 144 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 145 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1975 NOMOR 12 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UMUM: Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya. Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah-masalah tersebut, yang diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 tersebut, ialah pada tanggal 1 Oktober 1975. Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen/Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan tersebut. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya. Ayat (3) Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan tatacara pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dari Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini, sedangkan ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut tatacara pencatatan perkawinan yang diatur dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan Pemerintah ini. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 45 (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka : a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). (2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran. BAB X PENUTUP Pasal 46 Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, maka ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengaturan tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB. Pasal 47 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal 48 Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, baik bersama-sama maupun dalam bidangnya masing-masing. Pasal 49 (1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975; (2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEHARTO JENDERAL TNI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975 146 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 147 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di dalarn pasal ini merupakan ketentuan minimal sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai nomor akta, tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun pernikahan dilakukan; nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat; tandatangan para mempelai Pegawai Pencatat; para saksi, dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari maskawin atau izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Huruf f; Persetujuan yang dimaksud di sini dinyatakan secara tertulis atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan. Huruf g; Menteri HANKAM/PANGAB mengatur lebih lanjut mengenai Pejabat yang ditunjuknya yang berhak memberikan izin bagi anggota Angkatan Bersenjata. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai talak. Pasal 15. Cukup jelas. Pasal 16 Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang tersebut. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (3) Apabila terdapat alasan yang sangat penting untuk segera melangsungkan perkawinan meskipun belum lampau 10 (sepuluh) hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan segera pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang demikian itu dimungkinkan dengan mengajukan permohonan dispensasi. Pasal 4 Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu alasan yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili calon mempelai untuk memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan adalah wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus. Pasal 5 Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja ataupun namanya saja. Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan. Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan tersebut merupakan ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang beragama Islam. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf f : Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau isteri terdahulu. Apabila Lurah/Kepala Desa tidak dapat memberikan keterangan dimaksud berhubung tidak adanya laporan mengenai kematian itu, maka dapat diberikan keterangan lain yang sah, atau keterangan yang diberikan di bawah sumpah oleh yang bersangkutan di hadapan Pegawai Pencatat. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “diberitahukan kepada mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya”, adalah bahwa pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus ditujukan dan disampaikan kepada salah satu daripada mereka itu yang datang memberitahukan kehendak untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 8 Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 9 Pengumuman dilakukan : - di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, dan - di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing-masing calon mempelai. 146 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 147 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di dalarn pasal ini merupakan ketentuan minimal sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai nomor akta, tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun pernikahan dilakukan; nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat; tandatangan para mempelai Pegawai Pencatat; para saksi, dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari maskawin atau izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Huruf f; Persetujuan yang dimaksud di sini dinyatakan secara tertulis atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan. Huruf g; Menteri HANKAM/PANGAB mengatur lebih lanjut mengenai Pejabat yang ditunjuknya yang berhak memberikan izin bagi anggota Angkatan Bersenjata. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai talak. Pasal 15. Cukup jelas. Pasal 16 Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang tersebut. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (3) Apabila terdapat alasan yang sangat penting untuk segera melangsungkan perkawinan meskipun belum lampau 10 (sepuluh) hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan segera pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang demikian itu dimungkinkan dengan mengajukan permohonan dispensasi. Pasal 4 Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu alasan yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili calon mempelai untuk memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan adalah wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus. Pasal 5 Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja ataupun namanya saja. Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan. Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan tersebut merupakan ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang beragama Islam. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf f : Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau isteri terdahulu. Apabila Lurah/Kepala Desa tidak dapat memberikan keterangan dimaksud berhubung tidak adanya laporan mengenai kematian itu, maka dapat diberikan keterangan lain yang sah, atau keterangan yang diberikan di bawah sumpah oleh yang bersangkutan di hadapan Pegawai Pencatat. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “diberitahukan kepada mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya”, adalah bahwa pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus ditujukan dan disampaikan kepada salah satu daripada mereka itu yang datang memberitahukan kehendak untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 8 Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 9 Pengumuman dilakukan : - di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, dan - di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing-masing calon mempelai. 148 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 149 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan sidang diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi mempunyai waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi sidang tersebut. Terutama kepada tergugat harus diberi waktu yang cukup untuk memungkinkannya mempelajari secara baik isi gugatan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Apabila pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan tetapi tidak berhasil, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi pemeriksaan saksi-saksi. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami atau isteri untuk melakukan perceraian. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan Pengadilan Agama hanya dilakukan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hakim yang tetap. Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan Agama yang dimintakan banding atau kasasi, masih belum dilakukan pengukuhan. Pengukuhan tersebut bersifat administratip; Pengadilan Negeri tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan Agama dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 37 Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak berdiam bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasarkan pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak-anaknya. Ayat (2) Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas kewajiban suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama oleh suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri atau suami menjadi terlantar atau tidak terurus dengan baik, sebab yang demikian itu bukan saja menimbulkan kerugian kepada suami-isteri itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang demikian itu tidak dengan sendirinya merupakan alasan bagi dikabulkannya gugatan perceraian apabila gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian adalah sebagai usaha mempercepat proses penyelesaian perkara perceraian. Karena makin cepat perkara itu dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin baik, bukan saja bagi kedua suami-isteri itu melainkan bagi keluarga, dan apabila mereka mempunyai anak terutama bagi anak-anaknya. Ayat (2) 148 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 149 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan sidang diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi mempunyai waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi sidang tersebut. Terutama kepada tergugat harus diberi waktu yang cukup untuk memungkinkannya mempelajari secara baik isi gugatan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Apabila pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan tetapi tidak berhasil, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi pemeriksaan saksi-saksi. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami atau isteri untuk melakukan perceraian. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan Pengadilan Agama hanya dilakukan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hakim yang tetap. Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan Agama yang dimintakan banding atau kasasi, masih belum dilakukan pengukuhan. Pengukuhan tersebut bersifat administratip; Pengadilan Negeri tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan Agama dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 37 Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak berdiam bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasarkan pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak-anaknya. Ayat (2) Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas kewajiban suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama oleh suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri atau suami menjadi terlantar atau tidak terurus dengan baik, sebab yang demikian itu bukan saja menimbulkan kerugian kepada suami-isteri itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang demikian itu tidak dengan sendirinya merupakan alasan bagi dikabulkannya gugatan perceraian apabila gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian adalah sebagai usaha mempercepat proses penyelesaian perkara perceraian. Karena makin cepat perkara itu dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin baik, bukan saja bagi kedua suami-isteri itu melainkan bagi keluarga, dan apabila mereka mempunyai anak terutama bagi anak-anaknya. Ayat (2) 150 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 151 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional b. peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap pengaturannya; c. peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3050 Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita itu dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka bagi wanita tersebut tidak ada waktu tunggu; ia dapat melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian itu. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Huruf c sub iii : Apabila tidak mungkin diperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud pada sub i atau ii, maka dapat diusahakan suatu surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat menerimanya. Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44. Pejabat Yang melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah). Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan yang telah ada, apabila telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain hal yang tersebut di atas maka dalam hal suatu ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan perundangan tentang perkawinan yang ada maka diperlakukan Peraturan Pemerintah ini yakni apabila : a. peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang sama dengan Peraturan Pemerintah; 150 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 151 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional b. peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap pengaturannya; c. peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3050 Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita itu dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka bagi wanita tersebut tidak ada waktu tunggu; ia dapat melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian itu. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Huruf c sub iii : Apabila tidak mungkin diperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud pada sub i atau ii, maka dapat diusahakan suatu surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat menerimanya. Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44. Pejabat Yang melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah). Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan yang telah ada, apabila telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain hal yang tersebut di atas maka dalam hal suatu ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan perundangan tentang perkawinan yang ada maka diperlakukan Peraturan Pemerintah ini yakni apabila : a. peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang sama dengan Peraturan Pemerintah; LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 2 155 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional KOMPILASI HUKUM ISLAM BUKU I HUKUM PERKAWINAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dengan : a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita, b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah; c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi; d. Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam; e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang; f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri- sendiriatau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun; g. Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri; h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum; i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya; j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN Pasal 2 Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 155 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional KOMPILASI HUKUM ISLAM BUKU I HUKUM PERKAWINAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dengan : a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita, b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah; c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi; d. Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam; e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang; f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri- sendiriatau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun; g. Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri; h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum; i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya; j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN Pasal 2 Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 156 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 157 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita. (4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang. Pasal 13 (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. (2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuaidengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. BAB IV RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN Bagian Kesatu Rukun Pasal 14 Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi dan; e. Ijab dan Kabul. Bagian Kedua Calon Mempelai Pasal 15 (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya berumur 16 tahun (2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974. Pasal 16 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Pasal 17 (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. Pasal 7 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian; (d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974; (4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Pasal 8 Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak. Pasal 9 (1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. (2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Pasal 10 Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. BAB III PEMINANGAN Pasal 11 Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya. Pasal 12 (1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya. (2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang. 156 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 157 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita. (4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang. Pasal 13 (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. (2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuaidengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. BAB IV RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN Bagian Kesatu Rukun Pasal 14 Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi dan; e. Ijab dan Kabul. Bagian Kedua Calon Mempelai Pasal 15 (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya berumur 16 tahun (2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974. Pasal 16 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Pasal 17 (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. Pasal 7 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian; (d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974; (4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Pasal 8 Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak. Pasal 9 (1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. (2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Pasal 10 Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. BAB III PEMINANGAN Pasal 11 Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya. Pasal 12 (1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya. (2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang. 158 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 159 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Bagian Keempat Saksi Nikah Pasal 24 (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi Pasal 25 Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. Bagian Kelima Akad Nikah Pasal 27 Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28 Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain. Pasal 29 (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. BAB V MAHAR Pasal 30 Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Pasal 31 Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Pasal 32 Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya. Pasal 33 (1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Pasal 18 Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI. Bagian Ketiga Wali Nikah Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya Pasal 20 (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab; b. Wali hakim. Pasal 21 (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki- laki mereka. (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. (4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya. Pasal 23 (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. 158 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 159 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Bagian Keempat Saksi Nikah Pasal 24 (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi Pasal 25 Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. Bagian Kelima Akad Nikah Pasal 27 Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28 Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain. Pasal 29 (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. BAB V MAHAR Pasal 30 Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Pasal 31 Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Pasal 32 Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya. Pasal 33 (1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Pasal 18 Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI. Bagian Ketiga Wali Nikah Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya Pasal 20 (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab; b. Wali hakim. Pasal 21 (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki- laki mereka. (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. (4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya. Pasal 23 (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. 160 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 161 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu: a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama islam. Pasal 41 (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya; a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya; b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya. (2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj‘i, tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 42 Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj‘i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj‘i. Pasal 43 (1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali; b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili‘an. (2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba‘da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. BAB VII PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 45 Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : 1. Taklik talak dan 2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 46 (1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Pasal 47 (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam. (2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon mempelai pria. Pasal 34 (1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan. (2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. Pasal 35 (1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. (2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka sumai wajib membayar mahar mitsil. Pasal 36 Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. Pasal 37 Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian diajukan ke Pengadilan Agama. Pasal 38 (1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas. (2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar. BAB VI LARANGAN KAWIN Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : (1) Karena pertalian nasab : a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya (2) Karena pertalian kerabat semenda : a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. (3) Karena pertalian sesusuan : a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. 160 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 161 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu: a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama islam. Pasal 41 (1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya; a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya; b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya. (2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj‘i, tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 42 Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj‘i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj‘i. Pasal 43 (1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali; b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili‘an. (2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba‘da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. BAB VII PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 45 Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : 1. Taklik talak dan 2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 46 (1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Pasal 47 (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam. (2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon mempelai pria. Pasal 34 (1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan. (2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. Pasal 35 (1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. (2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka sumai wajib membayar mahar mitsil. Pasal 36 Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. Pasal 37 Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian diajukan ke Pengadilan Agama. Pasal 38 (1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas. (2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar. BAB VI LARANGAN KAWIN Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : (1) Karena pertalian nasab : a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya (2) Karena pertalian kerabat semenda : a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. (3) Karena pertalian sesusuan : a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. 162 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 163 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 54 (1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah. (2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah. BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG Pasal 55 (1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. (2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya. (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang. Pasal 56 (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 58 (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu : a. adanya pesetujuan isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 59 Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. (3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat. Pasal 48 (1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. (2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga. Pasal 49 (1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya. Pasal 50 (1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan (3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat. (4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga. (5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pasal 51 Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Pasal 52 Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu. BAB VIII KAWIN HAMIL Pasal 53 (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. 162 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 163 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 54 (1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah. (2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah. BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG Pasal 55 (1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. (2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya. (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang. Pasal 56 (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 58 (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu : a. adanya pesetujuan isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 59 Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. (3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat. Pasal 48 (1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. (2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga. Pasal 49 (1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya. Pasal 50 (1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan (3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat. (4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga. (5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pasal 51 Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Pasal 52 Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu. BAB VIII KAWIN HAMIL Pasal 53 (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. 164 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 165 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas. (4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan. (5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka. BAB XI BATALNYA PERKAWINAN Pasal 70 Perkawinan batal apabila : a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj‘i; b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili‘annya; c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba‘da al dukhul dan priatersebut dan telah habis masa iddahnya; d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu : 1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas. 2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya. Pasal 71 Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain; d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang No.1. tahun 1974; e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Pasal 72 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. BAB X PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 60 (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan. Pasal 61 Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien. Pasal 62 (1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak- pihak yang bersangkutan (2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain. Pasal 63 Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan. Pasal 64 Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi. Pasal 65 (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah. (2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah. Pasal 66 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut. Pasal 67 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama. Pasal 68 Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 69 (1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. 164 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 165 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas. (4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan. (5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka. BAB XI BATALNYA PERKAWINAN Pasal 70 Perkawinan batal apabila : a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj‘i; b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili‘annya; c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba‘da al dukhul dan priatersebut dan telah habis masa iddahnya; d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu : 1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas. 2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya. Pasal 71 Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain; d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang No.1. tahun 1974; e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Pasal 72 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. BAB X PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 60 (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan. Pasal 61 Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien. Pasal 62 (1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak- pihak yang bersangkutan (2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain. Pasal 63 Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan. Pasal 64 Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi. Pasal 65 (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah. (2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah. Pasal 66 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut. Pasal 67 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama. Pasal 68 Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 69 (1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. 166 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 167 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Bagian Ketiga Kewajiban Suami Pasal 80 (1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama. (2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. (4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. biaya pendididkan bagi anak. (5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. (6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. Bagian Keempat Tempat Kediaman Pasal 81 (1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah. (2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. Bagian Kelima Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang Pasal 82 (1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. (2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman. Pasal 73 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang. d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Pasal 74 (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pasal 75 Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad; b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber‘itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap. Pasal 76 Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. BAB XII HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Bagian Kesatu Umum Pasal 77 (1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat (2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain; (3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; (4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya; (5) Jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Pasal 78 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama. Bagian Kedua Kedudukan Suami Isteri Pasal 79 (1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. 166 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 167 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Bagian Ketiga Kewajiban Suami Pasal 80 (1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama. (2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. (4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. biaya pendididkan bagi anak. (5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. (6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. Bagian Keempat Tempat Kediaman Pasal 81 (1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah. (2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. Bagian Kelima Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang Pasal 82 (1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. (2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman. Pasal 73 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang. d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Pasal 74 (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pasal 75 Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad; b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber‘itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap. Pasal 76 Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. BAB XII HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Bagian Kesatu Umum Pasal 77 (1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat (2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain; (3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; (4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya; (5) Jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Pasal 78 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama. Bagian Kedua Kedudukan Suami Isteri Pasal 79 (1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. 168 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 169 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Pasal 92 Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Pasal 93 1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing- masing. 2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. 3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. 4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri Pasal 94 1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing- masing terpisah dan berdiri sendiri. 2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Pasal 95 1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. 2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Pasal 96 1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. 2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. BAB XIV PEMELIHARAAN ANAK Pasal 98 (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fi sik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. (3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Anak yang sah adalah : Bagian Keenam Kewajiban Isteri Pasal 83 (1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam. (2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya. Pasal 84 (1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah (2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. BAB XIII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN Pasal 85 Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami atau isteri. Pasal 86 (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya. Pasal 87 (1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Pasal 88 Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 89 Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri. Pasal 90 Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 91 (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. (2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. (3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban. 168 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 169 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional (4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Pasal 92 Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Pasal 93 1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing- masing. 2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. 3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. 4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri Pasal 94 1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing- masing terpisah dan berdiri sendiri. 2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Pasal 95 1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. 2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Pasal 96 1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. 2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. BAB XIV PEMELIHARAAN ANAK Pasal 98 (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fi sik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. (3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Anak yang sah adalah : Bagian Keenam Kewajiban Isteri Pasal 83 (1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam. (2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya. Pasal 84 (1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah (2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. BAB XIII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN Pasal 85 Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami atau isteri. Pasal 86 (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya. Pasal 87 (1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Pasal 88 Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 89 Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri. Pasal 90 Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 91 (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. (2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. (3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban. 170 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 171 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB XV PERWALIAN Pasal 107 (1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa, berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. Pasal 108 Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. Pasal 109 Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Pasal 110 (1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. (2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan. (3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. (4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali. Pasal 111 (1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah. (2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. Pasal 112 Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma‘ruf kalau wali fakir. Pasal 99 a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Pasal 100 Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 101 Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li‘an. Pasal 102 (1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima Pasal 103 (1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Pasal 104 (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. (2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. Pasal 105 Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya. Pasal 106 (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. (2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1). 170 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 171 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB XV PERWALIAN Pasal 107 (1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa, berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. Pasal 108 Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. Pasal 109 Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Pasal 110 (1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. (2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan. (3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. (4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali. Pasal 111 (1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah. (2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. Pasal 112 Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma‘ruf kalau wali fakir. Pasal 99 a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Pasal 100 Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 101 Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li‘an. Pasal 102 (1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima Pasal 103 (1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Pasal 104 (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. (2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. Pasal 105 Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya. Pasal 106 (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. (2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1). 172 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 173 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 120 Talak Ba‘in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba‘da al dukhul dan hadis masa iddahnya. Pasal 121 Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Pasal 122 Talak bid‘I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 123 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan Pasal 125 Li‘an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya. Pasal 126 Li‘an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Pasal 127 Tata cara li‘an diatur sebagai berikut : a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta” b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya : tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”; c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li‘an. Pasal 128 Li‘an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Bagian Kedua Tata Cara Perceraian Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 130 Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi BAB XVI PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Umum Pasal 113 Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan. Pasal 114 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 116 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami menlanggar taklik talak; k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Pasal 117 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131. Pasal 118 Talak Raj‘I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa iddah. Pasal 119 1. talak Ba‘in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. 2. Talak Ba‘in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah : a. talak yang terjadi qabla al dukhul; b. talak dengan tebusan atahu khuluk; c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. 172 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 173 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 120 Talak Ba‘in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba‘da al dukhul dan hadis masa iddahnya. Pasal 121 Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Pasal 122 Talak bid‘I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 123 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan Pasal 125 Li‘an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya. Pasal 126 Li‘an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Pasal 127 Tata cara li‘an diatur sebagai berikut : a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta” b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya : tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”; c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li‘an. Pasal 128 Li‘an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Bagian Kedua Tata Cara Perceraian Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 130 Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi BAB XVI PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Umum Pasal 113 Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan. Pasal 114 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 116 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami menlanggar taklik talak; k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Pasal 117 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131. Pasal 118 Talak Raj‘I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa iddah. Pasal 119 1. talak Ba‘in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. 2. Talak Ba‘in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah : a. talak yang terjadi qabla al dukhul; b. talak dengan tebusan atahu khuluk; c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. 174 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 175 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 137 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 138 1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. 2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua 3. Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 140 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilandisampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat Pasal 141 1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian 2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa meeka. 3. Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama. Pasal 142 1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. 2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Pasal 143 1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Pasal 144 Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Pasal 145 Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 146 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. Pasal 131 1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. 2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. 3. Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. 4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh. 5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama Pasal 132 1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. 2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 133 1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah. 2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman besama. Pasal 134 Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut. Pasal 135 Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 136 1. Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri 174 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 175 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 137 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 138 1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. 2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua 3. Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 140 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilandisampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat Pasal 141 1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian 2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa meeka. 3. Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama. Pasal 142 1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. 2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Pasal 143 1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Pasal 144 Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Pasal 145 Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 146 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. Pasal 131 1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. 2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. 3. Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. 4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh. 5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama Pasal 132 1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. 2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 133 1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah. 2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman besama. Pasal 134 Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut. Pasal 135 Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 136 1. Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri 176 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 177 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 150 Bekas suami berhak melakukan ruju‘ kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah. Pasal 151 Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Pasal 152 Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. Bagian Kedua Waktu Tunggu Pasal 153 1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari: b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. 4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami. 5. Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. 6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Pasal 154 Apabila isteri bertalak raj‘I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya. Pasal 155 Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li‘an berlaku iddah talak. Bagian Ketiga Akibat Perceraian Pasal 156 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap Pasal 147 (1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan. (2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan. (3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteriatau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri. (4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera. (5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta. (6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya. Pasal 148 1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau lasan-alasannya. 2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar keterangannya masing-masing. 3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya. 4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. 5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5) 6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa. BAB XVII AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Akibat Talak Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut‘ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun 176 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 177 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional Pasal 150 Bekas suami berhak melakukan ruju‘ kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah. Pasal 151 Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Pasal 152 Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. Bagian Kedua Waktu Tunggu Pasal 153 1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari: b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. 4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami. 5. Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. 6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Pasal 154 Apabila isteri bertalak raj‘I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya. Pasal 155 Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li‘an berlaku iddah talak. Bagian Ketiga Akibat Perceraian Pasal 156 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap Pasal 147 (1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan. (2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan. (3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteriatau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri. (4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera. (5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta. (6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya. Pasal 148 1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau lasan-alasannya. 2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar keterangannya masing-masing. 3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya. 4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. 5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5) 6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa. BAB XVII AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Akibat Talak Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut‘ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun 178 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 179 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB XVIII RUJUK Bagian Kesatu Umum Pasal 163 (1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masaiddah. (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul; b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk. Pasal 164 Seorang wanita dalam iddah talak raj‘I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi Pasal 165 Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama. Pasal 166 Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada instansi yang mengeluarkannya semula. Bagian Kedua Tata Cara Rujuk Pasal 167 (1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan (2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. (3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj‘i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya. (4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. (5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikahmenasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. Pasal 168 (1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksisaksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat- surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan. 5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya; c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama membverikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Pasal 157 Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97 Bagian Keempat Mut‘ah Pasal 158 Mut‘ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat : a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba‘da al dukhul; b. perceraian itu atas kehendak suami. Pasal 159 Mut‘ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158 Pasal 160 Besarnya mut‘ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Bagian Kelima Akibat Khuluk Pasal 161 Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk Bagian Keenam Akibat Li‘an Pasal 162 Bilamana li‘an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah. 178 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 179 IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional dalam Hukum Nasional dan Kovenan Internasional BAB XVIII RUJUK Bagian Kesatu Umum Pasal 163 (1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masaiddah. (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul; b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk. Pasal 164 Seorang wanita dalam iddah talak raj‘I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi Pasal 165 Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama. Pasal 166 Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada instansi yang mengeluarkannya semula. Bagian Kedua Tata Cara Rujuk Pasal 167 (1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan (2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. (3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj‘i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya. (4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. (5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikahmenasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. Pasal 168 (1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksisaksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat- surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan. 5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya; c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama membverikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Pasal 157 Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97 Bagian Keempat Mut‘ah Pasal 158 Mut‘ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat : a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba‘da al dukhul; b. perceraian itu atas kehendak suami. Pasal 159 Mut‘ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158 Pasal 160 Besarnya mut‘ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Bagian Kelima Akibat Khuluk Pasal 161 Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk Bagian Keenam Akibat Li‘an Pasal 162 Bilamana li‘an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah. 180 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. (3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya. Pasal 169 (1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama. (2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk. (3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera. BAB XIX MASA BERKABUNG Pasal 170 (1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fi tnah. (2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan. 180 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. (3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya. Pasal 169 (1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama. (2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk. (3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera. BAB XIX MASA BERKABUNG Pasal 170 (1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fi tnah. (2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.
Oktober 28, 2016
No Comment
0 comments:
Posting Komentar