mpu tantular
Judul : Kakawin Sutasoma • Penulis : Mpu Tantular • Penerjemah : Dwi Woro Retno Mastuti dan Hasto Bramantyo • Penerbit : Komunitas Bambu, Agustus 2009 • Tebal : xxiii + 539
Kakawin Sutasoma ini ditulis oleh Mpu Tantular. Syair ini digubah pada zaman Raja Hayam Wuruk – saat itu Majapahit berada dalam puncak kejayaannya di paruh abad ke-14. Selain Sutasoma, karya sastra Jawa Kuno yang dianggap sebagai karya sastra besar dan melampaui zamannya adalah kakawin Ramayana, Mahabharata, Arjunawiwaha, Hariwangsa, Bharatayudha, Gatotkacasraya, Smaradahana, Sumanasantaka, Arjunawijaya, Siwaratrikalpa, Parthayajna dan Kunjarakarna.
Buku Kakawin Sutasoma ini menggunakan dua bahasa, Jawa Kuno dan bahasa Indonesia, terdiri dari 148 pupuh/bab dan 1209 bait. Di dalam Kakawin ini salah satu rangkaian liriknya telah dikenal oleh bangsa Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya bermacam-macam suku bangsa tetapi tetap satu tujuan dari berbagai suku bangsa, bahasa dan budaya. Motto atau semboyan Indonesia ini tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Selain itu, ajaran moral dan pekerti yang terkandung di dalamnya telah mengisi relung batin bangsa Indonesia sejak dahulu.
Berikut petikan pupuh 139 bait 5 :
Rwãneka dhãtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Šiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa,
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran
Ringkasan isi Kakawin Sutasoma :
Buddha berreinkarnasi dan menitis kepada putra raja Hastina, prabu Mahaketu. Putranya ini bernama Sutasoma. Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha (Mahayana). Pada suatu malam, Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina karena ia tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Sejak pelariannya disadari kalangan dalam istana, maka timbul huru-hara di istana, sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih.
Setibanya di hutan, Sutasoma bersembahyang dalam sebuah kuil. Datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah diterima dan dikabulkan. Kemudian Sutasoma mendaki pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sampai di sebuah pertapaan, maka Sutasoma mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia yang bernama Purusada. Dan petualangan Sutasoma pun dimulai.
Di perjalanan Sutasoma bertemu raksasa berkepala gajah, yang ingin memangsanya. Tetapi raksasa tersebut takluk, dan bersedia menjadi murid Sutasoma. Ia juga bertemu dengan naga, dan naga pun bersedia menjadi muridnya. Akhirnya Sutasoma bertemu seekor harimau betina yang lapar. Harimau ini akan memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh Sutasoma dan diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu ia pun diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan ia pun menangis, menyesali perbuatannya. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Harimau pun menjadi pengikut Sutasoma.
Bagaimana Sutasoma bertemu Purusada? Diceritakan bahwa Purusada sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada Batara Kala, tetapi Batara Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin menyantap Sutasoma. Purusada pun mencari Sutasoma, dan terjadi perang. Tetapi karena Sutasoma tidak melawan, maka ia berhasil ditangkap. Sutasoma dipersembahkan kepada Batara Kala. Sutasoma bersedia dimakan Batara Kala asal ke-100 raja itu dilepaskan. Purusada menjadi terharu mendengar permintaan Sutasoma dan akhirnya ia pun bertobat. Semua raja dibebaskan.
~*0*~
sutasomaKalau Anda tertarik dengan kisah Sutasoma ini, saya merekomendasikan untuk membaca Novel Sutasoma karya Cok Sawitri. Novel Sutasoma ini terinspirasi dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, yang secara tradisi dibagi dalam dua versi, yakni versi Bali dan Jawa. Dalam novel ini justru baru ditemukan proses ajaran Mahayana Tantra dan latar belakang Jayantaka; mengungkapkan pula jalan rahasia yoga tantra, kemudian tokoh-tokoh yang semula kabur dalam kisah lisannya dihidupkan dengan berbagai percakapan dan penjelasan mengenai ajaran Buddha Nusantara dan siwait, di latar belakangnya adalah kisah negara yang bangkit merebut kedaulatan dan bagaimana akibat apabila seorang raja menerapkan “dharma agama” dan “dharma negara” tanpa memperhitungkan kebhinekaan.

http://www.goodreads.com/story/show/14954-resensi-buku-sutasoma

Petikan dari kakawin ini

Di bawah ini diberikan beberapa contoh petikan dari kakawin ini bersama dengan terjemahannya. Yang diberikan contohnya adalah manggala, penutup dan sebuah petikan penting.

Manggala

Pada Kakawin Sutasoma terdapat sebuah manggala. Manggala ini memuja Sri Bajrajñana yang merupakan intisari kasunyatan.Jika beliau menampakkan dirinya, maka hal ini keluar dalam samadi sang Boddhacitta dan bersemayam di dalam benak. Lalu beberapa yuga disebut di mana Brahman, Wisnu dan Siwa melindungi. Maka sekarang datanglah Kaliyuga di mana sang Buddha datang ke dunia untuk membinasakan kekuasaan jahat.
Manggala Terjemahan
1 a. Çrî Bajrajñâna çûnyâtmaka parama sirânindya ring rat wiçes.a 1 a. Sri Bajrajñana, manifestasi sempurna Kasunyatan adalah yang utama di dunia.
1 b. lîlâ çuddha pratis.t.hêng hredaya jaya-jayângken mahâswargaloka 1 b. Nikmat dan murni teguh di hati, menguasai semuanya bagai kahyangan agung.
1 c. ekacchattrêng çarîrânghuripi sahananing bhur bhuwah swah prakîrn.a 1 c. Ia adalah titisan Pelindung tunggal yang menganugrahi kehidupan kepada tri buwana – bumi, langit dan sorga – seru sekalian alam.
1 d. sâks.ât candrârka pûrn.âdbhuta ri wijilira n sangka ring Boddhacitta 1 d. Bagaikan terang bulan dan matahari sifat yang keluar dari batin orang yang telah sadar.
2 a. Singgih yan siddhayogîçwara wekasira sang sâtmya lâwan bhat.âra 2 a. Ia yang diterangi, yang manunggal dengan Tuhan, memang benar-benar Raja kaum Yogi yang berhasil.
2 b. Sarwajñâmûrti çûnyâganal alit inucap mus.t.ining dharmatattwa 2 b. Perwujudan segala ilmu Kasunyatan baik kasar ataupun halus, diajikan dalam sebuah doa dan puja yang khusyuk.
2 c. Sangsipta n pèt wulik ring hati sira sekung ing yoga lâwan samâdhi 2 c. Singkatnya, mari mencari-Nya dengan betul dalam hati, didukung dengan yoga dan samadi penuh.
2 d. Byakta lwir bhrântacittângrasa riwa-riwaning nirmalâcintyarûpa 2 d. Persis bagaikan seseorang yang merana hatinya merasakan rasa kemurnian Yang Tak Bisa Dibayangkan.
3 a. Ndah yêka n mangkana ng çânti kineñep i tutur sang huwus siddhayogi 3 a. Maka itulah ketentraman hati yang dituju seorang yogi sempurna.
3 b. Pûjan ring jñâna çuddhâprimita çaran.âning miket langwa-langwan 3 b. Biarkan aku memuja dengan kemurnian dan kebaktian tak tertara sebagai sarana untuk menulis syair indah.
3 c. Dûrâ ngwang siddhakawyângitung ahiwang apan tan wruh ing çâstra mâtra 3 c. Mustahil aku akan berhasil menulis kakawin sebab tiada tahu akan tatacara bersastra.
3 d. Nghing kêwran déning ambek raga-ragan i manah sang kawîrâja çobha 3 d. Namun, sungguh malu dan terganggu oleh pikiran akan sebuah penyair sempurna di ibukota.
4 a. Pûrwaprastâwaning parwaracana ginelar sangka ring Boddhakâwya 4 a. Pertama dari semua cerita yang saya gubah diturunkan dari kisah-kisah sang Buddha.
4 b. Ngûni dwâpâra ring treat kretayuga sirang sarwadharmânggaraks.a 4 b. Dahulukala ketika dwapara-, treta- dan kretayuga, beliau merupakan perwujudan segala bentuk dharma.
4 c. Tan lèn hyang Brahma Wis.n.wîçwara sira matemah bhûpati martyaloka 4 c. Tiada lain sang hyang Brahma, Wisnu dan Siwa. Semuanya menjadi raja-raja di Mercapada (dunia fana).
4 d. Mangké n prâpta ng kali çrî Jinapati manurun matyana ng kâla murkha 4 d. Dan sekarang pada masa Kaliyuga, Sri Jinapati turun di sini untuk menghancurkan kejahatan dan keburukan.

Penutup

Pupuh penutup adalah pupuh nomor 148.

Epilog Terjemahan
1 a. Nâhan tântyanikang kathâtiçaya Boddhacarita ng iniket 1 a. Maka inilah akhir dari sebuah cerita indah dan digubah dari kisah sang Buddha.
1 b. Dé sang kawy aparab mpu Tantular amarn.a kakawin alangö 1 b. Oleh seorang penyair bernama mpu Tantular yang menggubah kakawin indah.
1 c. Khyâtîng rat Purus.âdaçânta pangaranya katuturakena 1 c. Termasyhur di dunia dengan nama Purusadasanta (pasifikasi raja Purusada).
1 d. Dîrghâyuh sira sang rumengwa tuwi sang mamaca manulisa 1 d. Semoga semua yang mendengarkan, membaca dan menyalin akan panjang umurnya.
2 a. Bhras.t.a ng durjana çûnyakâya kumeter mawedi giri-girin 2 a. Hancur lebur para durjana, tak berdaya, gemetar, takut karena ngeri.
2 b. Dé çrî râjasa raja bhûpati sang angd.iri ratu ri Jawa 2 b. Oleh Sri Rajasa yang bertakhta di Jawa.
2 c. Çuddhâmbek sang aséwa tan salah ulah sawarahira tinut 2 c. Para abdinya berhati murni dan melaksanakan segala perintahnya tanpa salah.
2 d. Sök wîrâdhika mêwwu yêka magawé resaning ari teka 2 d. Sungguh banyak para pahlawan unggul, jumlahnya ada ribuan yang memberikan rasa takut kepada para musuh.
3 a. Ramya ng sâgara parwatêki sakapunpunan i sira lengeng 3 a. Indahlah laut dan gunung di bawah penguasaannya.
3 b. Mwang tang râjya ri Wilwatikta pakarâjyanira n anupama 3 b. Dan ibukota Wilwatikta (= Majapahit) sungguh indah di luar bayangan.
3 c. Kîrn.êkang kawi gîta lambing atuhânwam umarek i haji 3 c. Banyaklah jumlah para penyair, tua dan muda yang menggubah nyanyian dan kakawin yang menghadap sang ratu.
3 d. Lwir sang hyang çaçi rakwa pûrn.a pangapusnira n anuluhi rat 3 d. Bagaikan Dewa Candra kekuasaannya menyinari dunia.
4 a. Bhéda mwang damel I nghulun kadi patangga n umiber i lemah 4 a. Berbeda dengan karyaku bagaikan gajah yang terbang di atas tanah.
4 b. Ndan dûra n mad.anêka pan wwang atimûd.ha kumawih alangö 4 b. Mustahillah menyamai karena orang bodoh yang seolah-olah menulis kakawin indah.
4 c. Lwir bhrân.tâgati dharma ring kawi turung wruh ing aji sakathâ 4 c. Seperti seseorang yang bingung mengenai kewajiban seorang penyair tidak mengenal peraturan bersyair.
4 d. Nghing sang çrî Ran.amanggalêki sira sang titir anganumata. 4 d. Namun Sri Ranamanggala juga yang menjadi panutanku.

[sunting] Bhinneka Tunggal Ika


Lambang Indonesia dengan motto Bhinneka Tunggal Ika
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Lengkapnya ialah:
Jawa Kuna Alih bahasa
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Terpecah belahlah itu,, tidak ada kebenaran yang mendua.

Penggubah dan masa penggubahan

Kakawin Sutasoma digubah oleh mpu Tantular pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan prabu Rajasanagara atau raja Hayam Wuruk. Tidak diketahui secara pasti kapan karya sastra ini digubah. Oleh para pakar diperkirakan kakawin ini ditulis antara tahun 1365 dan 1389. Tahun 1365 adalah tahun diselesaikannya kakawin Nagarakretagama sementara pada tahun 1389, raja Hayam Wuruk mangkat. Kakawin Sutasoma lebih muda daripada kakawin Nagarakretagama.
Selain menulis kakawin Sutasoma, mpu Tantular juga jelas diketahui telah menulis kakawin Arjunawijaya. Kedua kakawin ini gaya bahasanya memang sangat mirip satu sama lain.

Kakawin Sutasoma sebagai sebuah karya sastra Buddhis

Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam sejarah sastra Jawa karena bisa dikatakan merupakan satu-satunya kakawin bersifat epis yang bernafaskan agama Buddha.

Penurunan kakawin Sutasoma


Lontar Sutasoma dari Jawa Tengah dalam aksara Buda.
Kakawin Sutasoma diturunkan sampai saat ini dalam bentuk naskah tulisan tangan, baik dalam bentuk lontar maupun kertas. Hampir semua naskah kakawin ini berasal dari pulau Bali. Namun ternyata ada satu naskah yang berasal dari pulau Jawa dan memuat sebuah fragmen awal kakawin ini dan berasal dari apa yang disebut "Koleksi Merapi-Merbabu". Koleksi Merapi-Merbabu ini merupakan kumpulan naskah-naskah kuna yang berasal dari daerah sekitar pegunungan Merapi dan Merbabu di Jawa Tengah. Dengan ini bisa dipastikan bahwa teks ini memang benar-benar berasal dari pulau Jawa dan bukan pulau Bali.

[sunting] Resepsi kakawin Sutasoma di Bali

Di pulau Bali kakawin ini merupakan salah satu kakawin yang cukup digemari. Hal ini berkat kiprah I Gusti Sugriwa, salah seorang pakar susastra dari Bali yang mempopulerkan kakawin ini. Ia sebagai contoh banyak menggunakan petikan-petikan dari kakawin ini dalam bukunya mengenai pelajaran kakawin.

Penerbitan kakawin Sutasoma

Kakawin Sutasoma telah diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Soewito Santoso. Suntingan teksnya diterbitkan pada tahun 1975.
Selain itu di Bali banyak pula terbitan suntingan teks. Salah satu contohnya yang terbaru adalah suntingan yang diterbitkan oleh "Dinas Pendidikan provinsi Bali" (1993). Namun suntingan teks ini dalam aksara Bali dan terjemahan adalah dalam bahasa Bali.
Antara tahun 1959 - 1961 pernah diusahakan penerbitan teks sebuah naskah yang diiringi dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa.
Pada tahun 2009 terbit terjemahan baru dalam bahasa Indonesia beserta teks aslinya dalam bahasa Jawa Kuna. Suntingan teks dan terjemahan diusahakan oleh Dwi Woro R. Mastuti dan Hastho Bramantyo.

[sunting] Daftar pustaka

  • (ban) (jv) Dinas Pendidikan Bali, 1993, Kakawin Sutasoma. Denpasar: Dinas Pendidikan Bali.
  • (id) Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo, 2009, Kakawin Sutasoma. Mpu Tantular. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 979-3731-55-9
  • (id) Poerbatjaraka dan Tardjan Hadiwidjaja, 1952, Kepustakaan Djawa'. Djakarta/Amsterdam: Djambatan.
  • (en) Soewito Santoso, 1975, Sutasoma. New Delhi: Aditya Prakashan
  • (id) I Gusti Bagus Sugriwa, 1959 - 1961 Sutasoma / ditulis dengan huruf Bali dan Latin, diberi arti dengan bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Denpasar: Pustakamas
  • (en) P.J. Zoetmulder, 1974, Kalangwan: a survey of old Javanese literature. The Hague : Martinus Nijhoff ISBN 90-247-1674-8
  • (id) P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. pp. 415-437. Jakarta: Djambatan
http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Sutasoma#Resepsi_kakawin_Sutasoma_di_Bali
Resensi buku
Sandi Sutasoma

Judul : Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular
Penulis : Anand Krishna
Tebal : 312 + vi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1, 2007

”Kelak para penguasa dari Seluruh Kepulauan Nusantara akan mendatangimu. Dalam dirimu, Sutasoma, masa lalu, masa depan, dan masa mendatang menyatu. Engkaulah tujuan setiap pejalan” ( Purushada Shaanta, LIII : 3 & 4 )


Telah 62 tahun NKRI berdiri dan telah begitu panjang lika-liku perjalanan ditempuh sebagai bangsa hingga saat ini. Terutama sejak reformasi, kebhinekaan atau sering disebut Bhinneka Tunggal Ika enggan dibicarakan. Seolah sebagai bangsa kita mengalami amnesia panjang yang tak dapat kita obati. Hal ini sangat ironis karena membicarakannya saja sudah enggan apalagi mencari tahu bagaimana sejarahnya hingga menjadi semboyan negara kita. Bukan mustahil tidak banyak dari kita yang mengetahui darimana sumber semboyan negara kita. Bisa dibayangkan semboyan negara yang merupakan alat pemersatu bangsa wujud bukunyapun kita tidak tahu

Buku latin pertama yang dicetak oleh PT Bali Mas

Di tengah sibuknya setiap insan negeri ini dengan urusan perut, urusan sosial yang menyita waktu hingga musibah yang datang silih berganti sehingga membuat orang jarang bertatap muka dan berinteraksi dari hati ke hati. Menganggap apa yang diyakini sendiri sebagai yang benar dan menganggap keyakinan orang atau kelompok lain salah, merupakan refleksi alam bawah sadar dari evolusi kehewanian manusia yang terangkat kembali ke permukaan. Menurut Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, inilah pentingnya pendidikan yang mendidik manusia untuk mencapai budhi dan hridaya dengan jalan setiap saat memperhalus dengan budaya yang memiliki lokal wisdom.

Ini bukan sekedar Buku, bahkan boleh dikata bukan buku. Ini adalah sebuah alat atau dalam bahasa kuno Yantra untuk membangkitkan kembali roh Mpu Tantular, dan untuk membangunkan kembali jiwanya yang ada di dalam diri kita yang sudah lama tertidur. Demikian yang telah dikatakan oleh Anand Krishna dalam kata pembuka pada buku ini. Lebih lanjut Beliau juga mengatakan bahwa buku ini adalah Mantra, spell. Yaitu mantra yang akan mengubah diri kita semua untuk selamanya. Sebagai anak bangsa siapkah kita menerima tantangan ini?

Dalam buku ini dikatakan oleh penulis bahwa Sutasoma adalah ”Surat” yang tidak terbaca oleh Gajah Mada pada saat semestinya ia membaca, ketika membacanya ia sudah tidak mampu menindaklanjuti isinya. Fisik sang Maha Patih sudah terlalu lemah untuk itu. Saat sesaat lagi beliau akan meninggalkan dunia fana, teringat olehnya dimasa jayanya. Semua orang menyanjungnya dan yang terdengar olehnya hanyalah suara Empu Prapanca. Suara Empu Tantular tidak terdengar olehnya.

Buku ini sangat menggelitik, tegas, dan cerdas mengulas kembali kitab Sutasoma dan menguraikan maksud dan tujuan yang tersirat dalam kisah legendaris Sutasoma. Tidak banyak yang paham akan pesan yang tersirat dalam kisah ini bila dibaca secara langsung. Di samping menggunakan bahasa Sastra Jawa kuno, kisah Sutasoma merupakan kegelisahan Empu Tantular dalam melihat sepak terjang pemimpin di jaman itu. Dari buku ini penulis ingin menyampaikan kepada setiap anak bangsa di manapun berada bahwa pesan yang disampaikan oleh Empu Tantular sangat relevan bukan saja pada masa itu bahkan saat ini dan sepanjang masa. Di tengah pergolakan-pergolakan gerakan separatisme yang marak di Indonesia seperti RMS di Maluku, Bintang Kejora di Papua, Gerakan Aceh Merdeka dan lain-lain. Apabila hal ini tidak segera diambil langkah antisipasi maka kanker ganas akan menggerogoti tubuh kita. Karena saat ini kekuatan-kekuatan asing sudah menyusup masuk dan sedang bekerja untuk memperbudak bangsa ini lewat penjajahan di bidang budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi. Karena tentu saja dengan dikuasainya budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi maka kita kehilangan jati diri. Setelah itu mengubah peta politik menjadi sangat mudah.

Sebagai bangsa saat ini kita sedang mengalami Amnesia. Kita lupa bahwa Sriwijaya adalah dinasty pertama di dunia yang berkuasa lebih dari 8 abad. Keberhasilan Sriwijaya kita remehkan, karena merupakan kerajaan Hindu, Budha. Mereka dianggap mewakili jahiliyah. Keberhasilan Sriwijaya dan Majapahit adalah keberhasilan manusia Indonesia bukan keberhasilan Hindu atau Budha. Pemikiran para wali telah mewarnai seluruh kehidupan di kepulauan kita. Inilah pentingnya pengalaman sejarah, karena tanpa sejarah masa lalu yang panjang itu Indonesia tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Keberhasilan kita di masa kini belum menyamai keberhasilan kita di masa lalu. Dan satu-satunya jalan adalah kerja keras untuk memastikan bahwa masa kini dan masa depan kita lebih cemerlang dan gemilang.

Sistem negara kesatuan bagi kepulauan kita tidak dapat ditawar lagi kita tidak dapat ditawar lagi. Satu kesalahan kecil saja sudah cukup untuk memecah-belah bangsa ini. Kebhinnekaan, keberagaman dan pluralitas yang tidak bertujuan satu dan sama tidak berguna. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika adalah “Hal truth” untuk itu penggalan berikutnya mesti diperhatikan “Tan Hana Dharma Mangrwa” tidak ada dualitas dalam dharma, dalam kebajikan yang melandasi setiap karya bagi negara dan bhakti bagi ibu pertiwi. Selain itu kebijakan itu mesti menjunjung kearifan lokal. Manusia Indonesia harus tetap menjadi manusia Indonesia bukan fotocopyan Arab, China, India atau Eropa.

Keadaan kita saat ini tidak jauh berbeda. Banyak yang dapat menerima kebhinekaan, keberagaman, atau pluralitas. Namun sebatas penerimaan saja. Bagaimana menindaklanjuti penerimaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari tidak terpikir dan tidak dilakoni. Mpu Tantular mengingatkan kita bahwa apa yang sedang dialami oleh bangsa kita saat ini bukanlah cerita baru. Kita sedang mengulangi cerita masa lalu., karena saat itu kita tidak cukup belajar dari pengalaman kita.

Inilah Pesan-pesan penting dari Mpu Tantular dan Mahapatih Gajah Mada yang hendak berbicara dengan setiap putra-putri Ibu Pertiwi yang disajikan oleh penulis. Bahwa pertama sebagai anak bangsa kita harus berhati-hati dengan partai-partai politik yang berkiblat pada ideologi-ideologi asing. Secara proaktif hentikan mereka untuk meracuni otak setiap anak bangsa harus segera berhenti atau dihentikan. Kedua kita harus kembali pada kearifan lokal, pada nilai-nilai budaya asal Nusantara yang bersifat universal dan masih relevan, ketiga kita semua harus menyadarkan para petinggi negara akan peran mereka sebagai pemimpin bangsa, supaya mereka tidak mengorbankan kepentingan politik jangka pendek. Kita membutuhkan negarawan, bukan sekedar pejabat. Keempat menyadarkan rakyat akan tugas serta kewajibannya terhadap negara dan bangsa, bukan terhadap ideologi asing yang sering dikaitkan dengan agama untuk mengeksploitasi mereka. Kelima Identitas negara dan bangsa harus jelas-jelas ditempatkan diatas segala macam identitas diri yang lain. Untuk mengunjungi negara dimana penduduknya beragama sama dengan kita pun kita masih membutuhkan paspor yang dikeluarkan oleh negara kita. Keenam Keseragaman tidak sesuai dengan watak manusia Indonesia, tidak sesuai dengan alam kita dan keadaan geografis kepulauan kita. Ketujuh Diatas segalanya kita harus belajar dari ”pengalaman sejarah” masa lalu.. kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan kita di masa lalu. Selalu memperbaiki diri dan jangan mengulangi sesuatu yang salah, sesuatu yang keliru.

Untuk itu bangkitlah manusia Indonesia, bangkitlah untuk menyelamatkan negara ini dari kehancuran. Berkaryalah untuk menjamin keutuhan bangsa ini. Pesan-pesan dalam buku ini membakar jiwa setiap anak bangsa. Bacalah buku ini bila andapun ingin terbakar dan merasakan panasnya kepingan jiwa Mpu Tantular. Saat ini tak ada cara lain untuk ikut terbakar atau hidup sia-sia tanpa makna melihat kehancuran tanpa berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara.
Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Sutasoma merupakan karya Mpu Tantular. Adapun ringkasan dari kitab Sutasoma ini adalah sebagai berikut :
Dikisahkan Sanghyang Buddha yang menitis pada putra Prabu Mahaketu, raja Hastina, yang bernama Raden Sotasoma. Setelah dewasa dia sangat rajin beribadah cinta akan agama Buddha (Mahayana). Dia tidak mau dikawinkan dan dinobatkan menjadi raja. Pada suatu malam dia meloloskan diri dari kerajaan, pintu-pintu yang sedang tertutup dengan sendirinya menjadi terbuka untuk memberi jalan keluar pada prabu Sutasoma. Di dalam perjalanannya, Sutasoma tiba pada sebuah candi yang terletak di dalam hutan. Dia berhenti di candi tersebutdan mengadakan samadhi. Kemudian meneruskan perjalanan dan mendaki pegunungan Himalaya dengan diantar oleh beberapa orang pendeta. Mereka tiba si sebuah pertapaan. Diceritakan bahwa para pertapa yang melaksanakan samadhi di pertapaan itu sering mendapat gangguan dari seorang raja raksasa, yang gemar menyantap daging manusia dan bernama Purusada, akhirnya menjadi raksasa penghuni hutan. Tenyata Purusada menderita luka di kakinya dan tak kunjung sembuh.
Para pendeta meminta agar Sutasoma bersedia membunuh Purusada, akan tetapi permintaan tersebut ditolaknya. Dalam melanjutkan perjalanannya, ia mendapart serangan dari raksasa berkepala gajah dan seekor naga. Namun keduanya dapat dia dikalahkan. Ketika sampai disebuah tebing, ia melihat seekor macan betina yang sedang bersiap menyantap anaknya sendiri. Melihat kejadian tersebut, Sutasoma menawarkan diri sebagai pengganti. Maka dihisaplah darahnya oleh macan, dan meninggallah Sutasoma. Namun setelah melihat mayat Sutasoma. Kemudian datanglah Batara Indra untuk menghidupkan kembali Sutasoma. Setelah kejadian tersebut, Sutasoma bersamadhi di dalamsebuah goa. Para dewa mencoba keteguhan tekad sang pertapa tersebut dengan pelbagai godaan. Namun dapat diatasi oleh Sutasoma. Bahkan dalam melaksanakan samadhi, ia dapat menjelma menjadi Buddha Vairocana. Setelah pulih, kembali menjadi Sutasoma dan dirinya berniat untuk pulang ke negerinya. Di dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan bala tentara Purusada yang sedang dikejar olehPrabu Dasabahu. Ternyata ratu ini masih saudara sepupunya sendiri dan ia pun diminta untuk pulang kembali ke negerinya. Setelah kepulangannya, Sutasoma dinikahkan dengan adik Prabu Dasabahu. Setelah selesai perhelatan, ia pun menlanjutkan perjalanan ke Hastina, ia kemudian dinobatkan sebagai raja dan bergelar Prabu Sutasoma.
Pada waktu itu, raksasa Purusada yang bernazar akan mempersembahkan seratus manusia untuk menjadi santapan Batara Kala, bilamana luka di kakinya dapat disembuhkan. Ketika itu, Purusada dapat menawan sembilan puluh sembilan orang raja yang akan dipersembahkan pada Batara Kala. Untukmemperoleh raja ke seratus, Purusada lalu menyamar sebagai seorang pendeta tua yang kemudia berhasil menawan Raja Widarba. Kemudian jumlah ke seratus tawanan tersebut dipersembahkan pada Batara Kala. Namun persembahan tersebut ditolak oleh Batara Kala. Karena menginginkan daging Prabu Sutasoma. Setelah mengetahui duduk persoalan, Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala, asalkan keseratus tawanan lainnya dibebaskan. Kerelaan ini sangat berkenan di hati Batara Kala, bahkan Purusada menjadi terharu. Purusada kemudian bertobat dan berjanji tidak akan makin daging lagi.
Kitab Kunjarakarna
Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Kunjarakarna terdiri dari dua redaksi, yakni dalam bentuk Kakawin dan dalam bentuk Prosa. Kitab Kunjarakarna hingga saat ini belum diketahui siapa pengarangnya. Kitab ini isinya antara lain menggambar kan hukuman-hukuman yang diberikan di dalam neraka, dan berisi pujian pada Buddha Vairocana dengan menganggapnya sebagai lambang kebijaksanaan yang tertinggi serta sebagai Guru yang termulia.
Ringkasan narasi dalam Kitab Kunjarakarna sebagaimana telah dikutip, adalah sebagai berikut :
Dalam keadaan hati yang bimbang, Kunjarakarna pergi menemui Buddha Vairocana untuk menerima pelajaran Dharma dari beliau. Maka pergilah Kunjara karna menuju Bodhicitta, tempat tinggal Vairocana. Namun sesudah menerima Kunjarakarna,Vairocana menolak permintaannya. Dan pada Kunjarakarna, Vairocana menyatakan agar pergi menghadap Yama, Dewa neraka, supaya dapat mengetahui tentang keadaan neraka, setelah mengetahui keadaan di neraka, barulah Vairocana akan memberikan pelajaran tentang Dharma. Kunjarakarna mengikuti nasehat Vairocana, dan pergi menghadap Yama. Sesudahnya bertemu, kemudian menguraikan maksud kedatangannya, Yama kemudian memberikan ilmu-ilmu yang diperlukan.
Setelah mendengar uraian-uraian Yama, Kunjarakarna melihat sebuah ketel besar yang sedang dipersiapkan untuk menghukum orang. Lalu ia menanyakan pada Yama, untuk siapa ketel tersebut dipersiapkan Jawaban Yama sangat mengejutkan, karena ketel tersebut dipersiapkan untuk Purnawijaya,seorang Widyadhara, yang tak lain adalah temannya sendiri. Sesudah mendapatkan perintah dari Yama, lalu segera kembali menjumpai Buddha Vairocana, setelah itu Kunjarakarna pun meninggalkan dunia neraka.
Kunjarakarna tidak segera menghadap Vairocana, dan malah pergi menemui temannya, Purnawijaya dengan maksud memberitahukan pada Purnawijaya tentang kejadian apa yang telah dilihatnya di dunia neraka. Setelah memperoleh berita dari Kunjarakarna, Purnawijaya sangat terkejut dan meminta nasehatnya. Lalu Kunjarakarna menjawab, bahwa ia tidak dapat menolong Purnawijaya, karena diri Purnawijayabelum dibersihkan dari dosa-dosa yang telah diperbuat. Ia kemudian mengajak Purnawijaya untuk bersama-sama menemui Vairocana di Bodhicitta.
Sesampai di Bodhicitta, Kunjarakarna menyuruh Purnawijaya untuk bersembunyi terlebih dahulu. Sedangkan dirinya menghadap Vairocana lebih dahulu. Setelah memohon pada Vairocana, agar diberikan pelajaran tentang ilmu kesempurnaan hidup untuk dapat mencapai kebahagiaan, sambil menyinggung nyinggung tentang keadaan Purnawijaya. Setelah menerima pelajaran dari Vairocana, ia pun mohon diri dan kembali ke tempat Purnawijaya menyembunyikan diri.
Kemudian tibalah giliran Purnawijaya untuk menghadap Vairocana untuk mengajukan permohonan. Oleh Vairocana, Purnawijaya kemudian diberikan pelajaran dan menerima pelajaran tersebut, segeralah lenyap semua nafsu yang melekat pada dirinya yang menyebabkan ia berbuat dosa. Walupun demikian, Purnawijaya belum dapat tertolong dari maut. Oleh karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya, akhirnya Purnawijaya masuk neraka, tetapi tak akan lama di dunia neraka, hanya sepuluh hari saja. Hal itu perlu untuk membersihkan diri dari dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Setelah menerima pelajaran dari Vairocana, terhiburlah hati Purnawijaya. Kemudian dengan semangatnya Purnawijaya berlatih keras dalam samadhi dan dhyana, sesuai dengan pelajaran yang telah diterima dari Vairocana. Didampingi istrinya, Gandhawati, Purnawijaya lalu berpesan, apabila ajalnya tiba, istrinya yang harus mengurus dan menjaga mayatnya selama sepuluh hari, karena setelah sepuluh hari ia akan bangun kembali.
Saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Jiwa meninggalkan tubuh, diikuti oleh sebuah bayangan yang merupakan akibat dosa yang telah diperbuatnya, pergi ke dunia neraka dan menghadap pada Yama. Sesamp[ainya dineraka, oleh para pengawal neraka, Purnawijaya segera dilemparkan dalam ketel panas itu. Namun sekonyong-konyong ketel tersebut pecah dan hancur lebur. Dan ditempat tersebut muncul sebatang pohon surga, dikelilingi kolam dan bunga teratai yang amat indah. Para pengawal neraka sangat terkejut dan melaporkan kejadian tersebut pada Yama.
Kemudian bertanyalah Yama pada Purnawjaya tentang kejadian tersebut, setelah mendapatkan penjelasan dari Purnawijaya, yama lalu mengijinkan Purnawijaya untuk kembali ke asal(tubuh)nya. Setelah bangun kembali, Purnawijaya lalu memangggil semua Widyadhara dan Widyadhari untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian ia mengajak mereka semua untuk menghadap Vairocana dan meyampaikan puja dan puji untukNya.
Pada saat hampir bersamaan,semua dewa, seperti Indra, Waruna dan lain-lainnya mendatangi Yama untuk menanyakan apa yang telah terjadi. Setelah mendapatkan penjelasan dari Yama, para dewa kemudian menghadap Vairocana untuk memohon penjelasan. Dengan suka hati Vairocana lalu menceritakan kisah Kunjarakarna dan Purnawijaya, mengingatkan para dewa pada ilmu kenyataan itu. Setelah mendapatkan penjelasan dari Vairocana, mereka pun kembali ke alam sorga. Setelah mengalami benyak peristiwa dan pelajaran, Kunjarakarna dan Purnawijaya akhirnya bersama-sama melanjutkan samadhi di kaki gunung Mahameru. Setelah bersamadhi selama dua belas tahun, mereka kemudian naik ke sorga Siddha.

http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_058.shtml
Kitab
SUTASOMA
Kitab Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular dalam bentuk kakawin (syair) pada masa puncak kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1389). Kitab yang berupa lembaran-lembaran lontar ini demikian masyhur dalam khazanah sejarah negeri ini karena pada pupuh ke-139 (bait V) terdapat sebaris kalimat yang kemudian disunting oleh para ‘founding fathers’ republik ini untuk dijadikan motto dalam Garuda Pancasila lambang Negara RI. Bait yang memuat kalimat tersebut selengkapnya berbunyi:
Hyāng Buddha tanpāhi Çiva rajādeva
Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā,
Bhimukti rakva ring apan kenā parvvanosĕn,
Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan bebasnya:
Hyang Buddha tiada berbeda dengan Syiwa Mahadewa
Keduanya itu merupakan sesuatu yang satu
Tiada mungkin memisahkan satu dengan lainnya
Karena hyang agama Buddha dan hyang agama Syiwa sesungguhnya tunggal
Keduanya memang hanya satu, tiada dharma (hukum) yang mendua.
Dengan demikian pernyataan bhinneka tunggal ika tersebut sebenarnya merupakan bagian amat kecil dari buah karya Mpu Tantular. Sebagai bagian yang amat kecil, tak ada yang istimewa pada kata tersebut, apa lagi kemuliaan, bahkan arti harfiahnya pun sangatlah sederhana: berbeda itu satu itu (bhinne = berbeda; ika = itu; tunggal = satu; ika = itu). Lain dari itu, kalimat tersebut pun adalah bagian dari konsep beragama, samasekali jauh hubungannya dengan konsep politik seperti pada pengertian sekarang.
Lebih jauh, kitab itu pun bukanlah kitab keramat atau pantas dikeramatkan. Mpu Tantular tidak memaksudkannya sebagai kitab tempat orang berguru untuk menyelenggarakan pemerintahan di suatu Negara. Kurang-lebihnya ia adalah kitab yang bernuansa Buddha, dan menceritakan sebuah kisah yang diharapkan dapat diteladani oleh umat Buddha. Kisah tersebut adalah mengenai seorang pemuda bernama Raden Sutasoma. Dari nama tokoh utama tersebutlah kitab tersebut mendapatkan judulnya.
Adapun kisah ringkasnya:
Sang Buddha menjelma ke dunia sebagai Raden Sutasoma putra raja Mahaketu dari kerajaan Hastina. Putra raja tersebut sangat alim dan taat menjalankan berbagai perintah agama Buddha, dan selalu belajar untuk memperdalam pengetahuan agamanya. Setelah cukup umur, oleh ayahandanya ia diperintahkan untuk menikah, dan selanjutnya menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Akan tetapi titah ayahandanya ia tolak dengan halus. Ia belum ingin menikah ataupun menduduki singgasana Hastina, karena merasa pengetahuannya tentang agama masih terasa amat kurang.
Guna menghindari desakan lebih jauh dari ayahandanya, pada suatu malam Raden Sutasoma dengan diam-diam pergi meninggalkan istana. Tujuannya adalah ke gunung Himalaya, untuk bertapa sambil belajar agama Buddha pada para pertapa yang ditemuinya di sana. Setelah tiba di tujuan, ia mendapat berita dari seorang pertapa bahwa ada seorang raja bernama Purusaha atau Kalmasa, seorang raja penjelmaan raksasa, suka sekali memakan daging manusia.
Adapun mengapa Purusaha suka memakan daging manusia, ceritanya adalah sebagai berikut:
Suatu ketika juru masak raja tersebut kehabisan akal karena persediaan daging untuk makanan raja habis dimakan anjing. Ia telah berusaha keras mencari gantinya, namun tidak berhasil. Karena sangat takut akan murka sang Purusaha, ia terpaksa mengambil daging orang yang belum lama mati, dan memasaknya untuk baginda.
Tatkala baginda bersantap, ia merasa masakan itu sangat nikmat lebih dari masakan-masakan yang dihidangkan juru masak pada waktu-waktu sebelumnya. Maka ia pun memanggil sang juru masak, dan menanyakan apa sebabnya masakan yang ia santap menjadi selezat itu. Juru masak yang ketakutan akhirnya terpaksa berkata terus-terang tentang daging apa yang telah diolahnya di dapur istana.
Baginda ternyata tidak marah, bahkan memerintahkan untuk memasak daging-daging manusia lainnya, karena ia sangat menyukai daging jenis itu. Bertahun-tahun kebiasaan Purusaha berlangsung, bertahun-tahun pula rakyat baginda bermatian di dapur sang raja untuk memuaskan kerakusannya. Akibatnya penduduk negeri baginda tinggal sedikit karena habis dilalap raja atau mengungsi ke negeri lain yang rajanya tidak doyan makan orang.
Pada waktu Raden Sutasoma bertemu dengan pertapa itu, Purusaha atau Kalmasa sedang sakit, dan tinggal di sebuah hutan sebagai seorang raksasa. Ia berjanji jika sakitnya kelak sembuh, maka ia akan melakukan kurban seratus orang raja untuk dipersembahkan kepada dewa Kala.
Pertapa yang bercerita itu mohon kepada Raden Sutasoma untuk membunuh raksasa tadi. Tetapi Raden Sutasoma menolak permohonan itu.
Maka sang Sutasoma pun pergi dari tempat pertapa itu untuk melanjutkan perjalanan berkelana untuk berguru kepada pertapa-pertapa lain. Dalam perjalanan ini ternyata ia bertemu dengan seorang raksasa berkepala gajah. Raksasa itu mengancam akan membunuh Raden Sutasoma. Tetapi berkat kearifan dan ilmu yang dimilikinya sang pangeran dapat menundukkan raksasa tersebut dan memberinya pelajaran tentang agama Buddha. Setelah itu keduanya lalu melanjutkan perjalanan bersama.
Dalam perjalanan itu berselang beberapa waktu kemudian Raden Sutasoma melihat seekor harimau hendak menerkam anaknya sendiri. Sang pangeran segera mendapatkan harimau tersebut dan menasehati agar sang harimau mengurungkan niatnya. Karena harimau tersebut bersikeras hendak melaksanakan niatnya maka Sutasoma menawarkan dirinya menjadi mangsa sang harimau agar anak harimau tersebut terhindar dari maut. Tawaran tersebut diterima sang harimau, dan ia pun menerkam sang pangeran.
Tewasnya Raden Sutasoma membuat harimau tersebut menyesal dan amat masygul akan tindakannya. Saat itu datanglah dewa Indra ke tempat terjadinya peristiwa itu dan sang pangeran dihidupkan kembali. Harimau lantas menyerahkan diri kepada sang pangeran, bahkan menyatakan diri bersedia menjadi muridnya.
Dari sini Sutasoma melanjutkan perjalanannya kembali dan akhirnya bertapa di gunung Himalaya. Setelah masa bertapa selesai, ia pun kembali ke istana ayahnya di Hastinapura. Belum lama kemudian datanglah ke negeri itu para raksasa pengikut raja Purusada untuk meminta perlindungan. Mereka menghaturkan sembah pada Raden Sutasoma dan menyatakan bahwa mereka baru saja mengalami kekalahan dalam perang melawan raja Dasabahu. Tatkala raja Dasaahu mengetahui bahwa Sutasoma memberikan perlindungan kepada musuh-musuhnya, ia menjadi sangat marah. Tetapi manakala akhirnya ia mengetahui bahwa ia dan keluarga kerajaan Hastina masih memiliki hubungan keluarga, maka kemarahannya pun reda bahkan ia bersedia menikahkan adik perempuannya dengan Raden Sutasoma. Tak lama setelah menikah lalu sang pangeran dinobatkan oleh ayahandanya menjadi raja Hastina. Sejak itu duduklah Raden Sutasoma di atas tahta kerajaan Hastina.
Sementara itu, raja Purusada telah sembuh dari sakitnya. Ia menepati janjinya dengan menangkap seratus orang raja untuk dipersembahkan sebagai kurban kepada dewa Kala. Tetapi dewa Kala menolak persembahan tersebut, dan mengatakan bahwa ia ingin memakan daging Sutasoma raja Hastina. Mendengar itu raja Purusada pun pergi ke Hastina dan menghadap Sutasoma, lalu menceritakan apa yang telah ia lakukan dan apa pula niat dewa Kala. Sutasoma tidak berkeberatan dengan ajukan Purusada untuk menghadap dewa Kala. Kepadanya Sutasoma berkata bahwa ia bersedia menjadi mangsa dewa Kala asalkan ia membebaskan seratus orang raja yang telah diserahkan oleh Purusada padanya dibebaskan.
Mendengar ucapan Sutasoma itu raja Purusada terperanjat. Tak ia sangka Sutasoma demikian rendah hati dan rela menebus segala kejahatan yang ia lakukan. Ia merasa bersalah dan berdosa atas tindakan-tindakannya, lalu bertobat dan sejak itu tidak lagi memakan daging manusia.
Selanjutnya Sutasoma kembali ke kerajaan, dan memerintah Hastina yang menjadi kerajaan aman dan sentosa hingga akhir hayatnya. (MG06/09)

http://marganiscom.blogspot.com/2009/06/menelusuri-sejarah_11.html

Konsep tentang Tuhan/Gusti mencakup konsep tentang siapa yang disembah (sesembahan) dan tentang siapa yang menyembah dan caranya (panembah).
Sebelum datangnya Hindu & Budha banyak yang mengira Jawa menganut faham animisme & dinamisme bahkan ada yang menyebut sebagai polytheisme. Karena memang lain dari konsep yang ada kalau sekarang konsep Jawa ini lebih bisa diartikan ke arah “new age” atau malah agnostik yaitu dengan ber”tuhan” namun tidak mempercayai atau mengadopsi cerita nabi/malaikat. Karena memang mengedepankan “laku” pribadi dan menolak adanya konsep “malaikat”. Seperti yang ditelusuri oleh Prof, Purbacaraka dan juga dalam kitab tamtu panggelaran, dimana konsep awal Tuhan Jawa adalah tunggal/esa yaitu Sang Hyang Tunggal/ Sang Hyang Wenang yang merupakan konsep transendent dan Immanent dan Esa.
Setelah Hindu Budha masuk konsep tadi tersingkir dengan adanya Sang Hyang Mahadewa (Bathrara Guru) dilanjutkan dengan jaman Islam dengan masuknya Sang Hyang Adhama dan Sang Hyang Nurcahya dimana Sang Hyang Wenang “mengalah” dengan menempati posisi di bawah Sang Hyang Adhama.
Meskipun dinalar rumt dan mbulet namun dalam keberadaban Jawa yang mengutamakan “laku” hal tersebut nggak ada masalahnya, karena pada kenyataanya yang “nyanthel” atau yang melekat dalam sanubari Jawa adalah sebutan “Pangeran” atau “Gusti” yang lebih pas dirasa di kalbu Jawa bila menyebutkan konsep Tuhan. Bila menyebut Gusti rasanya “mak nyes” neng ati...seperti mas Bondan yang menyebut “mak nyus” dikala mencicipi kuliner yang nikmat.
Inilah konsep kuliner sesembahan Jawa ..”mak nyes” , yangmemang untuk dirasakan bukan untuk dianalogikan atau direkadaya (dicari-cari) namun diresapi.
Adapun mbah R. Ng. Ranggawarsito dalam bukunya Paramayoga pernah mengutarakan sesebutan sesembahan Jawa antara lain : Sang Hyang Suksma Kawekas, Sang Hyang Suksma Wisesa, Sang Hyang Amurbeng Rat, Sang Hyang Sidhem Permanem, Sang Hyang Maha Luhur, Sang Hyang Wisesaning Tunggal, Sang Hyang Wenanging Jagad, Sang Hyang Maha Tinggi, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Maha Sidhi, Sang Hyang Warmana, Sang Hyang Atmaweda dan lain-lainnya.




Panembah

Meskipun Kejawen bukan agama namun memberikan tata-cara atau tuntunan bagaimana “mamenbah” itu sendiri, namun tidak mengajarkan “how “ manembahnya. Lebih ke arah why-nya.
Why manembah ? Adalah memberikan tuntunan laku supaya bener lan pener untuk tujuan hidup yang berguna. Berguna bagi siapa ? Ya temtunya awalnya pada diri sendiri setelah itu the universe itu sendiri dalam ikut membangun peradaban dunia “melu memayu hayuning bawana” membuat cantik yang sudah tercipta cantik. Ada yang mengatakan memayu hayuning bawana adalah sesanti/filosofi yang mokal/tidak mungkin dicapai (sulit). Karena mengurusi diri sendiri dan keluarga , bebrayan saja kadang susah dan tidak sanggup kok mau mengurusi dunia. Inilah yang dulu saya sebut “kadohan panjangkamu ngger !”, seperti yang tertulis di Wedhatama. Yang disebut memayu hayuning bawana adalah wujud dari asung tuladha (budi) baik menghidupi atau menjalankan laku pribadi dengan pedoman-pedoman ide dasar jawa dulu. Contohnya : Untuk berbuat demi masyarakat sekitar tidak perlu ikut-ikutan ikut partai peserta pemilu (aku gak ngajak lho ..ini cuma perumpamaan). Namun untuk menjadi pemimpin kita bisa kok membuat (misal mampu) usaha swadaya dan swakarsa yang mengakomodasi masyarakat sekitar, sehingga bisa membantu dalam kehidupannya sehari-hari menyantuni masyarakat yang kurang mampu dan membangkitkan mereka. Rasanya lebih baik dari pada hura-hura politik apalagi dengan embel-embel agama segala. Hasilnya adalah “mbel gedhes” !


Kembali ke topic , awalnya adalah menyembah/percaya marang diri pribadi dalam menjalankan hidup dengan berdasar falsafah ke 6 dulu dengan puncaknya adalah sembah keharibaan pribadi dengan “nitisake pati” (memprioritaskan/menuju) sembah mati kembali ke asal muasal. Adapun penjelasan ringkas dari “titising pati”itu adalah bisa mengembalikan semua bahan pinjaman penyusun hidup kita yangtelah diberikan Gusti dengan bener lan pener (dengan benar dan tepat waktu serta tempat). Yang awalnya berupa materi alam semesta kembali ke alam semesta dan yang berupa materi cahaya serta teja kembali ke sumber cahya dan teja, sedangkan urip (suksma) kembali ke Gusti. Inilah konsep baku jawa yang disebut Sangkan Paraning Dumadi (nanti tak posting kapan-kapan) , namun secara singkat bisa dijelaskan bahwa sangkan paraning dumadi itu adalah 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu :

Aku berasal dari mana (lahir)
Aku mau kemana/ngapain (hidup)
Akhirnya aku ngapain dan bagimana caranya (mati)

Maka dari itu dalam peradaban jawa dikedepankan tata cara “olah rasa” sehingga bukan “hasilnya” yang dituju namun “melakukannya”. Contohnya adalah beberapa ilustrasi berikut :
Di Jawa ada yang namanya “beksan” yaitu suatu bentuk tari-tarian, coba diperhatikan tingkah laku penarinya. Untuk nyemplak selendang sang penari kadang harus muter dulu seperti tata cara olah raga melempar martil, namun tidak dengan kekeuatan tapi kualitas semplakan yang di cari.
Demikian juga untuk tembang/lagu Jawa, ada yang aneh-aneh namun kalau diperhatikan akan mengesankan dengan mengedepankan “memayu hayuning bawana” tadi. Seperti lagu/tembang “laler mengeng” (lalat berbunyi)...lha wong lalat bunyi kok dibahas ! Juga tentang lagu “tebu rubuh” (tebu jatuh” serta suluk dalang. Semua itu adalah memperhatikan konsep natural life yang harmoni.
Menjalankan sembah sejati tidak hanya urusan lahir, namun sebaiknya dilakukan dan diresapi seperti memahami lagu/tembang laler mengeng diatas. Apa sih indahnya bunyi lalat, apa sih indahnya bunyi air hujan jatuh ?. Itulah keindahan irama jiwa.

Ngelmu Karang

Ilmu sejati adalah ilmu /pengetahuan yang telah diuraikan diatas untuk mencicipi sangkan paraning dumadi, dengan olah rasa/kebatinan.spiritual. Namun ada ngelmu/pengetahuan yang tidak ada sangkut pautnya dengan memayu hayuning bawana atau sangkan paraning dumadi. Namun hanya mengedepankan “bagaimana hidup” dan “menikmati” keduniaan yaitu seperti ilmu-ilmu yang disebut ilmu karang (kekarangan = persekutuan). Yang hanya pengin hidup enak dengan kenikmatan dunia seperti “kumrubuking iwak, gumrincing ringgit lan kumlerape pupu kuning” enaknya makanan, banyaknya harta benda dan nikmatnya paha putih syahwat.
Sehingga banyak ilmu kebatinan yang dipakai untuk mencari kepuasan dunia tersebut seperti pesugihan, aji-aji, jimat, pusaka dan lain-lainnya. Di Wedhatama hal tersebut disentil oleh pengarangnya dengan menyebut kekarangan (bersekutu) dengan bangsa goib adalah tidak benar dan adakalanya bisa mencelakanan / luput saking tujuwan urip.

“Kekerane ngelmu karang, kekarengan saking bangsaning gaig, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jagad, amung aneng jabaning daging kulub, yen kapengkok ppancabaya , ubayane mbalenjani”

Ngelmu karang itu bersekutu dengan gaib, yang seperti itu ibarat boreh (pupur/kosmetik) yangtidak merasuk ke jiwa raga. Tempatnya hanya diluar daging. Bila suatu saat ingin digunakan kadang tidak mumpuni.

To be continued ...
Kawruh Kejawen(kejawaan) adalah suatu konsep falsafah hidup yang digali terus menerus sepanjang masa. Dimana konsep dasar kawruh (pengetahuan) Jawa adalah “laku” yaitu pengalaman pribadi sang pencari. Namun kenyataan sekarang opini public mengatakan bahwa Kejawen identik dengan “aliran kepercayaan” atau ada yang menganggap Kejawen adalah “agama”.
Karena sebenarnya kawruh kejawen adalah filosophy hidup yang menyangkut berbagai aspek ide dasar (falsafah) yangterdiri dari 6 falsafah dalam postingan awal saya dulu. Yaitu konsep dasar tentang hidup itu sendiri sebagai tuntunan hidup di dunia.. Disamping itu dalam kesempatan ini akan saya coba sedikit uraikan tentang konsep filoshopi hidup Kejawen dalam ranah ide dasar tentang filsafat hidup yang selain tuntunan hidup di dunia juga ngancik/masuk ke ranah filsafat kehidupan lain yaitu tentang iman dan peradaban. Memang kalau dilihat agak memper dengan konsep dasar agama yaitu faith. Namun yang membedakan adalah Kejawen tidak punya yang namanya “kitab suci”, namun mengandalkan pada “laku” menuju ke pencerahan kepribadian yaitu cipta, budi, rasa dan karsa.
Memang bener semua penganut/pencari Kejawen dipaksa harus mencantumkan kolom agama yang direstui di RI dengan memilih kelima agama yang ada. Tidak diperbolehkan mencantumkan Kejawen kalo dilihat dari kaca mata agama-agama yang direstui. Meski tidak mathuk/sesuai orang jawa selalu nrima (menerima) karena memang bukan ranah agama yang dicari. Namun ranah spiritualnya yang dicari. Orang yang ber”Tuhan” atau ber”ingsun” atau ber”aku sejati” tidak perlu harus mempunyai agama (agama yang direstui). Namun Jawa tidak pernah 100% menolak agama karena memang ide dasarnya adalah “Tuhan/Gusti/Ingsun” atau apalah konsep sesembahan itu adalah satu , satu dalam arti tunggal atau majemuk, dan manembah/menyembah adalah laku pribadi dan unik, mungkin bisa berbeda satu dan lainnya. Ini yang membuka peluang Kejawen identik dengan klenik, mistik dan lain-lainnya. Karena memang tidak ada syariat atau ritual baku dalam menyembah cuma ada konsep/ide dasar saja yang tidak mau menggurui karena ide dasar tadi adalah konsep universal yang tidak memandang minoritas dan mayoritas serta mengakomodasi sifat makluk dan manusia yang unik, tidak di gebyah uyah (tidak bisa disamakan) satu dan lainnya.

Laku peradaban jawa didasari pada konsep kesadaran religius spiritualis dimana tujuannya adalah bukan “hasil akhir” yang dicapainya namun “laku” yang memperhatikan dan menikmati “perjalanan” itu sendiri. Bertemu atau tidak tujuannya itu tidak perlu dipersoalkan namun perjalanan "laku" itu sendiri yang perlu dinikmati. Inilah kenapa jawa mengadopsi keadaan "Owah Gingsir", dimana tujuan dan cara laku bisa berubah dan berbeda setiap saat. Disini akan saya utarakan tentang konsep filosofi iman dan peradaban Jawa yang memuat 5 bahasan kawruh yaitu :

1.Adanya Tuhan/Gusti
2.Asal muasal Universe/Alam semesta
3.Mitologi Jawa
4.Peradaban Jawa
5.Penanggalan Jawa

Semoga bermanfaat dalam mengarungi samodra kehidupan yang “owah gingsir” dan “tan kena kinaya ngapa” ini , suatu jaman yang selalu berubah dan tidak bisa dipastikan.

Rahayu
Mas Cebolang
1. Pengantar

Kepercayaan dan praktek kebatinan kejawèn sudah lama hidup di Jawa. Tetapi, timbulnya aliran-aliran kebatinan sebagai suatu sistem terorganisasi adalah fenomena yang baru. Di lain pihak, zaman yang menjadi obyek tulisan ini zaman modern, karena itu hal yang disoroti dalam tulisan ini bukanlah kepercayaan kejawèn pada umumnya di Jawa, tetapi aliran-aliran kebatinan atau kepercayaan yang telah terorganisasi[1]. Mengingat adanya hubungan dengan masalah bagaimana menilai sifat Islam dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa, Clifford Geertz menitikberatkan sifat non-Islam yaitu sifat Hindu, Budha, dan animisme masyarakat dan kebudayaan Jawa[2]. Tetapi, Geertz dikritik, oleh misalnya Mark Woodward[3], yang mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan Jawa, pada dasarnya, adalah masyarakat dan kebudayaan Islam. Para kritikus mengritik bahwa Geertz mempunyai konsep Islam yang picik dari reformis Islam. Aliran-aliran kebatinan cenderung dilihat sebagai Islam yang sesat, dan sifat khas aliran-aliran kebatinan diabaikan.

Apabila agama baru dapat berdiri sendiri dari agama yang telah terbentuk sejak lama, baik secara organisasi maupun ajarannya, agama baru ini dapat dinilai sebagai sebuah agama yang berdiri sendiri. Pada ajaran agama tersebut perlu terbentuk/adanya suatu konsep penyelamatan/keselamatan. Dalam studi agama-agama baru, dapat dilihat suatu konsep penyelamatan/keselamatan yang khas di dalam agama baru ini yang disebut dengan istilah, “konsep penyelamatan/keselamatan hidup-isme”. Sifat khas “konsep penyelamatan/keselamatan hidup-isme” ini mementingkan penyelamatan/keselamatan di dunia ini. Sebaliknya bagi konsep penyelamatan agama yang telah terbentuk sejak lama, misalnya Islam dan Kristen, penyelamatan/keselamatan terdapat di akhirat.

Berbeda dengan agama-agama besar lainnya, kebatinan adalah “produk” asli Indonesia. Agama Yahudi, Kristiani dan Islam datang dari Timur Tengah. Agama Hindu dan Budha dari India. Agama Kong Hu Cu dari Cina. “Anehnya” di Indonesia aliran-aliran kebatinan ini justru tidak dilihat sebagai agama. Tetapi ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan dan bukan dari sudut administrasi, aliran-aliran kebatinan kiranya perlu diteliti sebagai agama. Tulisan ini tidak ingin masuk terlalu jauh pada ajaran-ajaran masing-masing aliran kejawèn karena pembicaraan akan menjadi sangat luas. Ada beberapa hal yang hendak ditampilkan untuk memberi sedikit gambaran paham yang terdapat dalam aliran-aliran kejawèn.



2. Keagamaan Orang Jawa

Jawa adalah kelompok etnik terbesar di Asia Tenggara yang berjumlah lebih dari 100 juta jiwa dari sekitar lebih dari 220 juta masyarakat Indonesia. Lebih dari 85% di antara mereka memeluk agama Islam. Dalam prakteknya, terdapat suatu garis pemisah kultural yang menyolok antara mereka yang secara serius melakukan kewajiban-kewajiban agama Islam dan mereka yang tidak mengatur hidupnya menurut kaidah-kaidah formal agama Islam. Golongan ini mengikuti tradisi pikiran kejawèn yang pertama-tama diilhami oleh buah pikiran Jawa Kuno dan budaya Hindu-Budhis serta unsur-unsur tambahan dari agama Islam. Pikiran kejawèn ini mempunyai suatu ciri religius mendalam, yaitu kesadaran bahwa semua yang ada turut ambil bagian dalam kesatuan eksistensi serta ketergantungan pada suatu prinsip kosmis yang meliputi segala-galanya dan yang mengatur hidup manusia[4]. Mereka dikenal sebagai tiga kelompok besar yang berbeda secara religi dan kultural yakni kelompok “putih” atau santri, “abangan”, dan “priyayi”[5].

Karena penyebaran Islam belum mendalam sejak berdirinya kesultanan Islam Demak (+ 1500), terganggunya keamanan dikarenakan perebutan kekuasaan politik di kalangan penerus keturunan Raden Patah dan terjadinya perpecahan di antara para wali (ulama), terjadilah tiga kelompok tersebut di antara para penganut agama di kalangan orang-orang Jawa. Selain itu, pertentangan politik di antara runtuhnya kerajaan Majapahit dan mulai masuknya pengaruh Portugis (tahun 1511 M) juga turut mempengaruhi perkembangan tiga kelompok tersebut[6].



1.1 Tiga Golongan Penganut Agama Kejawèn[7]

1.1.1 Golongan Santri (belum tentu Islam, bisa Budha dan Hindu dan tradisi)

Golongan santri, yang disebut juga “Wong Putihan”, adalah orang-orang yang taat menjalankan agama Islam, tetapi mereka membiarkan sanak saudara dan tetangganya yang melaksanakan acara dan upacara adat kepercayaan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan di antara mereka masih ada juga yang disengaja atau tidak disengaja menganut kepercayaan kejawèn. Misalnya dalam upacara selamatan dengan berzikir menggunakan pedupaan dan membakar kemenyan, atau memberi sesajian (sesajèn) kepada roh-roh ghaib pada waktu-waktu tertentu, memelihara dan mendengarkan suara burung perkutut sebagai pembawa tanda dan berita baik atau buruk, melihat dan menafisrkan tanda-tanda pada tubuh manusia, menafsirkan mimpi atau datangnya ilham[8].



1.1.2 Golongan Priyayi

Tadinya golongan priyayi merupakan kaum bangsawan, aristokrasi yang dekat hubungannya dengan raja-raja Jawa. Mereka merupakan semacam perantara, penghubung antara raja dan rakyatnya[9]. Mereka terdiri dari kaum bangsawan, para keluarga istana, dan para pejabat pemerintahan yang pada umumnya mengaku beragama Islam karena politik, kedudukan atau jabatan, tetapi kebanyakan dari mereka tidak menjalankan agama Islam dengan taat. Mereka masih mempertahankan dan melaksanakan adat keagamaan Hindu Jawa dan berpegang pada ajaran mistik kejawèn yang berasal dari mistik Hindu-Budha. Ajaran mistik yang mereka anut tidak membedakan antara Ketuhanan Yang Mutlak dan manusia, bahkan antara Yang Mutlak dan Manusia dapat menjadi tubuh yang satu.



1.1.3. Golongan Abangan

Golongan abangan atau sering disebut dengan “Wong Cilik” adalah mereka yang menganut kepercayaan purba yang bercampur dengan ajaran-ajaran Hindu-Budha Jawa kuno dengan berselubung pada Islam. Dalam melaksanakan acara dan upacara keagamaannya, mereka melakukan selamatan-selamatan dengan sesajèn terhadap roh-roh gaib. Mayoritas tidak melaksanakan ajaran agama, terutama ritual-ritual dan ibadah. Kepercayaan pada dukun, orang-orang pinter, jimat-jimat dan kekuatan magic lainnya sangat tinggi[10]. Perkembangan selanjutnya adalah banyak di antara mereka yang menjadi pengikut aliran kebatinan atau kepercayaan dan di antara mereka ada pula yang menjadikan dirinya pemuka kepercayaan tersebut, seperti aliran kepercayaan Sapta Darma, Sumarah, Pengestu, Subud, dll.

Terdapat perbedaan antara universalisme dan harapan kehidupan akhirat kaum santri dengan pragmatisme dan relativisme golongan abangan di Jawa[11]. Orang-orang abangan menilai Islam sebagai agama Arab. Karena itu, mereka tidak pernah menjalankannya sepenuh hati. Bagi mereka, yang penting adalah berbuat baik dan berlaku jujur. Ibadah atau ritual tidaklah penting sehingga mesjid atau tempat ibadah lainnya tidak penting. Tempat ibadah mereka ada di dalam hati. Sebaliknya, kaum santri menuduh kaum abangan sebagai bidaah, menganut penafsiran sesat dan menjadi musyrik. Perbedaan-perbedaan dalam menilai praktik agama itu sudah menjadi bagian kehidupan di Jawa sejak munculnya Islam.
1.2 Kebatinan Kejawèn

Kebatinan (dari batin: tersembunyi, rahasia) berarti memelihara dan mengembangkan manusia-dalam dan secara umum menunjukkan mistik yang magis atau religius. Manusia-dalam dipandang sebagai semacam mikrokosmos (jagad cilik) terhadap makrokosmos (jagad gedhé) atau Hidup. Orang yang melakukan kebatinan berusaha untuk menyelaraskan diri dan akhirnya mempersatukan diri dengan prinsip itu yang meliputi segala-galanya (manunggaling kawula Gusti) dan yang merupakan awal mula serta tujuan segala-galanya (sangkan paran)[12]. Ia hendaknya melakukan itu tanpa pamrih dan hanya terdorong oleh keinginan untuk hidup selaras dengan Hidup dan tujuan segalanya. Praktek kebatinan dibenarkan karena maksud untuk mengembangkan diri pribadi seseorang, aku-nya yang sejati (ingsun sejati), terlindung dari ungkapan sosial yang nampak. Dalam kebatinan orang berusaha melaksanakan penyatuan sejati dengan Sang Hidup sambil menemukan keseimbangan pribadi lewat praktek-praktek mati raga dan samadi. Kebatinan mempunyai empat unsur yaitu ilmu ghaib, union mistik, sangkan paraning dumadi dan budi luhur[13].

Terjemahan kamus umum untuk kejawèn atau kejawaan dalam bahasa Indonesia adalah “Kejawaan” dan “Javanisme”. Javanisme atau kejawèn, yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta[14]. Kejawèn meliputi konsep kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang mistis pada hakikatnya dan hal-hal lain yang serupa[15].

Kejawèn bukanlah suatu kategori religius, namun lebih menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa sehingga ketika sebagian orang mengungkapkan kejawaan mereka dalam praktek beragama, misalnya seperti dalam mistisisme, pada hakikatnya adalah suatu karakteristik yang secara kultural condong pada kehidupan yang mengatasi keanekaragaman religius. Ada banyak orang Jawa, misalnya di Yogyakarta, yang menjalankan kewajiban agama Islam secara sungguh-sungguh, tetapi mereka tetap orang Jawa yang membicarakan kehidupan dalam perspektif mitologi wayang atau menafsirkan shalat lima waktu sebagai pertemuan pribadi dengan Tuhan. Banyak di antara mereka yang masih menghormati slametan dan ziarah makam orang tua dan leluhur. Kesadaran akan budaya mereka sendiri adalah fenomena yang tersebar luas di kalangan orang Jawa. Kesadaran kultural ini sering berlaku sebagai sumber kebanggaan dan jati diri. Orang-orang yang melestarikan warisan budaya Jawa mereka dengan sungguh-sungguh bisa dianggap sebagai orang kejawèn.

Kejawèn merupakan sebuah produk dari pertemuan antara Islam dengan peradaban Jawa kuno; produk dari penjinakan, penundukan kerajaan-kerajaan Jawa oleh kongsi dagang VOC; hasil dari pertemuan kolonial antara orang Jawa dan Belanda. Gesekan-gesekan itu memaksa orang Jawa untuk merenungkan keberadaan mereka dan memacu konstruksi sebauh jati diri Jawa. Refleksi dan konstruksi itu adalah buah dari pertentangan dengan liyan, sehingga pertentangan-pertentangan pun berkembang, seperti santri X abangan, Jawa X Eropa; Timur X Barat[16].

3. Pemikiran dan Praktek Aliran Kebatinan-Kejawèn

Apa yang dikatakan agama budaya kejawèn adalah suatu paham keagamaan campuran yang dianut orang-orang Jawa, yang merupakan ramuan di antara adat keagamaan asli Jawa yang percaya pada alam ghaib dengan pengaruh Hindu-Budha dari zaman Majapahit dan pengaruh agama Islam dari zaman Demak. Dalam perkembangannya, paham keagamaan kejawèn tersebut kadangkala lebih condong kepada Hindu-Budha, kadangkala lebih condong pada Islam, atau lebih mengutamakan kejawaannya, dan atau kemudian ada pula yang condong pada Kristen-Katolik. Kecederungan itu ada yang sifatnya sebagai pedoman hidup dan ada yang sifatnya mengejek dan mencela antara satu dengan yang lain.

Dalam pikiran kejawèn, hidup manusia dilihat sebagai suatu manifestasi dari “Yang Tunggal”, yaitu “Sang Hidup” yang meliputi segala-galanya dan yang merupakan asal mula dan tujuan terakhir. Karena itu, tata tertib kosmis dan tata tertib sosial tidak berbeda-beda secara prinsipiil dan merupakan suatu keseluruhan, dengan hasil yang bersifat cukup antroposentris bahwa kesaktian qatau dimensi sakral terdapat baik di dalam masyarakat manusia maupun di dalam eksistensi kosmis yang lebih luas. Prinsip-prinsip kejawèn diungkapkan dalam prinsip pepesthèn, yaitu kenyataan bahwa semuanya itu harus mengikuti arah yang sudah ditentukan selaras dengan “hukum kosmos”. Karena itu, pada umumnya mereka menggemari ramalan, perhitungan magis, pétungan, primbon, dsb.

Upacara pokok kejawèn adalah slametan, yaitu perjamuan kerukunan sosio-religius yang diikuti oleh para tetangga bersama dengan beberapa sanak saudara dan sahabat. Upacara ini diadakan bertepatan dengan saat-saat penting di dalam kehidupan (perkimpoian, kehamilan, kelahiran anak, kematian, dll.), peristiwa-peristiwa komunal yang setiap tahun diadakan (bersih desa, pesta dusun/kampung yang setiap tahun diadakan bersama dengan upacara pembersihan atau persucian tertentu) dan segala macam kesempatan bila kesejahteraan umum dan keseimbangan digoncangkan. Pertunjukan wayang seringkali menyertai upacara slametan yang paling penting. Sang dalang bertindak sebagai wakil “Tuhan” yang melimpahkan kekuatan dan keselamatan kepada hidup di bumi ini. Upacara-upacara pokok ini dimaksudkan untuk memperlihatkan keinginan agar selamat dengan melestarikan keseimbangan yang tidak tergoncangkan maupun untuk memulihkannya kembali manakala keseimbangan itu terganggu. Praktek religius kejawèn berpusat pada individu yang berhaluan mistik[17].

Praktek mistik kejawèn dalam berbagai bentuk dan ungkapannya merupakan suatu cara yang umum diterima untuk membebaskan diri dari tekanan hirarkis dan kemasyarakatan. Seringkali pertalian antar pribadi kelihatan lemah, bahkan pertalian perkimpoian pun seringkali tidak dapat diandalkan. Pada dasarnya manusia itu sendirian dan harus menyelamatkan diri. Mistik berarti melaksanakan diri pribadinya yang sejati. Secara sosial orang dipaksa untuk memainkan suatu peranan tertentu dan menampilkan diri sebagai seorang yang sopan. Tetapi, dalam segi lain kehidupanlah yang memberi kompensasi dan sekaligus kekuatan untuk menopang harmani sosial. Namun, pada akhirnya hubungan seseorang dengan “kenyataan yang sejati” dianggap sebagai dasar sungguh dalam kehidupan[18].

Di tengah-tengah orang Jawa, alam pikiran masa kanak-kanak yang penuh magi dan fantasi terdapat juga dalam alam pikiran orang dewasa. Orang ingin percaya akan ramalan-ramalan dan mukjizat-mikjizat, akan peristiwa-peristiwa yang akan merombak dan memperbaiki dunia, dan menantikan suatu masyarakat yang adil makmur yang akan dibawa oleh seorang tokoh eskatologis (kalau istilah ini boleh digunakan) Sang Ratu Adil. Kedatangan keadaan itu bisa dipercepat oleh hubungan yang baik dan selaras dengan semesta alam atau dengan Tuhan. Semuanya itu sangat dipengaruhi oleh doa-doa dan upacara-upacara simbolis.

Pandangan religius kejawèn dipusatkan pada kesatuan hidup. Dalam ungkapan upacara-upacara simbolis, pandangan ini berpusat pada kesatuan harmonis dalam lingkungannya sendiri, entah itu keluarganya, tetangganya atau desanya. Dalam ungkapan yang mistik, agama Jawa memusatkan perhatiannya kepada hubungan langsung dan pribadi seseorang dengan “Yang Tunggal”. Sistem-sistem mistik yang rumit dan halus dikembangkan oleh kaum cendekiawan dan golongan priyayi di kota-kota. Dalam bentuknya yang lebih sederhana dan seringkali lebih magis, mistik tersebar luas di antara kaum abangan di pedesaan dan kota-kota kecil. Maju mundurnya perhatian kepada mistik berubah selaras dengan keadaan sosial masyarakat setempat. Seringkali perkembangan ini merupakan usaha untuk mengungkapkan diri dan mencari makna di tengah-tengah suatu zaman yang kacau. Tidak jarang pula mistik ini merupakan suatu bentuk organisasi modern untuk menghidupkan kembali warisan kebudayaan Jawa. Menjadi anggota salah satu agama “resmi’ tidak mencegah orang mempraktekkan”‘mistik” di dalam hatinya. Mentalitas kejawèn memang condong kepada sinkretisme dan sanggup menampung berbagai ungkapan religius yang bersama-sama mewujudkan kesatuan Hidup[19].
Prinsip - prinsip universal telah mengaruhi budi pekerti kejawen. Namun secara tegas bahwa kejawen tidak sama dengan Islam karena islam berkiblat ke Arab namun Kejawen lahir dari bumi Indonesia. Banyak orang mengaku kejawen namun mereka menganut Islam dalam KTP. Ini menjadi pencampuran semu dan pengaburan nilai2 kejawen oleh murid2 arab sehingga membuat lari pengagum kejawen bangsa jawa terutama .

continued

7 Pesona Siem Reap

Unearthing Asia

Siem Reap, kota bekas markas tentara dari negara yang dikuasai penguasa haus darah Khmer Merah, kini berkembang secara mengagumkan menjadi tujuan wisata internasional. Bahkan Siem Reap mendapatkan status sebagai Situs Warisan Dunia dari UNESCO dan salah satu dari Tujuh Keajaiban Baru Dunia. Padahal baru 20 tahun lalu daerah ini terlarang bagi wisatawan, penduduk lokalnya diteror dan dikuasai oleh ketakutan akan salah satu rezim paling kejam di dunia.

Saat ini, dengan reruntuhan kuno di wilayah Angkor Wat, Siem Reap menjadi kota yang hidup dan pada 2007 menerima kurang lebih satu juta pengunjung melalui bandara internasionalnya. Walau Angkor Wat merupakan pusat atraksi, namun bukan berarti kota Siem Reap tidak mendapat perhatian, dengan memiliki fasilitas restoran, museum dan galeri terbaik di wilayah tersebut.

Photo credits - tylerdurden1

Angkor Wat yang Mengagumkan

Angkor Wat adalah candi terbesar, paling terpelihara baik, memiliki desain paling rumit dan paling mengagumkan di Indochina, sebuah permata di mahkota kerajaan Angkor yang luas. Candi itu merupakan sumber kebanggaan nasional dan diakui secara internasional, diselubungi relief Hindu mengenai epik Ramayana. Seperti kebanyakan candi Hindu di Asia, Angkor Wat terlihat lebih indah pada saat fajar atau menjelang matahari tenggelam, ketika langit dipenuhi warna yang menonjolkan kelima menaranya.

Photo credits - taiger808

Angka Sembilan

Untuk mengenal Asia pertama-tama Anda harus memahami kepercayaan di benua tersebut, dan ini terlihat jelas di lingkungan Angkor Thom, sebuah candi yang terpaku dengan angka sembilan. Pengucapan "sembilan" serupa dengan kata "pembangunan", dan hampir semua yang ada di candi dapat disamakan ke angka ini - 54 menara yang diukir, 216 wajah di menara, 54 dewa di sebelah kiri pintu masuk, dan 54 setan di sebelah kanannya - semua angka-angka tersebut dapat ditambahkan hingga menjadi angka 9.


Photo credits - cornstaruk

Candi-candi Lain

Candi Angkor lain yang juga terkenal adalah Ta Prohm, dikelilingi oleh akar dari pohon berusia ratusan tahun. Akar pohon itu membuat Ta Prohm jadi objek foto menarik yang sukses meraih wisatawan. Bayon dikenal juga sebagai "Candi Wajah", dan ketika Anda di sana, mudah untuk mengerti mengapa nama tersebut disandang. Begitu Anda menaiki tangga batu menuju tempat suci di bagian dalam candi, ketika memandang ke atas akan tampak ratusan ukiran wajah dari batu melihat pada anda. Ada juga Banteay Srei, sebuah candi yang dipenuhi ukiran menakjubkan memenuhi setiap inci batu yang ada di sana. Bahkan dengan teknologi yang ada sekarang, hampir mustahil membuat pola-pola setepat dan serumit itu pada patung batu.

Photo credits - jimdavidson

Revitalisasi Sungai

Sekitar 50 km timur laut Siem Reap, terdapat Sungai Seribu Lingga mengalir menuju sungai Siem Reap yang di dasarnya dipenuhi dengan ukiran Lingga - simbol phallus yang sangat umum di Kamboja. Perkiraannya, ukiran-ukiran itu dibuat antara 1100-1300 untuk melambangkan kesuburan. Kini sungai itu menjadi tempat sempurna untuk menikmati keindahan tropis Siem Reap.

Photo credits - Allie_Caulfield

Tonle Sap

Siem Reap tidak hanya memiliki satu situs terkenal di dunia arkeologi, tapi juga punya salah satu danau terbesar dan paling berwarna di Asia Tenggara. UNESCO telah menetapkan Tonle Sap sebagai cagar alam biosfer, cagar alam margasatwa air yang menjadi habitat beberapa burung langka dan menjadi satu-satunya sungai di dunia yang arus airnya berubah dua kali dalam setahun.


Photo credits - Mai...

Seni Kontemporer

Seni rupa di Siem Reap sedang dalam perkembangan, Anda dapat menemukan apa saja dari suvenir murah sampai karya seni mahal. Beberapa tempat yang patut diperhatikan para pecinta seni antara lain: The McDermott Gallery, tempat fotografi kelas dunia akan
Angkor dan wilayah di sekitarnya dipamerkan; The Red Gallery, yang memiliki koleksi seni kontemporer paling beragam dari Kamboja; dan The Asia Craft Center, tempat berbagai macam kerajinan tradisional Kamboja dan Asia Tenggara berada.

Travel Aficionado

Arsitektur Kolonial

Siem Reap juga memiliki bangunan-bangunan era kolonial peninggalan Prancis yang kini dialihfungsikan dengan baik. Terletak di persimpangan dan bundaran tenang, bangunan-bangunan itu menjadi hotel, restoran dan galeri terbaik di Siem Reap, seperti Raffles
Grand Hotel D'Angkor, hotel termewah di kota itu yang didirikan pada 1932. Hotel itu pernah disinggahi oleh berbagai tamu VIP, termasuk Raja Norodom Sihanouk, Charlie Chaplin, Sultan Johor dan bahkan Jacqueline Kennedy.