1. Pengantar
Kepercayaan dan praktek kebatinan kejawèn sudah lama hidup di Jawa. Tetapi, timbulnya aliran-aliran kebatinan sebagai suatu sistem terorganisasi adalah fenomena yang baru. Di lain pihak, zaman yang menjadi obyek tulisan ini zaman modern, karena itu hal yang disoroti dalam tulisan ini bukanlah kepercayaan kejawèn pada umumnya di Jawa, tetapi aliran-aliran kebatinan atau kepercayaan yang telah terorganisasi[1]. Mengingat adanya hubungan dengan masalah bagaimana menilai sifat Islam dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa, Clifford Geertz menitikberatkan sifat non-Islam yaitu sifat Hindu, Budha, dan animisme masyarakat dan kebudayaan Jawa[2]. Tetapi, Geertz dikritik, oleh misalnya Mark Woodward[3], yang mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan Jawa, pada dasarnya, adalah masyarakat dan kebudayaan Islam. Para kritikus mengritik bahwa Geertz mempunyai konsep Islam yang picik dari reformis Islam. Aliran-aliran kebatinan cenderung dilihat sebagai Islam yang sesat, dan sifat khas aliran-aliran kebatinan diabaikan.
Apabila agama baru dapat berdiri sendiri dari agama yang telah terbentuk sejak lama, baik secara organisasi maupun ajarannya, agama baru ini dapat dinilai sebagai sebuah agama yang berdiri sendiri. Pada ajaran agama tersebut perlu terbentuk/adanya suatu konsep penyelamatan/keselamatan. Dalam studi agama-agama baru, dapat dilihat suatu konsep penyelamatan/keselamatan yang khas di dalam agama baru ini yang disebut dengan istilah, “konsep penyelamatan/keselamatan hidup-isme”. Sifat khas “konsep penyelamatan/keselamatan hidup-isme” ini mementingkan penyelamatan/keselamatan di dunia ini. Sebaliknya bagi konsep penyelamatan agama yang telah terbentuk sejak lama, misalnya Islam dan Kristen, penyelamatan/keselamatan terdapat di akhirat.
Berbeda dengan agama-agama besar lainnya, kebatinan adalah “produk” asli Indonesia. Agama Yahudi, Kristiani dan Islam datang dari Timur Tengah. Agama Hindu dan Budha dari India. Agama Kong Hu Cu dari Cina. “Anehnya” di Indonesia aliran-aliran kebatinan ini justru tidak dilihat sebagai agama. Tetapi ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan dan bukan dari sudut administrasi, aliran-aliran kebatinan kiranya perlu diteliti sebagai agama. Tulisan ini tidak ingin masuk terlalu jauh pada ajaran-ajaran masing-masing aliran kejawèn karena pembicaraan akan menjadi sangat luas. Ada beberapa hal yang hendak ditampilkan untuk memberi sedikit gambaran paham yang terdapat dalam aliran-aliran kejawèn.
2. Keagamaan Orang Jawa
Jawa adalah kelompok etnik terbesar di Asia Tenggara yang berjumlah lebih dari 100 juta jiwa dari sekitar lebih dari 220 juta masyarakat Indonesia. Lebih dari 85% di antara mereka memeluk agama Islam. Dalam prakteknya, terdapat suatu garis pemisah kultural yang menyolok antara mereka yang secara serius melakukan kewajiban-kewajiban agama Islam dan mereka yang tidak mengatur hidupnya menurut kaidah-kaidah formal agama Islam. Golongan ini mengikuti tradisi pikiran kejawèn yang pertama-tama diilhami oleh buah pikiran Jawa Kuno dan budaya Hindu-Budhis serta unsur-unsur tambahan dari agama Islam. Pikiran kejawèn ini mempunyai suatu ciri religius mendalam, yaitu kesadaran bahwa semua yang ada turut ambil bagian dalam kesatuan eksistensi serta ketergantungan pada suatu prinsip kosmis yang meliputi segala-galanya dan yang mengatur hidup manusia[4]. Mereka dikenal sebagai tiga kelompok besar yang berbeda secara religi dan kultural yakni kelompok “putih” atau santri, “abangan”, dan “priyayi”[5].
Karena penyebaran Islam belum mendalam sejak berdirinya kesultanan Islam Demak (+ 1500), terganggunya keamanan dikarenakan perebutan kekuasaan politik di kalangan penerus keturunan Raden Patah dan terjadinya perpecahan di antara para wali (ulama), terjadilah tiga kelompok tersebut di antara para penganut agama di kalangan orang-orang Jawa. Selain itu, pertentangan politik di antara runtuhnya kerajaan Majapahit dan mulai masuknya pengaruh Portugis (tahun 1511 M) juga turut mempengaruhi perkembangan tiga kelompok tersebut[6].
1.1 Tiga Golongan Penganut Agama Kejawèn[7]
1.1.1 Golongan Santri (belum tentu Islam, bisa Budha dan Hindu dan tradisi)
Golongan santri, yang disebut juga “Wong Putihan”, adalah orang-orang yang taat menjalankan agama Islam, tetapi mereka membiarkan sanak saudara dan tetangganya yang melaksanakan acara dan upacara adat kepercayaan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan di antara mereka masih ada juga yang disengaja atau tidak disengaja menganut kepercayaan kejawèn. Misalnya dalam upacara selamatan dengan berzikir menggunakan pedupaan dan membakar kemenyan, atau memberi sesajian (sesajèn) kepada roh-roh ghaib pada waktu-waktu tertentu, memelihara dan mendengarkan suara burung perkutut sebagai pembawa tanda dan berita baik atau buruk, melihat dan menafisrkan tanda-tanda pada tubuh manusia, menafsirkan mimpi atau datangnya ilham[8].
1.1.2 Golongan Priyayi
Tadinya golongan priyayi merupakan kaum bangsawan, aristokrasi yang dekat hubungannya dengan raja-raja Jawa. Mereka merupakan semacam perantara, penghubung antara raja dan rakyatnya[9]. Mereka terdiri dari kaum bangsawan, para keluarga istana, dan para pejabat pemerintahan yang pada umumnya mengaku beragama Islam karena politik, kedudukan atau jabatan, tetapi kebanyakan dari mereka tidak menjalankan agama Islam dengan taat. Mereka masih mempertahankan dan melaksanakan adat keagamaan Hindu Jawa dan berpegang pada ajaran mistik kejawèn yang berasal dari mistik Hindu-Budha. Ajaran mistik yang mereka anut tidak membedakan antara Ketuhanan Yang Mutlak dan manusia, bahkan antara Yang Mutlak dan Manusia dapat menjadi tubuh yang satu.
1.1.3. Golongan Abangan
Golongan abangan atau sering disebut dengan “Wong Cilik” adalah mereka yang menganut kepercayaan purba yang bercampur dengan ajaran-ajaran Hindu-Budha Jawa kuno dengan berselubung pada Islam. Dalam melaksanakan acara dan upacara keagamaannya, mereka melakukan selamatan-selamatan dengan sesajèn terhadap roh-roh gaib. Mayoritas tidak melaksanakan ajaran agama, terutama ritual-ritual dan ibadah. Kepercayaan pada dukun, orang-orang pinter, jimat-jimat dan kekuatan magic lainnya sangat tinggi[10]. Perkembangan selanjutnya adalah banyak di antara mereka yang menjadi pengikut aliran kebatinan atau kepercayaan dan di antara mereka ada pula yang menjadikan dirinya pemuka kepercayaan tersebut, seperti aliran kepercayaan Sapta Darma, Sumarah, Pengestu, Subud, dll.
Terdapat perbedaan antara universalisme dan harapan kehidupan akhirat kaum santri dengan pragmatisme dan relativisme golongan abangan di Jawa[11]. Orang-orang abangan menilai Islam sebagai agama Arab. Karena itu, mereka tidak pernah menjalankannya sepenuh hati. Bagi mereka, yang penting adalah berbuat baik dan berlaku jujur. Ibadah atau ritual tidaklah penting sehingga mesjid atau tempat ibadah lainnya tidak penting. Tempat ibadah mereka ada di dalam hati. Sebaliknya, kaum santri menuduh kaum abangan sebagai bidaah, menganut penafsiran sesat dan menjadi musyrik. Perbedaan-perbedaan dalam menilai praktik agama itu sudah menjadi bagian kehidupan di Jawa sejak munculnya Islam.
1.2 Kebatinan Kejawèn
Kebatinan (dari batin: tersembunyi, rahasia) berarti memelihara dan mengembangkan manusia-dalam dan secara umum menunjukkan mistik yang magis atau religius. Manusia-dalam dipandang sebagai semacam mikrokosmos (jagad cilik) terhadap makrokosmos (jagad gedhé) atau Hidup. Orang yang melakukan kebatinan berusaha untuk menyelaraskan diri dan akhirnya mempersatukan diri dengan prinsip itu yang meliputi segala-galanya (manunggaling kawula Gusti) dan yang merupakan awal mula serta tujuan segala-galanya (sangkan paran)[12]. Ia hendaknya melakukan itu tanpa pamrih dan hanya terdorong oleh keinginan untuk hidup selaras dengan Hidup dan tujuan segalanya. Praktek kebatinan dibenarkan karena maksud untuk mengembangkan diri pribadi seseorang, aku-nya yang sejati (ingsun sejati), terlindung dari ungkapan sosial yang nampak. Dalam kebatinan orang berusaha melaksanakan penyatuan sejati dengan Sang Hidup sambil menemukan keseimbangan pribadi lewat praktek-praktek mati raga dan samadi. Kebatinan mempunyai empat unsur yaitu ilmu ghaib, union mistik, sangkan paraning dumadi dan budi luhur[13].
Terjemahan kamus umum untuk kejawèn atau kejawaan dalam bahasa Indonesia adalah “Kejawaan” dan “Javanisme”. Javanisme atau kejawèn, yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta[14]. Kejawèn meliputi konsep kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang mistis pada hakikatnya dan hal-hal lain yang serupa[15].
Kejawèn bukanlah suatu kategori religius, namun lebih menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa sehingga ketika sebagian orang mengungkapkan kejawaan mereka dalam praktek beragama, misalnya seperti dalam mistisisme, pada hakikatnya adalah suatu karakteristik yang secara kultural condong pada kehidupan yang mengatasi keanekaragaman religius. Ada banyak orang Jawa, misalnya di Yogyakarta, yang menjalankan kewajiban agama Islam secara sungguh-sungguh, tetapi mereka tetap orang Jawa yang membicarakan kehidupan dalam perspektif mitologi wayang atau menafsirkan shalat lima waktu sebagai pertemuan pribadi dengan Tuhan. Banyak di antara mereka yang masih menghormati slametan dan ziarah makam orang tua dan leluhur. Kesadaran akan budaya mereka sendiri adalah fenomena yang tersebar luas di kalangan orang Jawa. Kesadaran kultural ini sering berlaku sebagai sumber kebanggaan dan jati diri. Orang-orang yang melestarikan warisan budaya Jawa mereka dengan sungguh-sungguh bisa dianggap sebagai orang kejawèn.
Kejawèn merupakan sebuah produk dari pertemuan antara Islam dengan peradaban Jawa kuno; produk dari penjinakan, penundukan kerajaan-kerajaan Jawa oleh kongsi dagang VOC; hasil dari pertemuan kolonial antara orang Jawa dan Belanda. Gesekan-gesekan itu memaksa orang Jawa untuk merenungkan keberadaan mereka dan memacu konstruksi sebauh jati diri Jawa. Refleksi dan konstruksi itu adalah buah dari pertentangan dengan liyan, sehingga pertentangan-pertentangan pun berkembang, seperti santri X abangan, Jawa X Eropa; Timur X Barat[16].
3. Pemikiran dan Praktek Aliran Kebatinan-Kejawèn
Apa yang dikatakan agama budaya kejawèn adalah suatu paham keagamaan campuran yang dianut orang-orang Jawa, yang merupakan ramuan di antara adat keagamaan asli Jawa yang percaya pada alam ghaib dengan pengaruh Hindu-Budha dari zaman Majapahit dan pengaruh agama Islam dari zaman Demak. Dalam perkembangannya, paham keagamaan kejawèn tersebut kadangkala lebih condong kepada Hindu-Budha, kadangkala lebih condong pada Islam, atau lebih mengutamakan kejawaannya, dan atau kemudian ada pula yang condong pada Kristen-Katolik. Kecederungan itu ada yang sifatnya sebagai pedoman hidup dan ada yang sifatnya mengejek dan mencela antara satu dengan yang lain.
Dalam pikiran kejawèn, hidup manusia dilihat sebagai suatu manifestasi dari “Yang Tunggal”, yaitu “Sang Hidup” yang meliputi segala-galanya dan yang merupakan asal mula dan tujuan terakhir. Karena itu, tata tertib kosmis dan tata tertib sosial tidak berbeda-beda secara prinsipiil dan merupakan suatu keseluruhan, dengan hasil yang bersifat cukup antroposentris bahwa kesaktian qatau dimensi sakral terdapat baik di dalam masyarakat manusia maupun di dalam eksistensi kosmis yang lebih luas. Prinsip-prinsip kejawèn diungkapkan dalam prinsip pepesthèn, yaitu kenyataan bahwa semuanya itu harus mengikuti arah yang sudah ditentukan selaras dengan “hukum kosmos”. Karena itu, pada umumnya mereka menggemari ramalan, perhitungan magis, pétungan, primbon, dsb.
Upacara pokok kejawèn adalah slametan, yaitu perjamuan kerukunan sosio-religius yang diikuti oleh para tetangga bersama dengan beberapa sanak saudara dan sahabat. Upacara ini diadakan bertepatan dengan saat-saat penting di dalam kehidupan (perkimpoian, kehamilan, kelahiran anak, kematian, dll.), peristiwa-peristiwa komunal yang setiap tahun diadakan (bersih desa, pesta dusun/kampung yang setiap tahun diadakan bersama dengan upacara pembersihan atau persucian tertentu) dan segala macam kesempatan bila kesejahteraan umum dan keseimbangan digoncangkan. Pertunjukan wayang seringkali menyertai upacara slametan yang paling penting. Sang dalang bertindak sebagai wakil “Tuhan” yang melimpahkan kekuatan dan keselamatan kepada hidup di bumi ini. Upacara-upacara pokok ini dimaksudkan untuk memperlihatkan keinginan agar selamat dengan melestarikan keseimbangan yang tidak tergoncangkan maupun untuk memulihkannya kembali manakala keseimbangan itu terganggu. Praktek religius kejawèn berpusat pada individu yang berhaluan mistik[17].
Praktek mistik kejawèn dalam berbagai bentuk dan ungkapannya merupakan suatu cara yang umum diterima untuk membebaskan diri dari tekanan hirarkis dan kemasyarakatan. Seringkali pertalian antar pribadi kelihatan lemah, bahkan pertalian perkimpoian pun seringkali tidak dapat diandalkan. Pada dasarnya manusia itu sendirian dan harus menyelamatkan diri. Mistik berarti melaksanakan diri pribadinya yang sejati. Secara sosial orang dipaksa untuk memainkan suatu peranan tertentu dan menampilkan diri sebagai seorang yang sopan. Tetapi, dalam segi lain kehidupanlah yang memberi kompensasi dan sekaligus kekuatan untuk menopang harmani sosial. Namun, pada akhirnya hubungan seseorang dengan “kenyataan yang sejati” dianggap sebagai dasar sungguh dalam kehidupan[18].
Di tengah-tengah orang Jawa, alam pikiran masa kanak-kanak yang penuh magi dan fantasi terdapat juga dalam alam pikiran orang dewasa. Orang ingin percaya akan ramalan-ramalan dan mukjizat-mikjizat, akan peristiwa-peristiwa yang akan merombak dan memperbaiki dunia, dan menantikan suatu masyarakat yang adil makmur yang akan dibawa oleh seorang tokoh eskatologis (kalau istilah ini boleh digunakan) Sang Ratu Adil. Kedatangan keadaan itu bisa dipercepat oleh hubungan yang baik dan selaras dengan semesta alam atau dengan Tuhan. Semuanya itu sangat dipengaruhi oleh doa-doa dan upacara-upacara simbolis.
Pandangan religius kejawèn dipusatkan pada kesatuan hidup. Dalam ungkapan upacara-upacara simbolis, pandangan ini berpusat pada kesatuan harmonis dalam lingkungannya sendiri, entah itu keluarganya, tetangganya atau desanya. Dalam ungkapan yang mistik, agama Jawa memusatkan perhatiannya kepada hubungan langsung dan pribadi seseorang dengan “Yang Tunggal”. Sistem-sistem mistik yang rumit dan halus dikembangkan oleh kaum cendekiawan dan golongan priyayi di kota-kota. Dalam bentuknya yang lebih sederhana dan seringkali lebih magis, mistik tersebar luas di antara kaum abangan di pedesaan dan kota-kota kecil. Maju mundurnya perhatian kepada mistik berubah selaras dengan keadaan sosial masyarakat setempat. Seringkali perkembangan ini merupakan usaha untuk mengungkapkan diri dan mencari makna di tengah-tengah suatu zaman yang kacau. Tidak jarang pula mistik ini merupakan suatu bentuk organisasi modern untuk menghidupkan kembali warisan kebudayaan Jawa. Menjadi anggota salah satu agama “resmi’ tidak mencegah orang mempraktekkan”‘mistik” di dalam hatinya. Mentalitas kejawèn memang condong kepada sinkretisme dan sanggup menampung berbagai ungkapan religius yang bersama-sama mewujudkan kesatuan Hidup[19].